The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 6 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 6 Bahasa Indonesia - Pesta di atas kapal
Penerjemah: Hennay
Bagian 6: Pesta di atas kapal
Sebuah tempat tinggal seluas lebih dari seribu meter persegi terletak di jantung kota Seoul. Rumah itu memiliki taman yang terawat dengan baik dan ubin batu antik yang diterangi cahaya lembut dari luar.
Memikirkan sebuah rumah semacam itu, seolah hanya bisa dilihat di TV, tetapi sekarang itu adalah rumahku.
Kepala Kim dan aku membuka pintu depan dan masuk bersama-sama.
Mataku disambut oleh interior rumah yang mencerminkan kemewahan.
Aku juga melihat Go Dae-man, sedang duduk di sofa sambil membaca buku.
“Kau terlambat.” katanya.
“Tumben Anda belum beristirahat di kamar Anda?” kata Kepala Kim membuatku terkejut, lalu membungkuk.
Jarang bagi Go Dae-man masih terjaga setelah lewat tengah malam. Ia menjaga rutinitasnya dengan baik, sehingga pola tidurnya sangat teratur.
Go Dae-man meletakkan bukunya lalu memperbaiki posisi kaca matanya. Dia tampak lelah, tetapi matanya masih menunjukkan inteligensi yang tajam.
“Kau darimana saja?” tanyanya.
“Hanya mengurus sesuatu di sana sini.” jawabku.
“Apa yang terjadi dengan wajah dan pakaianmu?”
Hmm. Bagaimana sebaiknya aku menjawab ini? Haruskah aku menceritakan bahwa aku berkelahi dengan Spaniel?
Saat aku ragu, Go Dae-man mendecakkan lidahnya lalu mengambil amplop di meja di depannya.
Sebuah kartu undangan yang didekorasi dengan indah dengan daun emas. Yang terbaca: ‘Diharap kehadiran yang terhormat Tuan Go Ji-hun di pesta informal yang merayakan berdirinya Gunbaek Construction.’
“Kau bilang kau tidak akan hidup seperti sebelumnya, jadi kau harus menepati janjimu.” kata Go Dae-man.
“Ayah memberitahuku untuk menghadiri ini?” tanyaku.
“Itu akan berguna.”
“Untuk siapa? Untukku? Atau untuk Grup Gogwang?”
“Apa maksud pertanyaanmu? Kau adalah Grup Gogwang, dan Grup Gogwang adalah dirimu.”
“Aku tidak tertarik. Aku punya kakak yang bisa melakukannya, bukan?”
“Jika kau melanggar kewajibanmu, kau tidak akan bebas. Kartumu bukanlah satu-satunya hak istimewa yang sebelumnya kau nikmati.”
Wow. Itu rendahan. Itu separuh ancaman yang memperingatikanku bahwa Go Dae-man bisa membatasi aksesku pada hal-hal selain kartuku.
Namun, karena aku telah menghabiskan 5.000.000 Won, aku tidak bisa berkata banyak.
“Orang-orang tidak menyadari apa yang mereka miliki hingga mereka kehilangan semuanya.” kata Go Dae-man, mengulang persis kata-kataku saat pertama bertemu dengannya. “Tetapi sekali mereka punya, itu sudah terlalu terlambat.”
“Apa yang coba Ayah katakan?” tanyaku.
Aku bisa membaca wajahnya. Ekspresinya tegas namun lembut pada saat bersamaan.
Go Dae-man menutup bukunya lalu berdiri. “Pertimbangkan saran dari ayah ini. Buatlah pilihan yang benar sebelum terlambat.” katanya.
“… Apa Ayah tidak ingin aku menjadi polisi?” tanyaku.
Mata Kepala Kim melebar; dia baru pertama kali mendengar hal ini.
Aku tidak paham kenapa Go Dae-man menentangku. Apakah karena aku ingin menjadi perwira belaka daripada sesuatu seperti jaksa? Apa karena putranya telah sadar lalu tidak ingin bergabung dengan perusahaan? Atau…?
