The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 5 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 5 Bahasa Indonesia - Aku akan membantumu
Penerjemah: Hennay
Bagian 5: Aku akan membantumu
Departemen Kepolisian Su-an
Aku membuka pintu menuju ke ruang Divisi Kriminal yang ada di lantai 2. Persisnya ini adalah tempat aku ditahan dan diinterogasi dua puluh tahun yang lalu.
Sebenarnya, dengan datang ke sini lagi membuat kenangan muncul di benakku, satu demi satu. Ahh, bulu kudukku berdiri.
Aku melihat ke sekeliling dengan ragu-ragu.
“Kuberitahu ya, si brengsek ini yang memulainya!” kata seorang pria dengan marah kepada detektif.
“Aku sungguh tidak melakukan apa pun, Pak.” kata pria di sebelahnya dengan tenang.
“Kau tahu siapa aku?” teriak pria yang pertama.
“Permisi, tolong tenang yang di sana,” kata detektif lain dengan keras di baris mereka.
Seluruh tempat sangat gaduh dengan sura dering telepon dan teriakan-teriakan.
Aku meraih lengan detektif yang sedang lewat. “Permisi, siapayang bertanggung jawab atas kasus Spaniel Su-an?” tanyaku padanya.
“Masuklah ke sana,” jawab detektif itu, menunjuk ruangan yang jauh lebih ke dalam.
Dia tampaknya sedang terburu-buru; dia praktis berlari ketika aku melepaskannya.
Aku menerobos kerumunan orang-orang untuk sampai ke belakang, tetapi semua detektif di tempat itu sedang pergi keluar; tidak ada orang di sini.
Gugus Tugas Kejahatan Kekerasan 2 ada di sebelahnya. Semua meja di situ juga kosong, kecuali satu.
“Permisi.” panggilku pada pria yang berdiri di depan meja itu.
Ada bau apek yang datang dari suatu tempat.
Pria itu menatap tajam ke beberapa rekaman beresolusi rendah. Menurutku, itu adegan kriminal, tetapi sulit mengenali wajah orang-orangnya
“Yesus Kristus. Bisakah ini disebut rekaman?” gerutu pria itu dibalik napasnya.
“Detektif?” panggilku sekali lagi.
“Ya?” Dia berbalik lalu mendongak menatapku.
Wow. Dia pria yang tampan dan atletis. Kulitnya cokelat, bahunya bidang… Luar biasa. Bentuk badannya lebih bagus dari atlit rata-rata.
“Saya punya informasi terkait Spaniel Su-an.” sebutku.
“Spaniel? Duduklah.” kata detektif itu, menarik kursi yang ada di depannya.
Sialan. Aku baru saja melihat kaus kaki busuk pria itu. Pasti ini yang menimbulkan bau busuk di kantor.
“Informasi apa yang Anda punya?” tanya detektif itu.
“Saya melihat pria mencurigakan di gang dekat Kedai Pizza Moreore di kawasan Dongsu, dan menurutku, dialah Spaniel.” Aku mengeluarkan pisau cutter dari sakuku. “Pria itu menjatuhkan ini.”
Detektif yang seperti monster berhenti menulis dan menjatuhkan bolpoinnya. Dia melihat pisau cutter itu, lalu melihatku, dengan wajah bingung.
“Terima kasih, tetapi apa yang membuat Anda beranggapan bahwa pria itu adalah Spaniel?” tanyanya.
Fakta bahwa senjata Spaniel adalah pisau cutter belum diketahui. Jika aku menjelaskan semua situasi saat insiden, mereka jelas akan berusaha melacak korbannya, tetapi jika penjelasanku kurang rinci, aku akan menyebabkan kesalahpahaman yang tidak diinginkan.
“Dia menggunakan topi hitam dan masker. Matanya tampak seperti sketsa yang dibuat polisi.” kataku dengan tenang.
“Dia tidak melakukan apa pun yang tidak biasa?” tanya detektif itu.
