The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 4 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 4 Bahasa Indonesia - Korban yang tidak tercatat
Penerjemah: Hennay
Bagian 4: Korban yang tidak tercatat
“Tuan muda, kita sudah sampai.” kata Kepala Kim memberitahuku.
Aku melihat ke luar jendela, menatap pemandangan yang familiar.
Ada banyak sekali gedung yang tampaknya bisa runtuh kapan saja, semua terhubung menjadi satu. Mobil-mobil diparkir tak beraturan di sisi jalan, dan sampah bertebaran di bawah cahaya lampu jalan.
Ini sama seperti yang aku ingat.
“Kudengar daerah Dongsu juga akan dibangun kembali.” kata Kepala Kim.
“Oh benarkah?”
Daerah Dongsu adalah lingkungan tempat tinggalku sebelum aku masuk penjara, tetapi tidak ada yang mengatakan daerah ini akan dibangun kembali saat aku tinggal di sini dulu. Sepertinya ada yang berubah di tahun ketika aku tidak di sini.
“Lagipula daerah Sangsu yang berada tepat di sebelahnya sangat sukses.” Kepala Kim menjelaskan.
“Aku sering mendengar soal itu.”
Tidak jauh dari sini, aku bisa melihat gedung-gedung tinggi menjulang ke langit. Gedung-gedung itu berada di sebelah daerah Dongsu, tetapi daerah tersebut seolah berada di dunia yang sangat berbeda. Apartemen tempat tinggal Hae-soo juga berada di daerah Sangsu.
“Kemana kita pergi sekarang?” tanya Kepala Kim.
“Aku akan pergi sendiri. Belilah kopi atau sesuatu sembari menungguku,” pintaku.
“Tapi…”
Tampaknya Kepala Kim telah diperintah oleh Presiden Go Dae-man untuk tidak meninggalkanku sendirian.
Aku melambaikan ponsel padanya sebagai tanda bahwa dia tidak perlu khawatir, karena aku akan menghubunginya bila terjadi sesuatu. Itu adalah ponsel kedua Kepala Kim yang kupinjam. Aku memutuskan untuk meminjamnya untuk tujuan baik selama beberapa waktu ke depan.
“Aku akan kembali dalam satu jam,” kataku.
“Kau harus mengangkatnya saat kutelepon.” Kepala Kim mengingatkan aku.
Aku hendak menutup pintu mobil, kemudian berhenti. “Oh iya, Kepala Kim. Apa kau suka pizza?”
“Suka sekali.”
“Kalau begitu pinjami aku 30,000 Won.”
Kepala Kim menggigit bibirnya pelan lalu membuka dompetnya.
Seolah ingin benar-benar membuktikan bahwa aku putra dari presiden konglomerat, aku memeriksa semuanya, kumpulan cek yang kutemukan di dalam brangkasku senilai 1,000,000 Won masing-masing.
Ini adalah salah satu cara yang dilakukan Go Dae-man untuk membujuk putranya saat dia mengurung diri di kamarnya. Sebuah cara untuk memnyuruhnya melakukan sesuatu, agar mencoba apa pun yang diinginkannya. Tetapi Go Ji-hun sama sekali tidak tergiur.
Tunggu, bukankah berarti seharusnya dia mendukung putranya sekarang? Tampaknya aku tidak mampu mengerti apa yang ada dalambenak seorang kepala dari perusahaan super besar.
Well, rencanaku adalah mencari dana darurat.
“Aku pekerja yang diberi upah,” kata Kepala Kim.
“Jangan khawatir, aku akan membayarmu dobel,” kataku.
“Pastikan kau kembali tepat waktu.”
Aku menyeringai saat menutup pintu mobil.
***
Aku berjalan melewati gang-gang dan menemukan tanda yang familiar. ‘Moreore1 Kedai Pizza,’ tanda itu terbaca.
Ini adalah tempat kerjaku sejak aku masih murid SMA sampai aku masuk penjara. Jendela-jendelanya bernoda dan berantakan, dan segala macam sampah berserakan di dalamnya. Jika ada orang yang tidak mengenal tempat ini, melihat kedai itu dia akan menganggap kedai itu sedang tutup.
“Tempat ini juga tidak berubah,” gumamku sendiri.
Tidak ada sepeda motor di luar toko. Para pekerja paruh waktu sedang mengantar makanan.
Dengan gugup, aku membuka pintu. Apa yang akan kulakukan jika ada diriku yang lain di sini? Meskipun aku menjelaskan situasinya, dia tidak akan mempercayaiku.
“Selamat datang,” sapa pria gemuk yang duduk di meja kasir.
