The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 7 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 7 Bahasa Indonesia - Minggir, Bodoh!
Penerjemah: Hennay
Bagian 7: Minggir, Bodoh!
“Bagaimana aku tahu? Apalagi dibanding seniorku yang bekerja di dunia yang sebenarnya.” kataku, dengan sengaja menekankan kata ‘senior’ dan mengisyaratkan bahwa diriku akan terjun ke dunia bisnis di masa mendatang.
Yang benar adalah aku tidak berminat melakukan apa pun itu, tapi tak masalah bukan mendapatkan ekspresi Go Min-guk yang bagus dan manyun?
“Tetap saja, kau seharusnya mengatakan satu atau dua hal.” kata salah seorang temannya.
“Kau sudah umur dua puluh enam, jadi kau harus mampu berpikir untuk dirimu sendiri.” yang lainnya ikut bersuara.
Lihatlah orang-orang ini. Bahkan bawa-bawa soal umur meski faktanya mereka sepantaran denganku. Kemana pun kau pergi, kau akan selalu menjadi idiot.
Semua oranng melihatku dengan ekspresi waspada, menunggu dengan napas tertahan untuk mendengar respons bodoh yang akan kuberikan.
Seseorang tertawa. “Kukira apa terlalu sulit bagimu untuk berpikir mau bilang apa?” tanyanya.
“Kalau begitu, boleh aku mengatakan satu hal?” kataku.
“Oh?”
“Pertama, menurutku mempekerjakan orang penyandang disabilitas itu hal yang baik.”
“Apa?”
Sikap saya sangat berlawanan dengan mayoritas orang di sini, yang telah mengkritik RUU baru meskipun fakta bahwa pemerintah telah mengumumkannya, dan tidak ada yang dapat mencegah pemberlakuannya pada saat ini.
Jika orang melihatnya dengan pesimis, itu adalah undang-undang yang membuat hal-hal yang sebelumnya diterima menjadi tidak dapat diterima.
“Yang kumaksud adalah, aku dapat memahami pebisnis kecil dan menengah tidak senang dengan tagihan baru karena biayanya, tetapi pebisnis besar tidak perlu khawatir sama sekali. Lagipula orang-orang ini sudah ‘di situ’.” kataku, tidak bisa menghentikan ujung ucapanku yang tajam demi menemukan jalan ke nada suaraku. “Orang-orang penyandang disabilitas yang bekerja memiliki niat lebih kuat dari pada rata-rata orang normal. Mereka jujur dan pekerja keras, kau tahu. Mereka tidak berminat untuk mabuk, merokok, bermalas-malasan, atau mencuri barang yang bukan miliknya. Mereka senang hanya dengan bekerja secara jujur.”
Kalianlah orang yang perlu melihat ini deim diri kalian sendiri.
Aku teringat orang-orang penyandang disabilitas yang kutemui saat melakukan layanan di penjara. Mereka semua tulus dan rajin.
“Dan ini sesuatu yang biasanya tidak terlihat padahal paling berharga,” lanjutku.
“Apa kau sedang membicarakan efeknya pada citra publik dari bisnis?” Go Min-guk berkata dengan tidak percaya.
“Bukan. Pasar.”
Go Min-guk mengernyit. Sebuah ekspresi yang memberitahuku bahwa dia tidak punya petunjuk tentang apa yang sedang kubicarakan.
Bagaimana aku tahu, hah?
Jika yang terbaik yang muncul setelah berpikir semaksimal mungkin adalah citra publik dari bisnis, dia tak bisa mengatakan yang lain lagi.
“Apa kau tahu berapa banyak penyandang disabilitas di Republik Korea?” tanyaku.
“Sial, bagaimana mungkin aku tahu.” balas Go Min-guk.
“2,500,000. Itu berarti ada satu penyandang disabilitas di antara 20 orang normal.”
“Itu lebih sedikit dari dugaanku. Kau menyebutnya pasar?”
