Pain, Pain, Go Away - Chapter 2 Vol 1 Bahasa Indonesia
Bab 2 : Tragedi Umum
Translator: Kaon Nekono
Kiriko tidak pernah datang ke taman.
Setelah melihat jam tangan untuk memastikan jika dua puluh empat jam telah berlalu, aku mengangkat tubuh dari bangku. Sia-sia saja kalau aku menunggu lebih lama lagi di sini.
Jadi aku meninggalkan bangku yang catnya mengelupas, ayunan tanpa dudukan, jungle gym yang berkarat – taman bermain yang berubah total sejak satu dekade lalu.
Tubuhku mendingin hingga ke intinya. Wajar saja karena walau memakai payung, aku sudah menghabiskan sehari penuh menunggu di tengah hujan akhir Oktober.
Mantel mod ku menyerap begitu banyak air dan mendingin, celana jeans melekat pada kakiku, dan sepatu yang baru kubeli tertutupi lumpur. Setidaknya aku membawa mobil. Kalau aku jadi pergi dengan rencana awalku untuk naiki bus dan kereta, aku harus menunggu hingga pagi.
Aku segera berlari menuju ke keamanan dalam mobil, melempar jaket basahku, lalu menyalakan mesin dan penghangat. Ventilator mengeluarkan bau berjamur udara yang panas, dan dua puluh menit kemudian, mobil akhirnya menghangat.
Tepat saat berhenti menggigil, aku ingin minuman. Sebuah minuman enak yang kuat dengan banyak alkohol, sempurna untuk menenggelamkan kesedihanku.
Aku berhenti di supermarket larut-malam dan membeli sebotol kecil whiskey dan beberapa kacang campur.
Sembari menunggu antrean membayar, seorang wanita yang berusia akhir dua puluh-an tanpa riasan memotong antrean di depanku. Tidak berapa lama, seorang laki-laki yang sepertinya adalah pacarnya juga masuk ke antrean. Keduanya terlihat seperti baru bangun dari kasur, mengenakan piama, dan mengenakan sandal, tapi aku mencium parfum yang sepertinya baru digunakan. Aku berencana untuk menegur mereka karena memotong antrean, tapi tidak ada yang keluar dari mulutku. “Pengecut,” aku memarahi diri sendiri dalam diam.
Duduk di dalam mobil di ujung lahan parkir, aku dengan santai meminum whiskey-ku. Cairan panas berwarna-permen meluncur menuruni tenggorokanku, membuat kabut lembut di sekitar kesadaranku.
Lagu-lagu lawas terbaik di radio menghiburku, begitupula suara tetesan air hujan yang jatuh di atap mobil. Cahaya dari lahan parkir bergemerlapan melalui hujan.
Tetapi musik selalu berakhir, botol mengosong, cahayapun mati. Saat aku mematikan radio dan menutup mata, rasa kesepian yang sangat dalam mulai memukul.
Aku ingin kembali ke apartemenku dan tidur tanpa memikirkan apapun dengan selimut yang kutarik hingga ke atas kepalaku. Sekrangan juga. Bukan beberapa saat nanti.
Kegelapan, keheningan, dan kesunyian yang biasanya kuinginkan, di saat seperti ini, malah melahapku.
Walau aku memutuskan untuk tidak berharap tinggi sejak awal, sepertinya aku terlanjur berharap bisa bertemu lagi dengan Kiriko. Otakku yang terbius jadi lebih jujur dari biasanya. Aku menyadari perasaanku yang sebenarnya.
Ya, aku terluka. Aku sangat kecewa pada Kiriko yang tidak datang ke taman.
Dia pasti tidak membutuhkanku lagi.
Aku mungkin lebih baik tidak membuat undangan ini sejak awal. Tidak ada yang berubah baik 17 maupun 22 tahun. Aku adalah pembohong dan pecundang dengan kelemahan yang tidak terhitung jumlahnya.
Padahal, aku hanya harus bertemu dengannya ketika ia benar-benar ingin kami bertemu. Sungguh sia-sia aku membuat kesempatan ini.
Aku berencana untuk tidur hingga alkohol keluar dari sistem kerja tubuhku, tapi aku berubah pikiran.
Aku mengemudi keluar dari lahan parkir, menginjak pedal akselerator dengan keras, dan membuat mobil bekas dan tuaku berdecit mengerikan.
Aku mengemudi dalam keadaan mabuk. Aku tahu jika itu melawan hukum, tetapi hujan yang turun membuatku kaku. Dalam keadaan seperti ini aku merasa seperti berada dalam badai, kadang kau tidak bisa melawan hasrat untuk berbuat salah.