Penolakan mutlak untuk turun dari kursinya, bahkan saat pelanggan masuk. Dia jelas pemilik kedai yang kutahu, yaitu mantan bosku.
Dia tampak lebih gemuk dari yang terakhir kulihat.
“Apa yang kau mau?” tanyanya.
Nadanya yang kasar juga belum berubah.
Aku tidak merasa takut sama sekali pada anak muda, pemilik tempat ini yang kasar… meskipun dulu aku tidak dapat mengatakan sepatah kata pun ketika dia tanpa malu-malu memotong gajiku.
Melihat ke masa lalu, diriku saat itu sangat muda dan hanya tidak tahu bagaimana dunia bekerja. Maksudku, ada banyak sekali tempat lain yang bisa memberiku pekerjaan. Dunia ini adalah tempat yang kecil dan berbahaya bagi seorang yatim piatu.
“Satu Pizza spesial.” kataku.
“Makan di sini?”
“Tidak. Bungkus saja.”
“30,000 Won.”
Aku menyerahkan tiga lembar uang kertas baru.
Pemiliknya melirik wajahku saat dia mengambil uangku.
Ini pertama kalinya kau meihat wajah tampan, bukan? Ini juga pertama kalinya untukku.
“Hei bos. Boleh tanya sesuatu?” tanyaku.
“Ya?”
“Apa kau kenal Bae Min-soo?”
“Bae Min-soo, kau bilang?” ulangnya, terlihat bingung.
“Dia seorang pemuda yang biasanya mengantar makanan dengan sepeda motor di sini,” kataku.
“Apa yang kau bicarakan? Kami hanya punya satu kurir dengan sepeda motor.”
“Apa?”
“Itu dia datang.”
Melalui jendela, aku bisa melihat bahwa sebuah sepeda motor terparkir di luar. Pengendaranya, seorang pemuda dengan wajah naif, dia melihat ke lantai saat memasuki kedai.
“Hei! Kenapa kau telat sekali!” teriak pemilik kedai.
“Maaf,” kata pemuda itu.
“Kau tak berguna. Pesanannya batal gara-gara kau.”
Ini adalah kata-kata yang sering diucapkan pemilik kedai, seolah itu adalah frasa favoritnya. Sebenarnya, bisnisnya tidak berjalan dengan sangat baik, dan dia hanya melampiaskan kemarahannya.
Pemuda itu melemparkan senyum malu lalu menghilang ke balik kedai.
“Serius, hal yang dia tahu hanyalah cara mengendarai sepeda motor, dan dia bahkan tidak bisa melalukannya dengan benar,” gerutunya pada diri sendiri, selain fakta bahwa suaranya jelas terdengar bahkan dari dalam bilik kedai.
Melihat situasi itu, tampaknya masa laluku bukan di sini, meski aku telah terganti dengan seseorang yang mirip.
“Kalau begitu kau tahu tentang kasus pembunuhan Hae-soo?” tanyaku pada pemilik kedai.
“Tidak ada seorang pun di daerah Dongsu yang tidak tahu berita itu,” jawabnya.
Park Han-dong. Seluruh situasinya sama denganku, kecuali bahwa dia adalah seorang kurir restoran masakan China. Aku yakin dia tinggal dekat daerah ini.
“Kudengar bahwa pelakunya adalah seorang kurir restoran masakan China. Yang mana itu?” tanyaku.
“Tempat itu? Bangkrut. Mereka terus berusaha menjalankan bisnis di daerah itu, tetapi sedikit kasar.” kata pemilik kedai.
Sebenarnya, tempat pizza inilah yang seharusnya bangkrut.
Tampaknya si pemilik kedai senang berbincang dengan pelanggan sejenak untuk pertama kalinya, melihat dia terus bersedia menjawab pertanyaanku.
“Kudengar dia tumbuh hanya dengan dua saudaranya.” lanjutnya.
“Sungguh?”
“Kau sungguh akan tahu ketika seseorang tumbuh tanpa orang tua. Kurir kami juga yatim piatu dan dia agak gila, kau lihat.”
Aku tenggelam dalam keheningan karena syok saat pemilik kedai dengan cekatan mengemas pizza.
Dia juga bukan orang baik dalam kehidupanku sebelumnya, tetapi sekarang jika aku melihat dari sudut pandang orang ketiga, aku bisa melihat bahwa dia sebenarnya manusia sampah.
Melalui jendela yang beku, Aku bisa melihat kepala pemuda itu menunduk melihat ke lantai.