Aku tersenyum sambil melanjutkan perkataanku. “Bagaimana jika kau memasukkan juga keluarga mereka? Tidak ada angka signifikan berapa orang yang berhubungan penyandang disabilitas. Dan lagi, penyandang disabilitas membutuhkan kombinasi perawatan medis dan kesejahteraan. Jika kebijakan itu sukses, kemajuan masyarakat menuju peningkatan kehidupan bagi penyandang disabilitas akan menciptakan pasar baru. Hal itu akan memberikan peluang baru bagi bisnis.”
“Tidak ada gunanya menggunakan uang untuk mencoba dan menghasilkan uang. Kau akan berakhir kembali ke tempat kau memulai.” bantah salah satu teman Go Min-guk sambil mengertakkan gigi.
“Apa kau perlu menggunakan uang untuk menawari mereka pekerjaan? Itu hanya upah yang masuk akal untuk hasil kerja mereka. Uang tetaplah uang jika kau tahu cara menggunakannya.” kubilang.
“Bagaimana dengan biaya yang dikeluarkan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas? Kita akan membutuhkan waktu dan uang dua kali lebih banyak untuk melatih mereka, dan tunjangan yang perlu kita sediakan juga akan berlipat ganda. Angkanya tidak bertambah?” bantah yang lain.
Aku benar soal mereka hanya saling bertemu dalam kelompok tertutup. Mereka adalah sekumpulan kernel mengkilap yang benar-benar kosong di dalamnya.
“Pengeluarannya hanya gaji bulanan mereka, dan biaya tunjangan adalah deposit.” kataku.
“Omong kosong apa sih yag kau bicarakan?” kata Go Min-guk.
“Maksudku pengeluaran yang kau bayarkan setiap bulan adalah uang hilang, tetapi biaya tunjangan jelas akan kembali lagi pada akhirnya”
Tidak hanya grup Go Min-guk di sini sekarang; yang lainnya berkumpul karena tertarik mendengarkan. Seperti ikan lele yang mengubah air jernih menjadi kotor, aku mengganggu dunia mereka sedikit demi sedikit.
“Tentunya, jika kau tidak mau menggunakan penyandang disabilitas secara langsung atau membayar pengeluaran, itu tidak mungkin secara keseluruhan.” tambahku.
“Maksudmu ada cara?”
“Membuat tim olahraga dari penyandang disabilitas. Lagipula, ada kompetisi internasional yang disebut Paralympics. Ini jelas meningkatkan citra bisnis kalian dan membentuk hubungan internasional. Ini juga menyederhanakan administrasi bisnis sehari-hari, sesuatu yang selalu kalian khawatirkan, sekaligus mengurangi tunjangan yang perlu kalian bayarkan pada penyandang disabilitas di dalam perusahaan.”
Tentunya, ini adalah trik yang bisa diterapkan perusahaan sebenarnya setelah RUU berlaku. Banyak perusahaan sebenarnya menyiasati RUU dengan membentuk tim olahraga. Namun, ini bukanlah solusi yang mudah dipikirkan oleh orang-orang yang berkumpul di sini.
“Dari sudut pandang pribadi, aku berharap perusahaan akan menuruti pemerintah dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang bersatu. Saat ini kita sedang di kapal pesiar, meminum alkohol senilai ratusan juta Won. Bukankah ini berkat warga negara kita bisa menikmati kemewahan ini?” tambahku.
Bahkan musik berhenti tepat saat itu, dan sekelilingku sangat hening.
Semua orang mungkin sedang memikirkan bagaimana mereka segera pulang ke rumah dan memberi tahu orang tua mereka tentang metode alternatif yang baru saja kudeskripsikan.
Seseorang mengarahkan gelasnya ke arahku. Dia adalah Nam Sae-ha dari Gunbaek Construction, pembawa acara pesta.
“Tanggung jawab demi persatuan. Ini adalah kalimat yang bagus sekali, tetapi juga menakutkan.” katanya.