Hujan semakin deras. Untuk menjauhkan diri dari rasa kantuk karena alkohol, aku menaikkan kecepatan. 60 kilometer per jam, 70, 80. Aku melewati genangan air dengan suara yang keras, lalu menaikkan kecepatan lagi. Di jalan pedesaan, di cuaca yang seburuk ini, di malam ini, jelas tidak perlu khawatir dengan keberadaan mobil lain atau pejalan kaki.
Jalan yang kulewati begitu lurus dan panjang. Lampu jalan yang begitu tinggi membentuk rantai panjang di kedua sisi.
Aku mengambil rokok dari saku, menyalakannya dengan korek api, dan mengambil tiga embusan sebelum membuangnya keluar jendela.
Itulah saat rasa kantukku mencapai batasnya.
Aku tidak percaya kalau aku kehilangan kesadaran selama satu atau dua detik. Tetapi di saat aku sadar, sudah terlambat. Mobilku membelok di jalur yang berlawanan, dan lampu depan menyinari sebuah sosok beberapa meter di depan.
Dalam beberapa saat, aku memikirkan banyak hal. Kebanyakan dari ingatan masa kecil tidak pentingku yang telah lama kulupa. Balon kertas warna biru-air yang dibuatkan guru magangku di TK, burung gagak yang kulihat di beranda ketika sakit dan izin tidak masuk sekolah, toko alat tulis suram yang aku datangi di jalan pulang setelah mengunjungi ibu di rumah sakit, dan lain-lain.
Hal itu mungkin seperti kilas balik. Aku mencari melewati ingatan dua puluh – dua tahun untuk menemukan pengetahuan berguna atau pengalaman untuk menghindari krisis yang segera terjadi seperti ini.
Suara rem melejit keras. Tapi tidak diragukan lagi itu sedikit, agak terlambat. Aku menyerah pada segalanya dan menutup mataku erat.
Kecuali, tidak ada suara tabrakan.
Beberapa detik terlewat terasa seperti keabadian. Aku menghentikan mobil dan melihat sekeliling dengan takut, tetapi aku tak melihat seorangpun terjatuh di jalan, setidaknya tidak dalam jarak sorot lampu depan.
Apa yang terjadi?
Aku menyalakan lampu darurat dan pergi keluar, pertama berjalan memutar ke depan mobil. Tidak ada goresan atau cekungan. Jika aku sudah menabrak seseorang, pasti ada bekasnya.
Aku melihat sekeliling lagi, di bawah mobil juga, tetapi tidak ada mayat apapun. Jantungku berdetak liar.
Aku berdiri di tengah hujan. Suara mobilku menandakan jika pintu masih terbuka. Suaranya menggema melewati kegelapan.
“Apa aku sempat menghindar?”, tanyaku pada diri sendiri dengan lantang.
Apa aku membanting setir tepat waktu? Apakah dia menghindariku dengan cepat? Lalu, apa dia lari?
Mungkin semua itu hanyalah ilusi, dibuat oleh rasa mabuk dan lelahku.
Bagaimanapun juga, bukankah itu artinya aku berhasil keluar dari situasi ini tanpa menabrak siapapun?
Sebuah suara terdengar dari belakangku.
“Kau tidak sempat.”
Aku berbalik dan melihat seorang gadis. Dari blazer abu-abu dan rok tartannya, sepertinya ia adalah siswi yang pulang sekolah.
Dia terlihat berusia kurang lebih 17 tahun, jadi tingginya sekitar dua kepala lebih pendek dariku. Dan ia tidak membawa payung, jadi tubuhnya basah, rambutnya menjuntai di wajahnya.
Memang terdengar aneh, tapi sepertinya aku jatuh cinta pada gadis berambut-panjang yang berdiri di tengah hujan, diterangi oleh lampu depan mobil itu.
Dia gadis yang cantik. Kecantikan yang tidak akan rusak oleh hujan dan lumpur – malah, hal itu akan menambah kecantikannya.
Sebelum aku bisa bertanya apa maksud “kau tidak sempat,” gadis itu menarik tas sekolah yang diselempangkan di pundaknya, memegangnya dengan kedua tangan, dan melemparkannya ke wajahku.
Tas itu mendarat tepat di hidungku, dan seberkas cahaya mengisi pandanganku. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tanah, mendarat menghadap ke atas genangan air. Air segera merembes ke dalam mantelku.
“Kau terlambat. Aku mati,” gadis itu marah, mendudukiku dan menggoyangkan kerah bajuku. “Apa yang sudah kau lakukan padaku? Bagaimana bisa ini terjadi?”
Saat aku mulai membuka mulut, tangan gadis itu melayang dan menampar pipiku, kedua kali, dan ketiga kalinya. Aku merasa bagian belakang hidungku dipenuhi darah. Tapi aku tidak punya hak untuk mengeluh.
Karena aku membunuhnya.