“Kami tidak sengaja berpapasan di gang, dan dia lari terburu-buru.”
“… Itu saja?”
“Bukankah itu mencurigakan?”
Detektif itu mendengus. “Iya. Kau benar sekali,” katanya dengan senyum sopan.
Momen berikutnya, dia memperhatikanku lebih dekat dengan tatapan tajam.
“Bagaimana Anda mendapat luka di tangan dan wajah Anda?” tanyanya.
“Itu masalah pribadi saya,” jawabku.
“Ah-hah. Bisakah Anda menunjukkan kartu identitas Anda, jika tidak keberatan?”
Dengan percaya diri, aku menyerahkan ID-ku padanya.
“Sebentar.” kata detektif.
Dia menjadi sopan, tetapi aku yakin dia berpikir kalau aku mencurigakan. Meski tampaknya tidak ada yang salah di luarnya, dia mungkin sencara intuitif mengendus sesuatu… tetapi tampaknya intuisinya mendorong ke arah yang salah.
Memikirkannya seperti itu membuatku sedikit kesal. Lagipula aku hanya mencari polisi dan memberikan bantuan sebisaku.
Tiba-tiba, suara keras datang dari tim di sebelah sana, di balik pembatas ruangan.
“Apa? Bukankah itu tidak masuk akal?”
Suara itu berasal dari tempat yang berlabel ‘Gugus Tugas Kejahatan Kekerasan 1.’
Aku berpura-pura tidakmendengarkan, tetapi aku menyimak.
“Ada apa?” tanya detektif lain. Aku penasaran apa yang terjadi pada kerumunan di area itu.
“Badan Forensik Nasional punya data DNA dari perampokan toko perhiasan kemarin.”
“Itu bagus. Pelakunya akan segera tertangkap.”
“Tapi orangnya ada di penjara saat ini.”
“Apa?”
“Data ini menunjukkan dia telah dipenjara satu tahun yang lalu, dan dia masih di penjara. Sialan.
Apa-apaan ini?”
“Mungkinkah ada kesalahan?”
“Itulah yang kukatakan. Aku menyuruh mereka melakukan tes lagi, tetapi ini sangat aneh.”
“Barangkali saat dia keluar penjara untuk melakukan pelayanan? Apa dia pernah keluar dari penjara?”
“Tidak. Tampaknya sipir penjara bersedia bersaksi untuk itu.”
“Tidak mungkin ada yag salah dengan buktinya. Buktinya dikumpulkan dari lokasi. Pasti ada yang salah dengan proses analisisnya.”
“Sialan. Apa sih yang sedang terjadi?”
Suasana di seluruh kantor telah berbalik.
Sebuah kasus tiba-tiba muncul dalam benakku. Aku tidak ingat nama kasusnya, tetapi itu semacam kasus yang tidak biasa yang digunakan dalam buku teks investigasi forensik di masa depan.
Aku berdiri lalu menempelkan kepalaku ke dinding partisi.
“Permisi, Detektif.” panggilku pada pria yang duduk paling dekat denganku.
Karena sangat bingung, detektif itu berbalik lalu diam menatapku.
“Apa sebaiknya saya memberi tahu Anda?” tawarku.
“Maaf?” kataku. Dia melihatku dengan tatapan kosong.
“Apa sebaiknya saya memberitahu Anda apa yang telah terjadi pada kasus itu?”
Semua detektif yang berkumpul di kantor melihatku seolah aku gila. Aku bisa mendengar bisikan dari seseorang yang penasaran tentang siapa diriku. Aku bahkan bisa melihat seorang pria terang-terangan mengejekku.
Aku berpura-pura tidak melihatnya. “Apa Anda ingin tahu apa yang terjadi?” tanyaku pada para detektif.
“Maksud Anda, Anda lebih tahu daripada Badan Forensik Nasional? Apa Anda pelakunya?” Salah seorang detektif tertawa, baik suara maupun ekspresinya penuh dengan sarkasme tinggat tinggi.