“Apa karena menurutmu aku akan mengacau lagi?” tanyaku.
Go Dae-man menaikkan kaca matanya lalu menatapku.
Go Ji-hun tidak akan pernah bisa membaca pikiran ayahnya. Tapi sebagai pihak ketiga berusia empat puluh tahun, aku bisa melihat bahwa Go Dae-man khawatir dalam beberapa hal.
Aku tersenyum dengan lembut dan mengamati perubahan ekspresi Go Dae-man. Seolah-olah ada badai lautan yang mengamuk di matanya. Seolah tiba-tiba dia kewalahan.
Namun, sesuai dugaan, dengan cepat dia mengukir senyum tipis di wajahnya. “Betapa memalukan jika seorang putra dari kepala Grup Gogwang gagal dalam sesuatu seperti menjadi pegawai negeri belaka?” katanya.
Kupikir dia keras kepala. Dia melemparkan pukulan dan menolak saranku.
“Andai aku bisa menjadi seseorang yang bisa Ayah banggakan, seseorang yang tidak mempermalukan Grup Gogwang…” kataku.
Dengan seksama, aku memperhatikan ekspresi Go Dae-man lalu menyelesaikan kalimatku.
“Kumohon, ini satu permintaanku.”
“… Ini sudah larut,” kata Go Dae-man.
Dengan buku dalam genggamannya, dia menghilang ke dalam kamar tidurnya.
Mengingat sifatnya, fakta bahwa dia tidak memberikan jawaban pasti pada dasarnya berarti dia telah setuju.
Aku menghela napas denga lega lalu naik tangga menuju kamarku di lantai dua.
Seolah hari ini tidak cukup sibuk tanpa pembicaraan ini. Duh, aku sangat lelah sekali.
Kepala Kim terseok-seok menaiki tangga.
“Tampaknya Presiden sangat mencemaskanmu, Tuan Muda.” bisiknya pelan.
“Itu kabar bagus,” kataku.
“Dia bergadang untuk menunggumu. Dia bahkan memberimu saran.”
“Lupakan. Pastikan kau mengingatnya juga, Kepala Kim. Aku tidak akan pergi ke pesta. Ada segunung hal yang harus kuurus.”
***
Beberapa hari kemudian.
Aku menyaksikan pemandangan kota malam melayang perlahan melalui jendela kapal pesiar. Aku melonggarkan dasi yang mencekik leherku.
“Kenapa harus melewatkan hal baik yang telah disiapkan dengan sangat baik?” kata Kepala Kim dengan tersenyum, seolah membaca pikiranku.
Kupikir dia sedang melihat ke arah lain, tetapi dia sedang memperhatikanku dari sudut matanya. Dia sangat luar biasa dalam banyak hal.
“Kau terlihat tampan hari ini.” katanya.
“Ya, ya. Terima kasih,” kataku.
Dengan rambut tersisir rapi, aku terlihat tampan, layaknya model asing.
Hidung mancung dan mata yang tajam. Setelan yang pas.
Go Ji-hun hidup dengan melihat wajah ini setiap hari. Bagaimanapun kata orang, ini kehidupan yang bagus.
Pencahayaan di kapal sangat gelap secara keseluruhan, tetapi aku bisa merasakan tatapan di sekelilingku mengarah padaku.
“Di luar sangat dingin. Kita akan mati kedinginan dengan berpesta di atas kapal.” kataku.
“Tetapi di dalam hangat” kata Kepala Kim.
Sialan. Uang adalah akar dari semua iblis. eSbagai seseorag yang secara finansial bergantung pada Presiden, aku tidak punya pilihan, selain menghadiri pesta. Tampaknya aku harus berlaku hati-hati di sekitarnya sampai aku menjadi polisi… Tidak, setidaknya sampai aku menangkap Spaniel.
“Pemandangan malam tampak indah, lho.” kataku.
Aku bisa melihat jembatan Dangjeong melalui jendela. Lengkungan beton bertulang yang tinggi menjulang ke atas, cahayanya bersinar seperti bintang yang menghiasi langit malam. Jembatan itu dianggap sebagai jembatan terindah yang dibangun oleh Gunbaek Construction.