“Jangan terlalu memperhatikan wawasan dangkalku.” kataku.
“Saya harap bisa lebih sering bertemu Anda sekalian di pesta-pesta mendatang. Lagipula, ide menarik selalu membawa kemajuan.”
“Aku lebih suka soju.”
Nam Sae-ha tertawa. “Aku sendiri suka soju.”
Go Min-guk dan temannya menenggak minuman mereka tanpa berkata apa-apa. Mereka tidak bisa mengatakan apa pun, tidak dengan perhatian semua orang tertuju pada kami.
Kau anak sialan. Seberapa pun kau berusaha, aku telah mendapat lebih banyak pengalaman. Jika kau memperhitungkan waktu saat aku di penjara, berapa banyak pengalaman menurutmu?
“Baiklah kalau begitu, Kakak, silakan menikmati. Aku sedikit lelah, kau tahu.” kataku.
Dengan itu, aku berjalan santai keluar ruangan dengan gelas di tanganku.
Di dek luar, Aku menemukan Kepala Kim sedang berbicara di telepon sambil tersenyum.
Jelas itu pacarnya.
Dia melihatku, dengan buru-buru mengakhiri teleponnya, lalu berlari menghampiriku.
“Di luar sini dingin; kenapa kau keluar?” tanyanya.
“Orang yang datang bersamaku ke sini tidak terlihat, jadi aku mencarinya.” jawabku
Kepala Kim tertawa dengan canggung. “Maafkan aku.”
“Tidak masalah, kau bisa lanjut bertelepon. Aku akan di sini saja.” beritahuku.
Kepala Kim dengan malu-malu kembali ke pojok lalu mengeluarkan ponselnya.
Tampaknya hal-hal berjalan lancar baginya. Aku iri!
Angin di luar dingin, tapi aku sedikit mabuk, jadi aku merasa segar kembali. Pemandangan malam Seoul luar biasa.
Aku menghabiskan minuman dalam sekali teguk lalu mengeluarkan rokok.
Pada saat itu, aku mendengar seseorang di belakangku.
“Hei,” kata suara itu.
Aku berbalik lalu melihat Go Min-guk. Aku bisa mencium bau menyengat alkohol darinya yang terhembus ke arahku karena angin. Dia sangat mabuk; wajahnya merah menyala, dan dia berjuang untuk tetap membuka mata. Dia benar-benar mabuk bahkan sebelum dia meneguk minuman terakhirnya.
“Kau bajingan. Kau bahkan tidak menjawabku?” dia meludah.
“Tampaknya kau sangat mabuk.” kataku.
“Kenapa anak sialan sepertimu, yang bersembunyi di sudut kamar selama separuh hidupmu, berargumen dan berbicara balik?”
“Aku hanya menjawab pertanyaan yang ditujukan padaku.”
“Kau bedebah. Apa otakmu membengkak setelah jatuh ke air?”
Berbicara seperti pria tangguh.
Aku mengabaikannya lalu bersandar di susuran. Dari pengalamanku, mengobrol dengan orang yang sedang mabuk berat adalah salah satu hal yang paling bodoh dan melelahkan yang bisa kita lakukan. Justru lebih baik menghabiskan waktu dengan merokok.
Kapal perlahan mengubah arah. Tampaknya pestanya akan segera berakhir. Namun, malam baru saja dimulai bagi muda-mudi.
“Kenapa? Kenapa kau tidak mati?” teriak Go Min-guk.
“Kakak,” kataku, berusaha menenangkannya.
“Kakak pantatku, kau berdarah campuran kotor.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Aku sedang membicarakan ibu pelacurmu.”
Apa yang sedang dia bicarakan sekarang?
Aku mengerutkan dahi dan menaikkan daguku sedikit, menyuruh Go Min-guk lanjut.
“Dia menggoda ayah kami dengan tubuhnya, sama seperti yang bisa kau duga dari seorang aktris kotor.” katanya.
“Kau lancang sekali.” kataku.