Tentu saja, korbanku cukup serius menghajarku dengan kasar dan keras, tapi wajar saja, aku sudah menabraknya dengan kecepatan lebih dari 80 kilometer per jam. Dengan kecepatan itu? Pada jarak sedekat itu? Tanpa peringatan apapun, aku tentu tidak bisa menghindarinya.
Gadis itu mengepalkan tangannya dan memukulku berulang kali di wajah dan dada. Aku merasa sedikit kesakitan saat dipukuli, tetapi tabrakan tulang dengan tulang mulai menggoyahkanku.
Dia terlihat kelelahan, terbatuk keras dan mencoba untuk mengambil napas, dan akhirnya berhenti.
Hujan terus turun.
“Hei, bisa kau jelaskan apa yang terjadi?”, tanyaku. Bagian dalam mulutku tergigit, dan rasanya seperti menjilat besi. “Aku menabrakmu dan membunuhmu. Hal itu sepertinya tidak bisa disangkal. Jadi, kenapa kau tidak terluka dan bergerak biasa? kenapa tidak ada goresan di mobil?”
Daripada menjawab, gadis itu berdiri dan menendang tulang rusukku.
Lebih tepatnya ia kini menginjakku dengan seluruh berat badannya.
Cara itu sangat efektif; rasa sakit merambat ke seluruh tubuhku. Rasanya seperti organku ditusuk dengan sebuah belati. Aku merasa udara meninggalkan paru-paruku.
Untuk sesaat, aku tak bisa bernapas. Jika perutku sedikit lebih kenyang, aku mungkin sudah muntah. Melihatku meringkuk lemah dan terbatuk dalam rasa sakit, gadis itu sepertinya puas dan menghentikan kekerasannya.
Aku tetap terdiam di tanah, menghadap ke arah hujan hingga rasa sakitku hilang. Ketika aku bangun untuk berdiri, gadis itu mengulurkan tangan padaku. Tidak yakin akan maksudnya, aku menatap kosong tangannya.
“Apa kau ingin tiduran di sini selamanya? Cepat berdiri,” desaknya. “Antarkan aku pulang. Setidaknya kau bisa melakukan itu untukku, pembunuh.”
“…Ya. Tentu saja.” Kataku menerima uluran tangannya.
———-
Hujan mulai turun deras lagi. Membuatnya terdengar seperti ratusan burung hinggap di atap mobil.
Gadis itu duduk di kursi penumpang dan melempar blazer basahnya ke kursi belakang, lalu meraba-raba untuk menyalakan lampu.
“Apa kau mendengarkanku? Lihat ini.” Ia menyodorkan telapak tangannya di depan wajahku.
Tidak lama setelah melakukannya, luka berwarna ungu-cerah muncul di telapak tangan indahnya. Kelihatannya seperti sayatan karena benda tajam yang telah sembuh dan menjadi bekas luka bertahun-tahun. aku tidak yakin jika itu terjadi karena kecelakaan tadi.
Aku pasti terlihat begitu bodoh, jadi ia menjelaskan. “Aku mendapat sayatan ini lima tahun lalu. …Sisanya kau pikir sendiri. Kau kurang lebih tahu penjelasannya, kan?”
“Tidak aku tidak tahu. Sebenarnya, aku malah semakin pusing. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Dia menghela tidak nyaman. “Singkatnya, aku bisa mengubah kejadian yang terjadi padaku seakan hal itu tidak pernah terjadi.”
Tidak pernah terjadi?
Aku mencoba memproses penjelasaanya, tetapi aku masih tidak mengerti.
“Bisa kau jelaskan lebih simpel? Apa itu kiasan?”
“Bukan. Artikan saja seperti apa yang kukatakan. Aku bisa mengubah kejadian yang terjadi padaku seakan hal itu tidak pernah terjadi.”
Aku menggaruk leherku. Mengartikannya seperti apa yang ia katakan hanya membuat hal itu terasa tidak masuk akal.
“Aku tidak bisa menyalahkanmu karena tidak percaya padaku. Bahkan aku sendiri belum tahu bagaimana aku bisa melakukannya.”
Ia perlahan menyentuh sayatan itu dengan telunjuknya. “Kuulangi lagi – Aku mendapat sayatan ini lima tahun lalu. Tapi aku meniadakan fakta jika aku tersayat. Dan sekarang, demi penjelasan ini, aku membuatnya kembali seperti yang seharusnya.”
Gadis itu“meniadakan”kenyataan yang terjadi?
Cerita itu jauh dari kenyataan. Aku tidak pernah mendengar tentang orang yang bisa membatalkan kejadian yang terjadi pada mereka. Jelas-jelas itu di luar nalar manusia.
Tapi aku sadar, kini aku sedang menghadapi situasi yang tidak bisa dijelaskan dengan cara apapun. Dia ada di sini adalah buktinya.