Untuk sejenak, aku separuh mempertimbangkan untuk tidak membantu mereka, tetapi aku menggesek gigiku lalu tersenyum.
“DNA adalah karakteristik pengenal penjahat, tapi dia dikurung di penjara, jadi Anda semua bingung. benar, kan?”
“Itu benar,” setuju salah satu detektif.
“Kalau begitu, dia mungkin kembar identik.”
Kantor diliputi kesunyian.
“Kembar identik itu jarang, kan? Mungkin hanya satu persen dari total populasi?” lanjutku.
Semua detektif tampak skeptis, tetapi opini mereka berbeda-beda..
“Berapa kemungkinannya kalau mereka berdua adalah pelaku kriminal serius?”
“Tetapi itu sungguh bukan tidak mungkin.”
“Kenapa kalian setuju dengan dia!”
Well, sekarang aku telah memberi mereka jawaban yang benar, seharusnya detektif polisi akan mengurus sisanya.
Aku kembali duduk lagi, meninggalkan mereka.
“Hei, Junior,” suara dari pria yang tampak seperti ketua Gugus Tugas Kejahatan Kekerasan 1. “Kau pergi ke kantor perumahan itu dan periksalah.”
“Siap, Pak!”
Detektif muda bergegas keluar kantor dengan membawa jaketnya.
Sekarang pukul 5:30. Kantor perumahan itu buka sampai pukul 6, jadi pastinya sudah tutup saat dia tiba.
“Detektif Kang, telepon penjara lagi. Aku akan pergi ke Badan Forensik Nasional.”
“Siap, Pak!”
“Pak! Tolong urus ini juga selama dia di sana.”
Semua orang tiba-tiba sangat sibuk, terlepas dari fakta bahwa semenit yang lalu mereka semua sedang duduk.
Menjadi polisi adalah pekerjaan yang membutuhkan gerak, tetapi panas dan energi yang diberikan itu menakjubkan.
Aku hanya duduk di tengah mereka semua, menyaksikan semuanya terungkap.
Kau tahu… Bagaimana jika aku tidak pernah melakukan pengantaran saat itu? Akankah aku berada di antara orang-orang ini saat ini? Akankah aku meraih impianku menjadi petugas polisi?
Aku merasakannya lagi sekarang. Realita dari fakta bahwa hidupku dihancurkan oleh polisi sehingga aku malah bermimpi untuk bergabung menjadi polisi.
Detektif berotot yang mengambil ID-ku kembali. Pemeriksaan latar belakangku tidak akan menemukan apa-apa, jadi dia tidak punya pilihan lain.
“Terima kasih. Kami akan mengamankan bukti itu untuk referensi.” katanya.
“Silakan,” kataku.
“Bisakah Anda mennggalkan nmor telepon? Kami mungkin menghubungi Anda jika kami punya pertanyaan lagi.”
“Tentu. Anda bekerja sangat keras sepanjang waktu, jadi hanya itu yang bisa saya lakukan.”
Aku menulis nomor teleponku di selembar kertas.
“Ah, Detektif?” panggilku.
“Ada apa?”
“Apa ada detektif Wang Ong-gu di sini?”
Ini adalah alasan lain aku datang ke departemen kepolisian. Wang Ong-gu adalah salah seorang yang bertanggung jawab terhadap kasus Hae-soo, orang yang menginterogasiku.
Aku telah berkeliling tetapi aku tidak melihatnya, jadi mungkin dia sedang pergi bertugas.
Detektif berotot itu agak mengernyit dengan enggan padaku. “Detektif Wang? Dia ada di unit narkotika,” katanya.
Unit narkotika? Setidaknya, dia menangani kejahatan kekerasan hingga tahun lalu.