“Aku terlalu lancang? Memangnya kau mau apa?” Go Min-guk berkata dengan keras, lalu dia meludah ke arahku.
“Kusarankan kau berhenti.”
Air liur menetes dari dagu Go Min-guk.
Betapa tidak bermoralnya dirimu mengatakan hal yang sangat kejam tentang orang yang sudah mati? Saya merasakan sedikit simpati untuk ibu kandung Go Ji-hun, yang wajahnya bahkan tidak kukenal. Betapa bersalahnya dia meninggalkan putranya pada keluarga seperti ini?
“Jadi sebaiknya kau mati saja. Tapi kenapa? Saat kau di alam baka, apa benar ibumu menyuruhmu kembali?” lanjut Go Min-guk.
“Lihat ini.”
“Kau tak berguna. Bedebah yang bahkan tidak bisa membunuh dengan benar dirinya sendiri. Anak sialan yang tidak berguna tetapi membawa aib dan merusak keluarga orang.”
“Barangkali kakak sulungku yang berhak mengatakan itu, tetai aku tidak mau mendengar itu darimu.”
“Apa yang baru saja kau katakan?”
“Lucu sekali melihatmu begitu sombong tentang pendidikan di saat kau membiayai sendiri kuliahmu. Itu karena tidak ada apa pun di dalam kepalamu yang membuatmu hancur bahkan oleh hal yang tidak penting seperti aku, bukan?” timpahku sambil menyeringai.
“Anak sialan!” teriak Go Min-guk.
“Dan kau harus menarik diri dari peluncuran merek The Passion. Hanya memiliki percaya diri tanpa disertai kemapuan adalah satu cara untuk mengacau. Bahkan jika uang tidak penting, bagaimana kau akan mendapatkan kepercayaan ayah? Ini adalah pekerjaan di luar kemampuanmu, dan jika kau jujur pada diri sendiri, kau juga tahu itu, bukan?”
Merek The Passion, satu-satunya merek dari Gogwang Produce.
Merek itu diluncurkan dengan penuh ambisi, yang mana Go Min-guk bertanggung jawab di dalamnya, tetapi berakhir gagal total. Proyek tersebut segera dibatalkan. Go Dae-man menanggung kerugian yang disebabkan Go Min-guk lalu menyerahkan Gogwang Produce kepadanya.
Itu adalah entitas yang terlalu besar untuk disingkirkan, tetapi tidak akan menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membuat investasi modal sepadan bahkan jika itu dilanjutkan. Go Min-guk tidak diijinkan bergabung dengan perusahaan utama dan dipaksa untuk tetap di Gogwang Produce.
Tentunya, bajingan yang berdiri di depanku sekarang tidak akan pernah percaya padaku.
“Apa sih yang kau bicarakan? Kau sungguh hilang akal, yaa?” teriaknya sambil marah padaku.
“Hati-hati saja dengan perilakumu. Malam tunanganmu sudah tidak menyenangkan.” kataku memberitahunya sambil menjentikkan rokok ke atas sungai.
Tidak ada faedahnya meneruskan perbincangan ini lebih lama lagi. Aku hanya harus berdiri di antara beberapa orang dan berusaha untuk tidak berbicara.
Saat aku hendak kembali ke dalam, Go Min-guk meraih bahuku.
“T-tuan muda!” teriak Kepala Kim saat dia berlari menuju kami dan meraih lengan Go Min-guk. “Kau tidak boleh melakukan ini.” katanya.
“Kepala Kim? Kau sudah tumbuh besar, kan?” kata Go Min-guk, menatap tangan yang sedang menahan tinjunya.
“M-maafkan aku.” kata Kepala Kim sambil melepaskan tangannya.
“Jika kau tidak mau aku memukul bedebah ini, kau yang akan kupukul.” kata Go Min-guk.
Dia melemparkan tinjunya ke wajah Kepala Kim.
Kepala Kim mencengkeram pipinya dan terhuyung-huyung.