Secara logika, aku harusnya menabraknya, tetapi ia tetap hidup. Dan dia tiba-tiba memunculkan luka yang sebelumnya tidak ada entah darimana.
Kedengarannya seperti sihir dari dongeng, tapi aku harus mempercayai hal itu hingga beberapa penjelasan yang lebih masuk akal muncul.
Untuk saat ini, aku membuat sebuah teori. Dia adalah penyihir. Dia bisa membuat sesuatu yang terjadi padanya “tidak terjadi.”
“Jadi maksudmu, kau juga meniadakan kecelakaan yang kusebabkan?”
“Benar sekali. Jika kau tidak percaya, aku bisa menunjukkanmu contoh lain…” ia menggulung lengan kemejanya.
“Tidak, aku percaya,” kataku. “Itu sangat… sangat tidak nyata, tapi aku melihatnya tepat di depan mataku. Tapi kalau kau meniadakan kecelakaan itu, aku ingat pernah menabrakmu? Mengapa aku tidak terus menyetir?”
Pundaknya merosot. “aku tidak tahu. Aku tidak melakukan dengan benar-benar sadar. Aku ingin ada yang menjelaskan hal ini lebih detail padaku.”
“Dan satu lagi. Mungkin kau mengatakannya demi kenyamananmu, tapi akan kupertegas, kau tidak benar-benar bisa membatalkan segalanya, kan?
Jika tidak aku tidak bisa memikirkan penjelasan atas kemarahanmu tadi.”
“…Ya, kau benar,” katanya memastikan, terdengar tidak yakin. “Kemampuanku hanya sesuatu yang bersifat sementara. Setelah waktu yang ditentukan, hal yang kubatalkan akan terjadi lagi. Jadi yang bisa kulakukan, intinya, adalah “menunda” kejadian yang tidak kuinginkan terjadi.”
Menunda… Ternyata begitu. Kemarahannya tadi jadi masuk akal sekarang.
Dia tidak menghindari kematian, dia hanya menyimpannya, dan akhirnya hanya akan menerimanya.
Dari hal lain yang ia katakan, aku tebak ia setidaknya bisa menunda kejadian selama lima tahun. Dia sepertinya bisa menebak pikiranku dan terlihat terganggu.
“Asal kau tahu, aku hanya bisa menunda sayatan di telapak tanganku selama lima tahun karena ini luka ringan, luka yang tidak-berbahaya. Berapa lama penundaan bisa diperpanjang, tergantung pada keinginan dan besarnya kejadian. Semakin kuat keinginanku maka semakin panjang waktunya, dan semakin besar kejadiannya semakin pendek waktunya.”
“Jadi berapa lama kau bisa menunda kecelakaan malam ini?”
“…Menurutku, kira-kira paling lama sepuluh hari.”
Sepuluh hari.
Ketika waktu itu berlalu, dia akan mati, dan aku akan menjadi seorang pembunuh.
Hal itu terasa tidak nyata bagiku. Karena suatu hal, korban dari kejahatanku ada di sini berbicara padaku saat ini, dan aku tidak bisa melepas sedikit harapan jika semua ini hanyalah mimpi buruk.
Aku punya puluhan, bahkan ratusan mimpi seperti ini dimana kesalahanku menyebabkan luka tidak tersembuhkan pada orang lain, jadi aku berpikir jika semua ini hanya mimpi.
Waktupun berlalu dan aku meminta maaf.
“Maaf. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”
“Tidak apa. meminta maaf tidak akan menghidupkanku, tidak juga membebaskan tuduhan kejahatanmu,”katanya tepat sasaran. “setidaknya, antarkan aku pulang.”
“…Tentu.”
“Dan mengemudilah dengan hati-hati. Aku tidak akan membelamu jika menabrak orang lain lagi.”
Aku menyetir perlahan, seperti yang ia perintahkan. Suara dari mesin, yang biasanya kuabaikan, malah terdengar keras di telingaku. Rasa darah di mulutku tidak pernah pergi, aku menelan ludah berkali-kali.
———-
Dia bercerita jika ia menyadari kekuatan anehnya saat berusia delapan tahun.
Di jalan pulang dari les piano, ia menemukan bangkai kucing.
Kucing abu-abu itu begitu ia kenal, kucing yang biasanya berkeliling daerah setempat.
Kucing itu ia kira sebagai peliharaan orang, karena tidak biasanya kucing liar itu jinak dan akan mengelilingi kakimu jika kau memberi isyarat padanya. Kucing itu tidak akan lari ketika dielus, dan tidak mendesis. Ia bagaikan teman bagi gadis itu.
Kucing itu mati dengan cara yang mengerikan. Darah di aspal menghitam, tetapi darah yang tercecer di pagar berwarna merah cerah.