Umum bagi petugas polisi untuk dipindahkan ke departemen lain atau pengaturan ulang struktur tim di bawah instruksi atasan mereka. Akan tetapi, mungkinkah seorang detektif yang dipercaya dengan sesuatu sepenting kasus Hae-soo dipindahkan ke departemen lain dalam waktu kurang dari satu tahun setelahnya?
Ada yang aneh. Aku tidak langsung curiga tetapi tetap bingung.
Detektif berotot itu menatapku aneh. “Apa ada hal yang perlu Anda laporkan dengan detektif Wang Ong-gu?”
“Tidak, saya hanya berutang sedikit padanya.” kataku.
“Apa Anda mau detail kontaknya?”
“Tidak, terima kasih. Saya akan kembali dan mencarinya lain kali.”
Aku punya banyak waktu, dan aku bisa belajar detailnya dengan cara yang alami begitu aku menjadi petugas polisi.
Aku mengucapkan salam perpisahan lalu keluar dari gedung departemen kepolisian. Aku bisa melihat Kepala Kim terlihat gelisah, seperti anjing yang menunggu pemiliknya, bahkan dari kejauhan.
“Tuan muda. Apa urusanmu lancar?” tanya Kepala Kim.
“Iya. Jangan khawatirkan itu. Sunggu bukan sesuatu yang penting,” kataku memberitahunya.
“Kalau begitu, apa kau mau pulang?”
Aku masuk ke tempat duduk belakang tanpa berkata apa-apa. Aku bersandar di jendela lalu mendongak menatap logo polisi bersinar di gedung departemen kepolisian.
Sejujurnya, perasaanku campur aduk setelah pergi melihat polisi dengan mata kepala sendiri sedang menjalani kehidupan sehari-hari mereka seolah-olah tidak ada yang salah meski telah memenjarakan pria yang tidak bersalah.
Instingku mengatakan bahwa ada jaring-jaring benang yang kusut di luar sana, dan aku yakin akan sulit untuk melepaskannya. Lagipula aku harus melepaskan simpul selama dua puluh tahun.
“Hmm?” kata Chief Kim, memiringkan kepalanya sedikit lalu melirik ke kaca sampingnya.
Ada seorag pria berlari putus asa menuju kita. Dia sedang celingak-celinguk mencari seseorang.
“Dia muncul untuk mencarimu, Tuan Muda,” kata Kepala Kim.
Melihat dari wajahnya, aku tahu. Dia adalah detektif muda yang diperintah untuk pergi ke kantor perumahan.
Aku membuka jendela lalu melihatnya. Dia tersenyum lebar padaku saat dia menemukanku lalu berlari menuju mobilku.
“Anda belum pergi.” dia berusaha berbicara, sambil ngos-ngosan.
“Apa ada hal yang penting?” tanyaku.
“Saya baru saja dari kantor perumahan,” katanya, sambil mengatur napas.
Detektif muda itu sangat menarik dengan berusaha mengatur napasnya. Sepertinya dia sudah berlariaan sejenak; butiran keringat menetes dari ujung rambutnya. Namun, dia merona, wajahnya yang memerah tampak sangat gembira.
“Pelaku kriminal itu benar kembar identik.” katanya memberitahuku.
“Itu kabar bagus,” kataku.
“Terima kasih. Kami akan bingung tanpa Anda.”
Dengan itu, detektif muda itu membungkuk lalu berlari kembali masuk ke gedung departemen kepolisian.
Untuk beberapa alasan, aku merasakan setitik kesedihan di dadaku saat melihat dia pergi.
Dia menjalani kehidupan masa muda yang aku inginkan. Berlarian ke sana ke mari, berkeringat dengan penuh semangat. Orang-orang ini telah mencapai apa yang tidak pernah bisa saya capai.
Mungkin ini usiaku; mataku basah karena hal-hal bodoh semacam itu.
“Tuan Muda?” kata kepala Kim
“Ya?”
Aku bisa melihat wajah kami yang terpantul di cermin. Kami baru melewati pertengahan dua puluh tahun, kita masih muda.