Apa aku selalu terlihat seperti itu? Sangat sedih dan lelah? Aku bisa berusaha sebaik mungkin agar ceria sedikit, tetapi aku tidak pernah tahu saat itu.
Aku mengambil pizza yang dikemas dengan rapi.
“Permisi,” kataku dengan keras ke ruang belakang. “Apa kau di sana, di dalam?”
“Ya?” respon si pemuda.
“Bisakah kau keluar sebentar?”
Si pemuda itu keluar, dengan ekspresi bingung.
“Bos mu tidak pernah membayarmu tepat waktu, kan?” kataku.
“Apa?” responnya tercengang.
“Dia juga memotong upah per- jammu lebih dari setengah, kan?”
“Apa-apan ini! Apa sih yang sedang kau bicarakan!” kata pemilik kedai marah
“Dia bahkan menyuruhmu membayar biaya perbaikan sepeda motor, kan?” Aku melanjutkan.
Mata pemuda itu melebar, seolah bertanya ‘Bagaimana kau tahu semua itu?’
Sementara itu, wajah si pemilik kedai memerah, seolah ada orang yang baru saja memasukkannya ke dalam oven.
“Aku sudah melalui ini sebelumnya, jadi aku bisa memberitahumu bahwa orang seperti ini tidak bisa berubah dengan mudah.” kataku pada pemuda itu.
“Kau gila!” teriak si pemilik kedai padaku sebelum menoleh ke pemuda itu. “Hei, Cheol-yong. Apa kau kenal orang ini?”
“Ti-tidak,” jawab pemuda itu buru-buru.
“Ada banyak tempat lain yang bisa mempekerjakanmu, jadi keluarlah dari pekerjaan ini, pergi dan carilah pekerjaan lain.” kataku, lalu aku mengambil dua lembar cek dari dompetku dan kuberikan pada pemuda itu.
2,000,000 won. Dengan jumlah itu aku dibayar saat itu, senilai dengan tiga bulan. Bahkan gaji yang sudah kecil itu bergantung dari potongan yang dilakukan si pemilik kedai.
“Gunakan ini untuk biaya hidup sementara kau mencari pekerjaan lain” tuturku pada pemuda itu.
“Ah… Ah… Terima kasih,” katanya, memberikan pandangan sembunyi-sembunyi pada pemilik saat dia mengambil cek.
Jika saja aku mendapat keberuntungan semacam ini di masa lalu..
Di malam-malam kurang tidurku di penjara, pernah aku berbincang dengan keluarga penjaraku. Tentang apakah keberuntungan yang didapat seseorang sekali dalam hidupnya akan menghampiri kita juga. Dan tentang apa yang mungkin menjadi kesalahan kami di kehidupan sebelumnya hingga hidup kami sekarang seperti ini.
Meskipun kami terkekeh, perasaan kami campur aduk. Kami berharap bahwa ada satu momen – sekali saja – yang bisa mengubah kehidupan kami.
“Pastikan kau membeli pizza saat kau menginginkannya. Jangan membuat diri sendiri kelaparan,” kataku pada pemuda itu sambil tersenyum meninggalkan kedai itu.
Aku tidak tahu pilihan apa yang akan dia buat dari titik ini, tetapi aku berharap dia menemukan kesempatan yang bagus di suatu tempat. Melihat ke masa lalu, aku tahu betapa besar efeknya atas setiap pilihan sederhana.
“Itu pengeluaran yang tak kuduga,” gerutuku sendiri saat aku melihat ke dalam dompetku tanpa alasan khusus.
Ini tidak penting. Itu adalah sisa uang anggaranku. Jika aku sungguh butuh uang, aku tinggal menjual saja benda mahal di kamarku.
Tetap saja, kehidupan sungguh bisa diubah banyak dengan satu kejadian saja. Aku telah beralih dari kehidupan penjara yang bahkan tidak mampu untuk membeli biskuit lalu sekarang membagikan cek seolah-olah itu bukan apa-apa.
Aku mulai berjalan menuju lokasi Kepala Kim berada.
Namun, beberapa saat kemudian aku mendengar suara seperti jeritan. Suara singkat yang tiba-tiba berhenti, seolah itu bukan apa-apa dan hanya halusinasi pendengaran.
Aku melihat ke sekelilingku, tetapi tidak melihat apa-apa. Rumah-rumah merah itu berdesakan rapat, tapi rupanya sangat sunyi.
“Apa terjadi sesuatu?” panggilku.
Aku berjalan di sekitar gang, mencari sumber teriakan. Lampu jalan kuning berkedip.
Hmm. Apaku baru saja mendengar sesuatu?