‘Semua jembatan yang menyeberangi lautan dibangun oleh Gunbaek Construction.’ ‘Fakta’ ini beredar sebagai lelucon, tetapi sebagian benar. Betapa gilanya pengaruh yang dimiliki suatu perusahaan di Korea.
Kepala Kim mencondongkan kepalanya ke arahku lalu menunjuk ke suatu tempat dengan dagunya. “Apa kau lihat, di sebelah sana? Yang pakai pita.”
Ada seorang wanita dengan pita lebar di pinggangnya sedang meminum sampanye.
“Dia adalah putri bungsu kepala Grup Jayeong. Dia baru-baru ini lulus dari universitas, dan ada gosip tentang pernikahannya dengan kakak kedua Tuan Muda.” kata Kepala Kim.
“Berarti dia calon kakak iparku.” kataku.
“Selama tidak ada masalah tak terduga.”
Masalah tak terduga tampaknya mungkin terjadi. Jika kuingat-ingat dengan benar, Go Min-guk menikahi seorang pengacara dari keluarga jaksa.
“Dan yang berkacamata berbingkai emas adalah putra kedua Perusahaan Airit. Yang berdasi biru adalah keponakan Presiden Su-eon Pharmaceuticals. Putra sulung CEO Uguk Life Insurance dan istrinya juga ada di sini.” lanjut Kepala Kim.
Aku melihat ke sekeliling sambil menyimak deskripsinya. Ini sungguh dunia para bintang.
“Tapi mereka semua masih muda.” kataku.
Mereka semua memang masih muda; tidak ada satu pun orang yang terlihat beruban. Yang paling tua di antara mereka mungkin putra sulung CEO Uguk Life Insurance, yang ditemani istrinya.
“Observasi yang bagus. Pesta hari ini sebenarnya adalah pengumuman siapa yang akan menjadi kepala Gunbaek Construction selanjutnya. Lagi pula, mereka telah menunjuk seorang pria muda yang masih baru, dan masih hijau sebagai kepala jalan masuk mereka ke industri perkapalan, “kata Chief Kim.
“Kau mengatakan bahwa mereka telah mengumpulkan kita di sini untuk bertemu satu sama lain sebelum suksesi yang sebenarnya?” kataku.
“Ya.” kepala Kim mengangguk. “Kakak kedua Tuan Muda seharusnya juga di sini.”
“Bagaimana dengan putra sulung?” tanyaku.
“Kakak pertama Tuan Muda” kata Kepala Kim dengan tegas, “masih di China karena perjalanan bisnisnya bentrok dengan acara ini.”
Aku berdehem. “Maksudku, kakak tertuaku,” koreksiku.
Jadi, ini adalah perkumpulan orang-orang yang akan memimpin Korea generasi selanjutnya. Acara sudah dipersiapkan, tetapi dibuat tidak diketahui oleh publik. Pesta ini diadakan untuk membangun relasi.
Lampu ruangan dipadamkan dan lampu panggung menyala. Seorang pria memakai setelan bagus mengambil alih mikrofon.
Dia terlihat berusian 30-an. Dia memiliki penampilan keseluruhan yang halus dan rapi. Matanya yang sipit terlihat menarik, tetapi juga terlihat agak dingin.
“Halo, semua. Aku Nam Sae-ha, direktur eksekutif Gunbaek Construction dan kepala Pelayaran Gunbaek” katanya.
Nam Sae-ha. Anak kedua Presiden Gunbaek Construction.
Dia lulusan dari universitas elit di luar negeri lalu segera bergabung dengan Gunbaek Construction. Hal ini menimbulkan kontroversi dan tuduhan nepotisme, tetapi ia diakui sebagai individu yang punya etos kerja dan dorongan untuk sukses. Ada desas-desus bahwa salah satu temannya dari universitas adalah koneksi yang memungkinkan Konstruksi Gunbaek mendapatkan komisi untuk membangun jembatan untuk keluarga kerajaan Arab.