Itu benar. Aku hanya perlu memulainya. Lagipula aku dianugerahi kehidupan baru.
“Haruskah aku mengantarmu pulang?” tanya Kepala Kim.
“Tidak. Ada tempat lain yang ingin aku tuju,” jawabku.
Aku akan menjalani hidup baru dengan cara yang luar biasa. Menjadi emosional itu membuang-buang waktu.
Ayo tangkap Spaniel. Ayo menangkap si brengsek itu lalu mengambil awal yang bagus dari situ.
Aku kebetulan mengenal seseorang yang luar biasa yang dapat membantuku.
***
Lantai pertama gedung apartemen yang hancur berantakan.
Seorang siswa SMA kembali dari belajar di sekolah sampai malam lalu memeriksa kotak suratnya. Ada tagihan asuransi kesehatan, tagihan peralatan, dan selebaran iklan.
Dia juga menemukan sebuah amplop yang tampak asing.
Dengan ragu-ragu, anak itu mengambil amplop warna putih yang kusut dan terlipat dari kotak surat. Ada tiga cek di dalamnya, masing-masing bernilai 1 juta Won.
“Hah?!” gumamnya sambil mengernyit.
Dia memeriksa kedua sisi amplop, tetapi tidak ada detail kontak yang tertulis. Pada saat itu–
“Aku tidak akan melakukan pekerjaan apa pun untuk sementara waktu, “desahnya saat berbalik menuju tangga yang gelap.
Pada saat itu, seorang pria tampan muncul dari kegelapan.
“Hai, Ho-un,” sapa pria itu.
***
“Bagaimana kau tahu namaku?” Ho-un bertanya sambil menyeruput teh hijau, sorot matanya sangat penasaran.
Dia tampak tidak nyaman, terlepas dari fakta bahwa dia sedang di keramaian di dalam kafe.
Tampaknya dia suka teh hijau sejak kecil. Hanya itu yang dia minum saat di penjara.
Aku menikmati kopiku saat aku memperhatikan anak itu dari dekat.
Setiap fitur di wajahnya sama dengan Ho-un yang kukenal. Saat ini, aku seolah sedang bertatap muka dengan anaknya yang tersembunyi.
“Well, kau tidak akan percaya jika aku memberitahumu,” kataku menjawab pertanyaannya.
“Aku tidak akan bekerja untukmu jika kau tidak memberitahuku” katanya.
“Kau bilang kau tidak akan melakukan pekerjaan apa pun untuk sementara waktu.”
Ho-un manyun lalu memalingkan muka. Selain kata-katanya, tangannya sedang menggenggam tiga juta Won dengan erat.
Bagaimana mungkin kata-katamu sangat berbeda dengan sikapmu, kawan?
“Katakan saja di mana kau mendengar namaku” katanya, tampak cemas karena informasi pribadinya bocor.
Seorang pria yang menggunakan nama alias ‘Semut’ di saat dirinya mengacaukan informasi orang pasti akan merasa rentan sekarang setelah informasinya sendiri terungkap.
Aku menaikkan alisku lalu melihat dadanya. “Ada di label namamu, di sana. Kim Ho-un.”
Ho-un menatap kosong ke dadanya sendiri sejenak, dan kemudian berdiri dengan tiba-tiba. Dia ragu-ragu, kemudian menaruh amplop di meja.
“Terima kasih teh hijaunya. Daagh,” katanya.
“Apa ini karena ibumu?” tanyaku.
Mata Ho-un melebar seperti kelinci. Dia sudah melewati titik kecurigaan; wajahnya terlihat cemas.
“Bagaimana kau tahu soal itu?” bisiknya.
Pertama kali Ho-un mendapatkan uang adalah saat di Sekolah Menengah. Upah pertamanya dari seorang wanita yang memintanya meretas ponsel suaminya yang sepertinya telah berselingkuh.