Go Min-guk menghela napas puas. “Hei, Go Ji-hun, coba maju sini.”
“Tuan Muda Kedua, kau tidak boleh melakukan ini…” raung Kepala Kim.
“Itu hanya terjadi di antara kaki seorang pria, seperti yang dilakukan ibu pelacurmu. Bukan hal penting, kan?”
Go Min-guk, kau sampah. Apa kau selalu hidup seperti ini?
Kesabaranku mencapai batasnya. Aku meninju wajah anak sialan itu dengan seluruh kekuatanku.
Dia berteriak kesakitan. Mungkin aku memukulnya dengan baik; ada darah menetes dari hidung kanannya. Bibir bawahnya gemetar.
“K-kau anak sialan!” jeritnya.
“Kumohon tenangkan dirimu!” teriak Kepala Kim sambil memeluk memegangi Go Min-guk.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku! Brengsek! Kepala Kim, apa kau mau mati duluan?!”
Ssssh, tutup mulutmu.
Kepala Kim berpegangan pada pinggang Go Min-guk dengan semua kekuatan yang dia miliki. Go Min-guk sangat panik saat mencoba melepaskan diri dari genggaman Kepala Kim sehingga celananya hendak lepas.
Bagus. Sangat bagus.
“Kepala, tolong terus pegangi dia seperti itu.” kataku, dan dengan itu, aku meluncurkan pukulan penuh lainnya.
Targetku kali ini adalah hidungnya yang sebelah kiri. Aku akan membuat kedua lubang hidungnya berdarah.
Tinjuku telah siap.
Kepala Kim terengah-engah, melepaskan Go Min-guk dan menutup mulutnya dengan kedua tangan karena terkejut.
Go Min-guk mengerang lalu terjatuh ke lantai, memegangi hidungnya. Darah mengucur terus-menerus melalui jarinya. Karpet warna krem ivory ternoda dengan ceepat, dan udara menjadihening, satu-satunya suara adalah rengekan pedihnya.
Kepala Kim menatapku dengan ekspresi tersambar petir.
Aku yakin Go Min-guk akan segera sadar sepenuhnya setelah mendapat pukulan dari seseorang yang telah melalui kerasnya kehidupan penjara.
“T-tuan Muda” panggil Kepala Kim dengan gugup.
“Sshh,” kataku, dengan menaruh jari di bibirku.
Aku memberikan sinyal padanya agar sebaiknya merahasiakan ini. Keahlian yang kudapat dari berkelahi dengan napi lainnya tanpa diketahui sipir tidak menghilang. Jika Kepala Kim membantu kami keluar dari sini, kami bisa mengatasinya tanpa masalah.
Kepala Kim mengangguk-angguk dengan sungguh-sungguh, memberitahuku bahwa dia sudah paham.
Go Min-guk berdiri dengan terhuyung-huyung.
“Bedebah sialan…” raungnya, dengan mengomel sambil mendekatiku.
Dia mabuk dan marah. Dia bahkan mungkin hampir tidak bisa melihat.
Tinjunya meluncur ke sisi kiriku. Kepalaku menghindar ke kanan lalu aku memberinya tamparan kecil di pipinya. Tidak terasa sakit, tetapi cukup keras untuk membuat merasa kesal.
“Hei! teriaknya, melemparkan tinjunya lagi, kali ini ke sisiku sebelah kanan.
Aku mengelak lalu menamparnya lagi. Tinju lagi ke sisi kiri, mengelak, menampar. Tinju lagi ke sisi kanan, mengelak, menampar.
Anak sialan ini sangat mabuk, bukan? Dia benar-benar mengayunkan tinju padaku dengan sungguh-sungguh.
Aku melangkah mundur setiap kali menampar wajahnya.
Baru saat aku mempertimbangkan untuk memukulnya sekali lagi, aku mendengar suara dari kejauhan.
“Wow, suasana hari ini sungguh bagus.”
“Kau akan datang ke ronde berikutnya, kan?”