Gadis itu tidak cukup berani untuk mengambil dan menguburnya; ia memalingkan pandangan dari bangkai itu dan segera kembali pulang. Saat melakukannya, ia mendengar alunan kotak musik, memainkan lagu “My Wild Irish Rose.”
Sejak saat itu, ia mulai mendengar lagu yang sama lagi dan lagi.
Ketika “penundaannya” berhasil, dia akan mendengar lagu itu di kepalanya. Dan ketika lagu itu berakhir, apapun yang menyakitinya telah “ditiadakan.”
Setelah mengerjakan PR dan memakan bungkusan makan malamnya, ia berpikir, “Kira-kira apa benar itu kucing yang kukenal?”
Tentu saja, di alam bawah sadarnya, ia tahu jika tidak salah lagi.
Tapi kesadaran di permukaanya tidak menerima hal itu.
Gadis itu mengenakan sandal dan mengendap-endap keluar rumah. Ketika tiba di tempat ia melihat bangkai di siang hari, ia tidak menemukan bangkai, tidak juga bekas lumuran darah.
Apakah seseorang sudah datang dan memungutnya? Apa ada seseorang yang tega melakukannya, jadi ia memindah bangkainya? Tapi tidak, ada yang salah. Rasanya seperti sejak awal tidak ada bangkai ataupun darah.
Dia berdiri kebingungan. Aku tidak berada di tempat yang salah, kan?
Beberapa hari kemudian, ia melihat kucing abu-abu itu. Jadi memang itu hanya salah paham, katanya pada diri sendiri dengan lega. Kucing itu berjalan seperti biasa ketika ia memberi isyarat.
Saat ia mengulurkan tangan untuk mengelus kepala kucing itu, ia merasa rasa sakit bagai terbakar di punggung tangannya. Ia segera memastikannya dan melihat luka kira-kira sepanjang kelingkingnya.
Ia merasa dikhianati.
Sekitar seminggu berlalu, dan luka itu tidak sembuh – malah, luka itu membengkak merah. Ia merasa mual dan demam tinggi, hingga ia harus izin sakit ke sekolah. Mungkin kucing itu berpenyakit, pikirnya. Dia lupa namanya, tapi mungkin kucing itu punya satu dari sepuluh penyakit yang kucing miliki, dan dia terinfeksi ketika kucing itu mencakarnya.
Demam itu menolak turun. Tubuhnya terasa berat, dan sendi dan pembuluh getah beningnya begitu sakit.
Kuharap kucing abu-abu yang tertabrak dan terbunuh itu hanyalah kesalah pahamanku. Butuh waktu lama baginya memikirkan hal itu. Jika saja kucing itu tidak hidup, aku tidak akan melalui hal seperti ini.
Ketika ia terbangun, demamnya benar-benar hilang. Dia tidak merasa sakit atau mual; dia adalah gambaran dari kata sehat.
“Kurasa demamku sembuh,” ia memberi tahu ibunya, yang memiringkan kepalanya dan bertanya, “Memangnya kau demam?”
Apa yang ibu bicarakan?, pikir gadis itu. Ia harus terbaring di tempat tidur sehari penuh karena demam. Kemarin, dan kemarinnya lagi…
Tapi saat ia kembali menjelajahi ingatannya, ia sadar jika ingatan yang lain ada bersamaan dengan hari dimana ia terbaring di tempat tidur.
Dalam ingatan itu, ia pergi ke sekolah kemarin, dan kemarinnya lagi, dan setiap hari tanpa melewatkan bulan sebelumnya. Dan dia bisa mengingat semuanya: pelajaran yang ia dapat, buku yang ia baca saat makan siang, dan semua makanannya.
Di saat bersamaan, ia dipenuhi rasa kebingungan. Kemarin, aku tertidur di kasur sepanjang hari. Kemarin, aku ada kelas matematika, dan kelas Bahasa Jepang, dan seni dan prakarya, dan Olahraga, dan IPS. Ingatannya tersangkal satu sama lain.
Setelah melihat tangannya, luka itu hilang – dan ia juga tidak merasa jika luka itu disembuhkan. Luka itu benar-benar hilang dari tempat yang seharusnya. Bukan, pikirnya, luka itu tidak pernah ada.
Kucing yang mati adalah kucing yang aku tahu. Kucing itu tidak akan mencakar seseorang.
Gadis itu yakin, tanpa alasan apapun, jika ia yang bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali kucing yang seharusnya mati itu untuk sementara.
Karena aku mengharapkannya, karena aku mati-matian tidak ingin kucing abu-abu itu mati, aku sementara “meniadakan” kejadian jika kucing itu ditabrak.
Tapi ketika kucing itu mencakar dan membuatku sakit, sebaliknya aku berharap kucing itu mati. Jadi harapan pertama kehilangan efeknya, dan kecelakaan itu kembali “terjadi,” sehingga aku tidak pernah terluka.