Inilah kenapa hidup di luar negeri merupakan hal yang bagus? Bagaimana mungkin sih dia berteman dengan pangeran Arab?
Melalui komisi ini, Konstruksi Gunbaek membuat kemajuan besar di Timur Tengah, dan Nam Sae-ha naik pangkat dengan sangat cepat. Ada banyak opini berbeda tentangnya di dalam perusahaan, tetapi dia bekerja dengan sangat baik.
“Ada beberapa wajah yang belum pernah kulihat sejak lama, dan yang wajah-wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.” lanjut Nam Sae-ha. “Terima kasih atas kedatangannya hari ini. Berkat Anda, saya merasa Korea dan Gunbaek menjadi makmur.”
Tawa kecil dari penonton terdengar di sana-sini.
Nam Sae-ha mengangkat segelas wine di tangan kanannya. Orang-orang yang melihatnya dari bawah juga turut mengangkat gelas wine miliknya.
Kepala Kim mengangkat gelasnya dan memberiku anggukan.
Iya, iya. Aku tahu. Aku ikut saja.
Aku mengangkat gelasku.
Nam Sae-ha melihat ke sekeliling, lalu tersenyum puas. “Untuk negara kita, Republik Korea.”
“Untuk Republik Korea!” ulang para penonton, lalu terdengar suara gelas berdenting.
Sesuai dugaan, Kepala Kim mengarahkan gelasnya padaku. Aku tersenyum lalu mendentingkan gelasku ke gelasnya.
Akhirnya, musik dimainkan dan para pelayan mulai berjalan berkeliling dengan membawa makanan dan minuman.
Aku tidak tahu apakah karena mereka semua masih muda atau karena mereka saling mengenal satu sama lain, tetapi aku merasa ada tembok kokoh yang dibangun antara aku dan mereka semua. Yang jelas, aku tidak ingin terlibat dengan mereka.
Aku bersandar di sudut ruangan dan melihat ke sekeliling tempat pesta, sambil mendengarkan Kepala Kim menceritakan tentang orang-orang ini.
“Apa kau lihat pria dan wanita di sebelah sana? Mereka berkencan lalu putus, tapi kemudian saudara mereka menikah, jadi sekarang mereka berdua adalah keluarga.”
“Keluarga yang sangat tidak berguna.”
“Yang di sana baru-baru ini bercerai setelah perselingkuhan masa lalunya dengan seorang aktris terungkap, dan yang di sini menghabiskan setengah dari saham yang diwarisinya. Kepemimpinan perusahaannya direbut oleh adik laki-lakinya.”
Kupikir ini adalah dunia bintang, tetapi melihat bagaimana mereka hidup, aku tahu bahwa mereka mendapat masalah seperti orang biasa, jika tidak lebih.
Kepala Kim mengeluarkan ponselnya dari saku dalam.
“Tuan muda. Tetaplah di sini sebentar.” katanya.
“Kau pergi ke mana?” tanyaku.
Kepala Kim berlari keluar tanpa menjawab pertanyaanku. Mungkin itu panggilan pribadi. Pacarnya, mungkin?
Aku hanya berdiri di sana dengan canggung sambil menyeruput minumanku.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada wajah yang kukenal. Go Min-guk, putra kedua presiden Gogwang Group.
Mata yang tampak licik, fitur kecil, dan rambut yang sedikit menipis. Anehnya, dia mirip dengan Bu Lee Mi-sook, tapi sebenarnya tidak dalam arti yang baik.
Sepertinya dia melihatku; dia memasang wajah cemberut dan tampak terkejut – seolah bertanya-tanya apa yang kulakukan di sini.
Aku tahu kami hanya saudara tiri, tetapi bukankah perlakuan itu sedikit dingin terhadap seseorang yang pada dasarnya meninggal dan hidup kembali?
Aku hanya mengangguk sedikit lalu melihat ke arah lain.
Hmm. Tampaknya hubungan keluarga sungguh menyebalkan.