“Tentu. Pastikan saja setiap orang datang.”
Beberapa orang keluar ke dek untuk menyejukkan diri dari hawa panas di pesta. Ini membuat perubahan.
Aku berhenti memukul Go Min-guk dan berdiri terpaku.
“Kau – !” Go Min-guk bergumam, menganggap momen ini sebagai kesempatan dan menyerangku dengan sisa kekuatannya.
Aku dengan cekatan membalikkan tubuhku, dan bagian atas tubuhnya melewati pegangan. Dia berteriak ketakutan; pusat gravitasinya tidak seimbang. Kakinya menggelepar dan menendang udara kosong, lalu tubuh bagian bawahnya meluncur dan menghilang dari tepi dek.
Terdengar suara tercebur.
“T-tolong aku!” Suara teriakannya dari bawah.
“Oh ya Tuhan! Apa tidak ada seorang pun di sana? Kumohon tolong!” teriak Kepala Kim.
Orang-orang berkerumun.
“Astaga. Apa yang terjadi?”
“Tampaknya dia jatuh ke air.”
“Penjaga! Penjaga!”
Para penjaga bergegas keluar dari ruang pesta sebagai tanggapan atas keributan dan menolong Go Min-guk keluar dari air.
Go Min-guk berbaring lemas di geladak seperti bola kapas basah dan muntah. Semua orang bisa tahu dengan tepat apa saja yang dia makan selama pesta.
Menjijikan. Orang-orang yang berkumpul di sekitar meringis.
Dia sungguh menyebabkan banyak masalah.
“Apa yang terjadi?” kata suara di belakangku.
Ada Nam Sae-ha, dan Park Hwa-seon berdiri di dekatnya. Pembawa acara pesta dan tunangannya tiba.
Sempurna, sungguh sempurna.
Aku meraih lengan Go Min-guk yang terisak-isak dan mengangkatnya berdiri.
Mulut Park Hwa-seon menganga karena terkejut melihat kecerobohan tunangannya.
Oh, mungkinkah itu bisa mengubah penilaiannya pada Go Min-guk? Dari ekspresinya yang kulihat, dia tampak sangat kesal.
“Maaf. Kakakku terlalu banyak minum.” kataku.
“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nam Sae-ha.
“Spertinya begitu.”
Tampaknya kita sampai di dermaga; kapal pesiar telah berhenti.
Waktu yang tepat, terima kasih Tuhan.
“Kami mohon undur diri sekarang. Maaf karena kakakku telah mengacaukan suasana. Tolong sampaikan salamku pada tamu yang lain.” kataku.
“Jangan khawatirkan soal itu. Tolong segera ke rumah sakit.” kata Nam Sae-ha.
Bahkan dengan ucapanku ini tidak mungkin tidak menimbulkan rumor. Tidak mungkin ada topik percakapan yang lebih menarik daripada putra kedua presiden Grup Gogwang yang mabuk dan jatuh ke sungai di sebuah pesta.
Mereka mengatakan bahwa satu apel yang buruk merusak tongnya, tetapi kukira Grup Gogwang akan membuat Go Min-guk menanggung semua rasa malu itu.
Oh well. Kau menuai apa yang kau tabur.
“Terima kasih. Kalau begitu, kami pergi saja.” kataku, mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang.
Nam Sae-ha melirik para penjaga, memberikan kode dengan matanya.
Mereka mengambil alih dan menggendong Go Min-guk saat kami turun ke dermaga.
Si brengsek ini masih memuntahkan apa yang masih tertinggal di perutnya. Sangat menjijikkan sekali.
Park Hwa-seon pergi begitu saja.
Aku mengeluarkan ponselku untuk menelpon ambulan lalu melihat bahwa aku menerima pesan saat tengah ada di pesta.
Pesan dari Ho-un yang telah kutunggu-tunggu.
‘Aku telah menemukan orang yang cocok dengan rincian yang kau berikan.’
<Sekian>