Aku melihat ke jam tanganku dan tahu bahwa satu jam batas waktu yang kusepakati dengan Kepala Kim sudah dekat.
Saat aku berbalik untuk pergi, aku mendengar erangan kesakitan.
Aku merasa ada yang aneh soal ini.
Jendela yang setengah terbuka dari sebuah rumah terlihat olehku. Jendela setiap rumah yang lain tertutup agar udara malam yang dingin tidak masuk.
Karena merasa penasaran, aku mendekati rumah itu.
“Halo?” teriakku sambil membunyikan bel pintu.
Tetapi aku tidak mendengar suara atau pergerakan apapun, meski aku merasa ada seseorang di dalam.
Aku melihat lebih dekat, dan ternyata pintu depan terbuka.
Aku membuka pintu, tetapi ragu-ragu.
“Bae Min-soo. Sadarlah.” Bisikku pada diri sendiri.
Dua puluh tahun yang lalu, aku menjadi kriminal karena melakukan hal yang sama persis seperti ini. Kenapa aku tidak pernah belajar?
Saat aku memikirkannya lebih baik dan memutuskan untuk pergi, aku mendengar suara lagi.
“Tolong… aku.” suara seorang wanita menangis.
Aku jelas yakin mendengarnya. Itu bukan halusinasi pendengaran atau bagian dari imajinasi.
Setelah beberapa saat ragu, aku menendang pintu besi berkarat, membuatnya terbuka dengan suara berderit yang keras.
Aku meninggalkan pizza tergantung di selusur tangga di luar, mengambil sapu dalam jangkauan lalu masuk ke rumah.
Aku telah menghabiskan separuh hidupku dengan orang kriminal brengsek, tetapi aku takut.
“Halo?” panggilku.
Sekarang jika aku memikirkannya, aku bukan Bae Min-soo yang terkunci di penjara. Aku Go Ji-hun bertubuh lemah yang menghabiskan hidupnya mengurung diri di kamar.
“Apa ada orag di sana?” panggilku lagi.
Hening.
Sesuatu tergelincir ke sisi lain dari kaca buram pintu depan, dan berhenti di situ.
Dengan pintu di antara kita, aku dan bayangan misterius yang sedang bergerak.
Merasakan ketegangan, aku mengulurkan tangan ke arah pegangan pintu. Segera setelah itu, pintu berayun dan membentur wajahku membuatku berteriak kesakitan. Pria di sisi lain pintu bergerak duluan sesaat sebelum aku bergerak.
Pria itu, yang memakai topi hitam, mendorongku keluar dan mencoba lari keluar dari pintu. Saat aku terjatuh, aku meraih pergelangan kakinya.
Dia jatuh dari tangga, bersama dengan benda-benda lain yang jatuh bersamanya. Ada suara berisik saat deretan pot bunga di luar jatuh ke tanah.
“Agh, sakit,” gerutuku sambil berdiri, mengelus-elus dagu.
Pria itu juga mengerang kesakitan. Tampaknya dia jatuh pada sisi yang salah; dia memegangi pergelangan tangan kanannya.
Topi hitam, masker hitam, dan mata dengan lipatan di kelopak mata. Wajah yang pernah aku lihat sebelumnya.
“Apa yang kau, pencuri?” teriakku.
Alih-alih merespon, dia mengambil pecahan pot bunga yang tajam dan mengacungkannya padaku.
Saat aku mengangkat lengan untuk melindungi wajahku, dia melarikan diri.
Tangganya berantakan. Seolah baru saja terjadi badai yang menyapu tangga. Selain semua kebisingan yang muncul, tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumah.
Setelah mendapatkan kembali inderaku, aku mengintip ke dalam rumah yang gelap.
“Permisi. Apa ada orang di sini?” Panggilku.
Aku tidak mendengar apa pun.
“Aku masuk! aku memberitahumu!” Teriakku
Dapurnya berada tepat di sebelah pintu masuk, dan ada ruang kecil jauh di dalam. Seorang wanita tergeletak tengkurap di lantai.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku pada wanita itu sambil berlutut.
Sisi kiri wajahnya bengkak dan memerah, dan ada sedikit darah mengalir di lehernya. Tampaknya lehernya tersayat senjata yang dikalungkan ke lehernya. Pakaiannya compang-camping, tetapi tidak tampak dia menderita yang lebih buruk lagi.
Aku meraba-raba dan mengeluarkan ponselku.
“Aku akan menelepon polisi. Di mana alamat rumah ini?” tanyaku pada wanita itu.
“Jangan…”
“Maaf?”