Namun, tampaknya Go Min-guk menganggap reaksiku menyinggung perilakunya.
“Go Ji-hun, kemarilah.” katanya.
Dia melambaikan tangan.
Aku menghela napas. Aku sudah merasa lelah.
Orang-orang di sekeliling Go Min-guk menghentikan obrolan mereka lalu menatapku.
Menyadari bahwa aku tidak berniat pindah dari tempatku sekarang, dia memimpin teman-temannya menghampiriku.
“Tidak ada dari kalian yang pernah bertemu dengannya, bukan? Dia adalah adik bungsuku Go Ji-hun,” katanya.
“Adik Min-guk? Dia sangat tampan sampai kukira dia seorang model.” kata salah seorang wanita.
“Wajahnya memuakkan.” kata salah seorang pria.
Para wanita menunjukkan ketertarikan padaku, sedangkan para pria sebeliknya. Ini mungkin karena penampilanku. Di dunia tempat orang hanya bertemu dalam kelompok tertutup yang sama, pria yang sama tampannya denganku sangatlah langka.
Di antara kelompok itu ada tunangan Go Min-guk, putri bungsu kepala Grup Jayeong. Kurasa namanya Park Hwa-seon?
“Iya, benar. Baiklah kalau begitu, aku undur diri dulu.” kataku berusaha pergi.
Namun, Go Min-guk meraih lenganku. “Kau mau pergi ke mana? Merangkak kembali ke sudut kamarmu?”
Apa sih yang dipikirkan bocah sial ini?
Suasana menjadi canggung dan tidak menyenangkan.
Aku berusaha melepas tangannya, tetapi seorag wanita dari kelompok itu juga meraih lenganku untuk alasan yang berbeda. Pandangannya yang memikat tidak diragukan lagi mencoba membujuk saya untuk tetap tinggal.
“Baiklah kalau begitu. Tidak ada yang tahu kapan aku mendapat kesempatan bertemu lagi denganmu?” kataku.
“Hei,” kata Go Min-guk, memanggil pelayan. “bawa minuman ke sini.”
“Tetap saja, dia tidak terlihat seperti Min-guk. Dia sungguh tampan.” kata salah seorang temannya dengan kesal.
Suasana menjadi dingin. Jelas secara obyektif bahwa Go Min-guk telah mewarisi semua gen terburuk dari keluarganya. Ini adalah fakta yang diketahui semua orag, tetapi tidak ada seorang pun yang membicarakannya keras-keras.
Dia mendapat tekanan dari segala arah. Aku yakin dia sendiri punya banyak masalah.
“Kau kuliah di mana?” temannya yang lain menanyaiku berusaha memecah ketegangan.
Namun, teman Go Min-guk seharusnya tahu dengan baik bagaimana kehidupan yang telah kujalani.
“Dia hanya tamat sekolah SMA. Ijazah kesetaraan umum pada saat itu, “kata Go Min-guk sambil tertawa sebelum aku bisa menjawab.
“Apa? Kenapa? tanya temannya.
“Aku sendiri pun ingin tahu. Mungkin dia menyerah atau semacamnya.”
“Oh…”
“Dia mengurung diri di sudut kamarnya dan menyia-nyiakan waktunya seperti sayuran.”
Semua orang di sini belajar di luar negeri atau lulus dari universitas bergengsi.
Untuk sesaat, aku merasa tatapan mereka yang tertuju padaku penuh dengan rasa mencemooh.
Aku adalah anak ketiga di luar pernikahan yang hanya tamat SMA. Bahkan dengan bisnis Grup Gogwang di atas kepalaku, aku tampak jauh lebih rendah di antara orang-orang ini.
Bagaimanapun, Go Min-guk sangat brengsek. Aku juga telah mendengar beberapa hal tentang dia, dan dia ingin membesarkan pendidikan universitas? Sangat tidak tahu malu dari seorang pria yang baru masuk ke universitasnya setelah membangun gedung untuk mereka.