Interpretasi gadis itu sangat benar. Untuk membuktikan teori itu, ia kembali ke tempat dimana ia menemukan bangkai kucing itu keesokan harinya.
Seperti prediksinya, bercak darah itu kembali; jadi kecelakaan itu telah terjadi. Hal itu hanya ditiadakan untuk sementara.
Karena itu, kapanpun hal buruk terjadi, gadis itu akan membuatnya tidak terjadi, satu persatu. Hidupnya benar-benar penuh dengan hal yang tidak ingin terjadi padanya. Karena itu ia sadar jika ia diberkati kemampuan ini. Ia menceritakan hal ini padaku beberapa saat setelahnya.
———-
Sembari menunggu lampu merah, gadis itu bicara, memandang keluar jendela penumpang.
“Kau tahu, baunya aneh di sini.”
“Bau?”
“Aku tidak sadar sebelumnya karena hujan.. tapi apa kau mabuk?”
“Oh..Ya,” jawabku ceroboh.
“Mengemudi sambil mabuk?”, ia bertanya dengan ragu dan putus asa. “Lalu apa? kau tahu berapa banyak orang bisa meninggal karena kelakukanmu dan kau hanya berpikir kalau kau akan baik-baik saja?”
Aku tidak menjawab. Aku jelas tahu risiko menyetir sambil mabuk, tetapi pikiran redup yang kumiliki akan risiko itu ditarik lagi olehnya, risiko menabrak sesuatu dan melukai diriku.
Ketika kecelakaan itu bisa saja berakhir dengan kematian seseorang, aku mulai berpikir tentang pencurian di bank atau pembajakan bus, dua hal yang kurasa tidak ada berhubungan sama sekali denganku.
“Belok kiri di sini,” perintah gadis itu.
Kami pergi ke jalan pegunungan tanpa cahaya. Aku melihat spidometer dan sadar jika aku bahkan mengemudi tidak lebih dari 30 kilometer per jam. Saat aku akan menekan pedal akselerator dengan keras, kakiku kaku.
Walau kupikir aneh, aku masih menambah kecepatan, dan sadar jika tanganku dengan anehnya berkeringat.
Aku sadar ada cahaya mobil ada di jalur berlawanan. Aku melepaskan akselerator. Bahkan setelah mobil itu lewat, aku tetap membiarkan mobilku melambat hingga mobilku berhenti total.
Jantungku berdegup bagaikan gila lagi, sama seperti setelah kecelakaan itu. Keringat dingin menetes di pelipisku.
Aku mencoba membuat mobil itu bergerak lagi, tetapi kakiku tidak bergerak. Sensasi yang kurasakan tepat sebelum aku menabrak gadis itu terjebak di otakku.
“Jangan-jangan,” duga gadis itu, “setelah menabrakku, kau takut mengemudi?”
“Aku menyerah. Ya, sepertinya begitu.”
“Sudah kuduga.”
Aku menantang diri lagi dan lagi, tapi aku hanya berhasil bergerak beberapa meter sebelum akhirnya berhenti lagi.
Aku menepi dan menghentikan mobil. Saat penyeka kaca mobil berhenti, kaca depan mobil segera tertutupi air.
“Maaf, tapi kita akan beristirahat di sini hingga aku bisa menyetir dengan normal lagi.”
Bersamaan dengan kata itu, aku melepas sabuk pengamanku, membaringkan kursi ke belakang, dan menutup mataku.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar suara kursi lain dibaringkan, dan gadis itu menyampingkan tubuhnya. Tentu saja, ia ingin tidur menghadap berlawanan denganku.
Saat aku berbaring diam dalam kegelapan, gelombang penyesalan menghadangku. Aku melakukan sesuatu yang tidak bisa ditiadakan, pikirku pada diri sendiri lagi.
Aku menyesali setiap dan segala hal. Memang salah mengemudi terlalu cepat. Memang salah mengemudi sambil mabuk. Kenyataannya, memang salah untuk mabuk di saat seperti itu. Tidak, bahkan pergi bertemu Kiriko semua itupun salah.
Seorang sepertiku harusnya hidup sengsara dan terkurung di kamarnya. Lalu setidaknya ia tidak akan merepotkan orang lain.
Aku mengacaukan hidup gadis ini.
Untuk mengalihkan pikiranku, aku bertanya padanya, “Hei, omong-omong apa yang siswa sepertimu lakukan berjalan di tempat terpencil seperti itu?”
“Itu urusanku,” jawabnya dingin. “Apa kau coba berkata jika walau itu hanyalah kecelakaan, aku melakukan sesuatu yang pantas kudapat?”