“Kubilang… jangan telepon polisi,” wanita itu berbisik, merebut ponsel dari tanganku.
Tangannya gemetar. Apa sih yang dia katakan?
“Kita harus melaporkan ini.” kataku.
Ada sorot tajam dalam mata wanita itu. Matanya basah oleh air mata, tetapi tatapannya penuh permusuhan.
Kenapa kau menjadi seperti ini padaku? Akulah yang menyelamatkanmu.
Wanita itu dengan berani berdiri, menutup jendela, dan menggerendelnya.
“Ini tidak masalah, kan? Aku akan mengunci pintuku sekarang, jadi kau tidak perlu khawatir soal aku,” katanya menantang.
Orang yang kasar sekali.
Aku mengibaskan tangan saat berdiri. Tanganku beratakan, tertutup debu dan lecet akibat jatuh sebelumnya.
Bukan maksudku untuk mencari kekayaan dan ketenaran karena ini; aku tidak tahu mengapa dia membuat keributan seperti itu.
“Ya, kunci pintumu. Namun, aku masih akan memberi tahu polisi soal ini. Aku tidak tahu apa masalahmu, tetapi jika kau tidak melaporkannya dan kemudian ada korban lain, kau akan bertanggung jawab juga.” aku memberi tahu wanita itu.
Dia tersentak mendengar kata-kataku, dan air mata mulai membanjiri matanya… padahal dia tidak menangis saat diserang oleh penjahat misterius itu.
“Jika seseorang melihat kita, mereka akan berpikir akulah yang membuatmu menangis.” kataku.
“Maaf? tetapi polisi…”
Pada poin ini, di luar pemahamanku, aku jadi penasaran. Namun, mempertimbangan suasana dalam ruangan ini, tampaknya dia tidak mau menjelaskannya.
Aku mengernyit dan menghela napas.. “Kalau begitu aku hanya akan memberi tahu mereka aku melihat seseorang yang mencurigakan. Itu tidak masalah, kan?”
“…Terima kasih,” gumam wanita itu, meletakkan tangannya di punggungku.
Hmph. Aku tidak tahu masalah apa yang membuatnya bertindak seperti ini.
Aku terus membersihkan tanganku saat meninggalkan rumah itu.
Ada pisau cutter di bawah tangga. Apa penjahat itu yang menjatuhkannya tadi?
“Pisau cutter? Pisau cutter berkarat…” gumamku sendiri.
Tiba-tiba aku teringat kasus Spaniel Su-an. Penampilan dan pakaiannya mirip, dan yang paling penting, pisau cutter ini.
Senjata yang dia gunakan untuk melakukan kejahatan adalah pisau cutter.
“Sialan,” bisikku.
Memikirkan bahw aku akan menemui Spaniel Su-an seperti ini!
Dengan cepat, aku berlari menuruni tangga, tetapi dia sudah menghilang seperti hantu. Sepanjang gang kosong, seolah ini bagian kota yang sudah dibuang. Tidak ada orang sama sekali di sini dan jelas tidak ada CCTV yang dipasang.
Alasan dia tidak aktif selama sebulan, itu karena dia terluka!
Kejahatan akan berlanjut ketika pergelangan tangannya sembuh.
Aku memasukkan pisau cutter ke dalam sakuku dan kembali ke mobil. Kepala Kim sedang meminum kopi di kemudi.
“Ini sudah satu jam lebih sedikit,” katanya saat aku masuk mobil.
“Kita akan pergi ke Departemen Kepolisian Su-an,” kataku memberi tahunya.
“Departemen Kepolisian, kenapa tiba-tiba ke sana?” ulangnya, memperhatikanku melalui kaca belakang.
“Apa yang terjadi dengan wajahmu? Apa kau berkelahi?”
“Tidak. Ayo pergi. Ini mendesak.”
“Tapi, Tuan Muda.”
“Apa?”
“Kau bilang kau akan membeli pizza.”
“Lupakan. Buruan jalan.”
Meskipun aku menyampaikan informasi ini kepada polisi, penyelidikan tidak akan berlanjut lebih jauh, karena kunci untuk menyelesaikan kasus ini adalah mengetahui identitas pemilik DNA yang dikumpulkan di TKP.
Namun, aku tidak bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa ketika bukti ini telah jatuh di depanku, dan ada orang yang perlu kutemui di Departemen Kepolisian Su-an nanti.
Dan omong-omong, yang akan menangkap Spaniel adalah aku.
Catatan:
1’Moreore’ adalah plesetan ‘Toreore,’ sebuah restoran yang menyediakan aneka makanan cepat saji.