Kemudian dengan baik hati, Ho-Un menyerahkan 500 ribu Won dari wanita itu pada ibunya. Dia berharap ibunya memujinya, tetapi yang dia terima adalah pukulan. Ibunya yakin jika seorang anak kecil menghasilkan uang tanpa bekerja, niscaya berasal dari kegiatan ilegal. Orang yang menakutkan, dia memaksa Ho-un untuk membakar uang saat dia menangis.
Tetapi wataknya tidak pernah berubah. Sejak saat itu, dia secara diam-diam akan menerima permintaan sesekali kapan pun dia membutuhkan uang, sampai ibunya meninggal ketika dia berusia dua puluh tahun.
“Tidak ada hal yang tidak kau ketahui,” tegas Ho-un.
“Ternyata, aku tahu banyak tentangmu.” kataku.
“Tapi untuk apa kau mencariku? Jika kau cukup terampil untuk melakukan itu, pergi dan selesaikan masalahmu sendiri, “desah Ho-un.
“Aku tidak tahu cara menggunakan komputer” kataku sambil menyeringai.
Ho-un memasang ekspresi seolah-olah dia baru saja mencicipi kotoran.
Jadi, ada kalanya kamu juga naif ya?
“Ini bukan hal besar. Cukup temukan seseorang untukku.” kataku.
“Bukan hal besar? Kau membuatnya terdengar mudah.” kata Ho-un.
“Tentu. Lagipula ini pekerjaan yang mudah bagimu.”
“Kau membayarku tiga juta untuk pekerjaan yang mudah?”
Ini adalah upah tertinggi yang pernah diterimanya sejauh ini. Hingga saat ini, dia mungkin hanya melakukan investigasi kecil dan rahasia… meski di masa depan, dia akan menjadi peretas yang mengguncang fondasi bangsa.
“Tentu. Dan kau bahkan bisa bangga dengan ini.” kataku padanya.
“Apa?”
“Ini adalah pekerjaan yang akan menyelamatkan seseorang.”
Kata-katanya memprotes dan mengatakan bahwa dia tidak akan melakukannya, tapi aku mengenal Ho-un. Aku tahu betapa dia sangat mencintai uang.
Aku menyodorkan beberapa dokumen dan kartu nama padanya. Dokumen-dokumen itu berisi semua detail pribadi Spaniel yang bisa kugali dari sudut ingatanku, dan kartu nama itu adalah milik Chief Kim.
“Aku tidak sepenuhnya yakin tentang beberapa informasi ini, tetapi seharusnya akurat. Cari pria yang ada di dokumen ini” perintahku.
“Kartu nama apa ini” tanya Ho-un
“Tunjukkan pada ibumu ketika dia menanyakan dari mana uang itu berasal.”
Kepala Kim adalah bagian kesekretariatan Grup Gogwang.
Ho-un membandingkan wajahku dengan yang ada di kartu nama. “Tapi ini bukan dirimu.”
“Tak masalah, gunakan saja itu. Jika ibumu terus bertanya, katakan padanya kau punya kerja sambilan dengan Gogwang. Belikan ibumu makanan enak” kataku.
Aku tidak sampai hati mengatakan kepadanya bahwa ibunya akan meninggal ketika dia dewasa. Aku tidak bisa memberitahunya untuk merawatnya.
“Serius, kau ini siapa? Apa kau putra seorang pimpinan konglomerat atau apa?” tanya Ho-un
Tanpa berkata apa-apa, aku bangkit dari tempat duduk. Ini sudah hampir tengah malam. Ibunya akan cemas jika aku terus menahannya lagi.
“Aku hanya pria pengangguran dengan banyak uang” jawabku.
“Itu keren.” kata Ho-un.
“Aku percaya kau akan segera menemukannya.”
“Aku akan melakukan pekerjaan yang sudah kau bayar. Jangan khawatir, Boss.”
Ho-un menjulurkan tangannya padaku. Keramahannya belum berubah.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya.
Tunggu saja, Spaniel. Aku akan segera menangkapmu.
-Selesai-