“Bukan, aku tidak bermaksud begitu, hanya saja…”
“Sifat kurang peduli dan besar kepalamu itu yang mengambil nyawa seseorang. Kau tidak pantas bicara seperti itu, pembunuh.”
Aku menghela napas dalam, dan fokus pada suara hujan di luar. Aku sadar ketika aku menyampingkan diri, tubuhku terasa begitu lelah. Dan berkat alkohol yang masih tersisa di tubuh, kesadaranku mulai keluar masuk.
Kuharap ketika aku bangun, segalanya akan kembali normal.
Saat aku tidak sadarkan diri, aku mendengar gadis itu menangis sendiri.
———-
Aku berada di sebuah arcade larut malam. Tentu saja, itu hanyalah mimpi.
Langit-langit dipenuhi warna kuning nikotin, lantainya dipenuhi bekas terbakar, lampu fluorescent berkedip, dan dua dari tiga mesin penjual minuman bertuliskan “RUSAK” .
Tidak ada satupun kabinet tua yang berjejer di situ menyala, dan segalanya terdiam bagaikan mati.
“Aku menabrak seorang gadis,” kataku. “Aku mengemudi terlalu cepat, terlalu cepat daripada yang dibutuhkan untuk membunuh seseorang. Rem sangat jarang kugunakan saat hujan. Kurasa aku sudah menjadi pembunuh.”
“Aha.. Jadi bagaimana perasaanmu sekarang?”, Shindo bertanya dengan begitu antusias, duduk di sebuah kursi dengan bantalan rusak, merokok, dan menyandarkan lengannya di sebuah kabinet.
Kekasarannya begitu nostalgia. Shindo memang orang yang seperti itu. Berita bagus bagi orang lain adalah berita buruk baginya, dan sebaliknya.
“Bagaimana menurutmu? Aku merasa begitu buruk. Hanya membayangkan hukuman apa yang akan kudapat karena hal itu membuatku ingin mati.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sejak awal kaupun tidak punya “hidup” untuk diambil, kan? Kau sudah hidup bagaikan mati. Tidak ada yang diperjuangkan, tidak ada tujuan, tidak ada kesenangan…”
“Dan karena itu aku ingin semuanya berakhir! …Aku seharusnya mengikutimu, Shindo. Aku bisa saja bunuh diri dengan mudah, setelah kematian sahabatku.”
“Hentikan, kau membuatku jijik. Kau membuatnya terdengar seperti Bunuh diri sepasang kekasih.”
“Mungkin begitu.”
Tawa kami memenuhi arcade yang sepi. Kami memasukkan koin ke dalam sebuah kabinet tua yang sudah rusak dan bermain satu lawan satu di sebuah permainan lawas. Dia menang, 3 lawan 2. Menilai dari kemampuan kami, kurasa aku bermain cukup bagus. Apapun yang ia lakukan, Shindo selalu lebih baik dari rata-rata. Dia cepat memahami hampir segala hal. Tapi di sisi lain, hingga akhir hidupnya, ia tidak pernah menjadi yang terbaik dalam apapun. Kurasa dia mungkin takut. Takut setengah mati saat ia mencurahkan dirinya pada sesuatu, lalu melamun dan berpikir “Apa yang aku lakukan?”
Jadi dia tidak pernah bisa mencurahkan seluruh kemampuannya pada satu hal. Aku harap bisa seperti itu juga. Dan itu pasti alasan mengapa Shindo selalu menyukai hal yang jelas-jelas tidak berguna. Game lawas, musik tidak berguna, radio vacuum tube nya yang entah kenapa begitu besar. Aku suka suasana ketidak produktifan itu.
Shindo berdiri dari kursi dan membeli dua kaleng kopi dari satu-satunya mesin penjual minuman.
Saat ia memberiku satu, ia berkata, “Hei, Mizuho, aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Apa?”
“Apakah kecelakaan itu benar-benar sesuatu yang tidak bisa kau hindari?”
Aku tidak mengerti pertanyaannya. “Apa maksudmu?”
“Apa maksudku itu, ya… entah bagaimana, mungkin kau memang ingin membuat satu kejadian tragis dalam hidupmu.”
“Hei, apa kau bilang aku sengaja melakukannya?”
Shindo tidak menjawab. Dengan senyum, ia mematikan rokoknya hingga ke filter di kaleng kopi kosong, dan menyalakan yang baru. Bagai berkata “pikirkan lagi.”
Aku mempertimbangkan kata-katanya. Tetapi sebanyak apapun aku menjelajahi otakku, aku tidak bisa membuat kesimpulan yang pantas disebut kesimpulan. Jika ia hanya ingin menunjukkan hasrat bejatku, tidak perlu bertanya seperti itu.
Ia mencoba membuatku menyadari sesuatu.