“Apakah latar belakang pendidikan seseorang sangat penting saat ini?” kata wanita dari Grup Jayeong Group, mengangkat gelas wine padaku. “Harapan hidup tinggi akhir-akhir ini. Anda harus hidup sambil melakukan hal-hal yang ingin Anda lakukan.”
Seseorang terkikik. “Kau betul sekali. Lagi pula, kita masih muda.”
“Ngomong-ngomong, Anda akan segera lulus, bukan, Hwa-seon?” kata yang lain.
Topik pembicaraan telah berganti seketika.
Park Hwa-seon, putri bungsu presiden Grup Jayeong. Saya kira dia dipilih sebagai calon menantu karena dia memiliki penampilan yang polos, lulus dari universitas bergengsi, dan santun.
Go Min-guk, kau bocah sialan. Anda berhasil mendapatkan wanita yang terlalu baik untuk Anda.
Topik pembicaraan semakin meluas.
“Aku bertemu dengan direktur pada rapat pemegang saham umum terakhir, dan …”
“Aku sedang membicarakan bisnis wine Perancis. Ada yang namanya sangat bagus, Lemans Cronet…”
“Aku mendengarnya juga. Oh iya, perusahaan kita…”
Ekonomi lah blah blah, dunia blah blah blah. Mereka sedang membicarakan bagaimana bisnis mereka berjalan. Kebanyakan dari mereka memperoleh posisi mereka melalui nepotisme, namun mereka membual seolah-olah perusahaan itu milik mereka.
Percakapan mereka masuk ke telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri saat aku menikmati minuman dan makanan ringan. Makanan lezat yang bahkan aku tidak tahu namanya meleleh di mulutku sebelum aku menelannya.
“Kau dengar itu, kan, bocah tak bisa apa-apa?” Tiba-tiba Go Min-guk berkata mengarah padaku.
Topik pembicaraan telah bergeser ke peraturan perusahaan yang mulai berlaku tahun ini. Itu adalah RUU ambisius yang diusulkan oleh pemerintah yang baru untuk mendapatkan popularitas publik. Peraturan itu menetapkan tentang perekrutan wajib bagi penyandang cacat, penerima kesejahteraan, dan veteran.
“Bagaimanapun, inilah sebabnya sangat menyakitkan ketika pemerintah berganti.”
“Kita tidak bisa main-main setelah menginvestasikan begitu banyak uang.”
“Maksud saya, bahkan jika kita memilih orang yang pernah tinggal di luar negeri sebelumnya, perusahaan hampir tidak berjalan.”
“Tetap saja, tidak buruk untuk meningkatkan citra publik perusahaan.”
“Kami dapat meningkatkan citra perusahaan sebanyak yang kami inginkan dengan metode lain.”
“Jika kita harus membayar biaya, bukankah lebih baik mempekerjakan mereka?”
Mereka semua mengekspresikan gagasan mereka dan mengomentari tagihan baru pemerintah.
Sedangkan bagiku, well, aku tidak peduli.
Akan tetapi, dengan tidak mengatakan apa-apa sebenarnya menyebabkan tembakan lain dilepaskan ke arahku.
“Ji-hun belum mengatakan apa pun sejak tadi. Apa dia tipe pendiam?” tanya salah seorang teman Go Min-guk.
“Dia harus paham dulu jika ingin berbicara.” kata Go Min-guk.
Teman-temannya tertawa. “Kita kan tidak sedang berbicara dalam bahasa asing, Min-guk.”
“Bocah sial ini bahkan tidak mengerti bahasa Korea.” Go Min-guk menyeringai.
Teman dekatnya terkikik.
Kau bukan anak-anak lagi. Apa yang sedang kau lakukan? Di depan tunanganmu, bahkan.
Aku diam-diam meletakkan gelasku dan melihat sekeliling.
Di mana kepala Kim dan apa yang sedang dia lakukan? Aku masih belum melihatnya.
Kurasa ini waktunya aku pergi. Namun, sebelum itu, aku harus mengakhiri percakapan ini dengan orang tolol kasar ini, bukan?
<Selesai>