Dengan konsistensi yang kurang dalam mimpi, aku tidak ada lagi di arcade. Aku berdiri di pintu masuk taman bermain. Di belakang stan dan penjual tiket, sebuah komidi putar, dan ayunan, aku bisa melihat wahana seperti sebuah kincir ria raksasa, pendulum, dan roller coaster.
Ada keramaian dari wahana di sekelilingku, dan suara teriakan nyaring. Speaker yang besar di sekeliling taman memainkan musik big band yang ceria tanpa henti, dan aku mendengar suara photoplayer tua di antara wahana itu.
Sepertinya aku tidak datang ke sana sendiri. Seseorang ada disana menggenggam tangan kiriku.
Bahkan dalam mimpi, aku merasa ada yang aneh. Aku tidak pernah sekalipun pergi ke taman bermain dengan seseorang.
———-
Aku merasakan cahaya di bawah pelupuk mataku. Ketika aku membuka mata, hujan telah berhenti, dan warna biru tua malam dan warna oranye pagi bercampur dekat horizon.
“selamat pagi, pembunuh,” kata gadis itu, yang bangun sebelumku.
“Apa kau bisa mengemudi sekarang?”
Tersinari oleh matahari terbit, mata gadis itu menunjukkan bekas setelah menangis.
“Mungkin,” jawabku.
———-
Ketakutan mengemudiku sepertinya memang sementara. Tidak ada masalah pada tanganku pada kemudi dan kakiku pada pedal. Walau begitu, aku menyetir perlahan di jalan yang basah dan berkerlip terkena cahaya pagi dengan kecepatan sekitar 40 kilometer per jam.
Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada gadis itu. Tapi aku tidak tahu bagaimana memulai percakapan. Aku tiba di tempat tujuan sementara otak dini hariku masih memikirkannya.
“Cukup di pemberhentian bus itu,” tunjuknya. “Aku turun di sini.”
Aku menghentikan mobil, tetapi juga menghentikan gadis itu saat ia akan membuka pintu penumpang dan pergi,
“Dengar, apa tidak ada sesuatu yang bisa kulakukan? Aku akan mendengar apapun. Biarkan aku mencoba dan memperbaiki kejahatanku.”
Dia tidak menjawab. Dia pergi ke trotoar dan mulai berjalan menjauh. Aku meninggalkan mobil dan mengejarnya, memegang pundaknya.
“Aku sangat tahu jika telah melakukan hal yang mengerikan. Aku ingin memperbaikinya.”
“Tolong, pergilah dari pandanganku,” tolaknya. “sekarang juga.”
Aku berpegang. “Aku tidak meminta ampunan darimu. Aku hanya ingin membuatmu merasa sedikit lebih baik.”
“Kenapa aku harus ikut ide layanan-pribadi mu? “Membuatmu merasa lebih baik?” kau hanya ingin merasa lebih baik, kan?”
Memang ide buruk mengatakan hal itu, aku sadar sudah terlambat. Siapapun pasti merasa terhina mendengarnya dari orang yang membunuh mereka.
Aku merasa apapun yang kukatakan hanya akan membuatnya lebih marah. Aku hanya bisa mundur sekarang.
“Oke. Kau sepertinya ingin sendiri, jadi aku akan membuktikannya sekarang.”
Aku mengambil sebuah buku catatan dan menulis nomor telponku, menyobek lembarannya, dan memberikannya pada gadis itu.
“Jika ada sesuatu yang kau ingin kulakukan, telpon nomor itu dan aku akan datang.”
“tidak terima kasih.”
Dia menyobek lembaran itu menjadi sobekan kecil di depan mataku. Sobekan kertas itu tertiup, bercampur dengan daun kuning yang jatuh ke jalan setelah badai semalam.
Aku menulis nomor telponku di buku catatan lagi dan memasukkannya ke saku tasnya. Ia menyobeknya juga, membuang sobekan-sobekan itu ke angin.
Tapi aku terus menulis nomorku dan memberinya pada gadis itu.
Setelah delapan kali percobaan, ia akhirnya menyerah,
“Baiklah, aku mengerti. Sekarang pergilah. Keberadaanmu hanya membuang energiku.”
“Terima kasih. Mau tengah malam atau subuh, telpon aku jika ada hal yang penting bagimu.”
Setelah merapikan rok seragamnya, gadis itu berjalan cepat bagai berlari.
Aku, juga, memutuskan kembali ke apartemenku.
Aku kembali ke mobil, berhenti pada restoran pertama yang kulihat untuk sarapan, dan mengemudi dengan aman ke rumah.
Jika dipikir, sudah lama sejak aku keluar ketika ada matahari.
Bunga kosmos berwarna crimson memenuhi sisi jalan, dan tertiup angin.
Langit biru di bawah warna merah yang menari sepertinya lebih biru daripada yang kuingat.
———