The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 2 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 2 Bahasa Indonesia - Bereinkarnasi sebagai putra dari presiden konglomerat
Penerjemah: Hennay
Bagian 2: Bereinkarnasi sebagai putra dari presiden konglomerat
Ada banyak sekali suara keras di sekelilingku.
“Ya Tuhan, mana dokter?! Panggil dokter!”
“Tuan muda. Kau sudah bangun?”
“Mana sih dokternya!”
“Dokter! Pasien Go Ji-hun sudah sadar.”
Argh, tutup mulut sial kalian semua.
Aku merasakan sakit yang luar biasa, seolah-olah setiap sendi tubuhku telah hancur berkeping-keping.
Bolehkah aku bergerak? Tidak, bahkan sulit untuk membuka mataku.
Dengan mengumpulkan kesadaran sebisa mungkin, aku akhirnya dapat berkedip sekali. Pandanganku yang kabur perlahan menjadi lebih jelas. Erangan keluar dari tenggorokanku. Suara erangan yang tidak kukenali.
“Jangan kembali tidur. Tetap lihat aku, lihat ayah,” kata suara itu.
Ayah? Orang ini tampak seperti seusia denganku. Apa yang dia bicarakan?
Masih, wajahnya familiar. Ah, wajahnya sama seperti Presiden Go Dae-man dari Grup Gogwang saat masih muda. wajah seseorang yang akan menghasilkan banyak uang.
Aku mengerang lagi. Aku tidak peduli sama sekali. Aku hanya ingin tidur. Aku merasa seolah jika aku bisa tidur, semua rasa sakit dan lelah ini akan hilang.
Saat aku menutup mataku lagi, teriakan lantang muncul dari dekatku.
“Ti-tidak! Tuan muda!”
“Mana sih dokternya!”
“Pak Presiden! Dokternya di sini.”
“Silakan keluar dari sini!”
Serius. Saat ini aku berusaha untuk tidur.
Agh, dokter sudah pergi lalu kubuka kelopak mataku. Aku muram, tetapi dia tidak menyadari dan terus menggoyang-goyangkan badanku.
“Tuan. Kau sudah bangun? Apa kau ingat kau baru jatuh ke air?” tanya dia padaku.
“Tidu… ku…” aku berusaha berbisik.
“Maaf?”
Karena tidak bisa mendengarku, dokter membungkuk lebih dekat dan menyuruh yang lainnya diam. Segera mereka terdiam.
Aku berbisik dengan pelan dan jelas ke telinga dokter. Ekspresinya membeku dan ekspresi orang lain yang berkumpul di sekitarku juga muram.
“Apa yang Ji-hun katakan?” tanya pria yang menyebut dirinya ayahku .
“Itu…” kata dokter dengan malu-malu.
“Buruan beri tahu kami!”
“Aku mau tidur, jadi semua orang tolong…’”
Aku mengangguk pelan dan tersenyum puas.
***
Ho-un benar. Upaya pertamaku dalam hidup sungguh sia-sia, tetapi keberuntungan benar-benar menghampiriku… meskipun hal itu dilakukan dengan cara yang menurut saya cukup sulit dipercaya.
“Jadi, bisakah kita melalui ini sekali lagi?” tanya dokter.
“Tentu,” jawabnya.
Wajah yang menatap balik padaku di kaca penuh dengan jiwa muda dan pesona. Aku melihat sebuah pantulan yang tampak bagus bahkan dengan setelan RS, dan aku masih tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah itu. Semakin lama aku menatapnya, aku semakin tidak bisa untuk tidak mengaguminya.
“Namaku Go Ji-hun?” Aku menegaskan pada dokter..
“Iya. Itu benar,” jawab dia. Tangannya bergerak sangat cepat untuk menulis catatan tentang semua yang kukatakan dan kulakukan.”
Aku menghela napas. “Yesus Kristus.”
Hanya satu Go Ji-hun yang kukenal.
Putera ketiga dari Grup Gogwang.
Go Ji-hun lahir dari pasangan Go Dae-man, pewaris Grup Gogwang, dan aktris yang sedang naik daun pada saat itu. Meski Go Dae-man sudah beristri dan memiliki dua putra, dia kehilangan akal sehatnya dan jatuh cinta pada aktris itu, mungkin karena alasan politik.
Go Dae-man mengatakan pada keluarganya bahwa dia akan menyerahkan tempatnya sebagai pewaris konglomerat, dan tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
Efek dari tindakannya menyebabkan angin topan, dan semuanya berakhir dengan pertumpahan darah. Aktris itu ditusuk dan dibunuh oleh seorang perampok.
Masyarakat dan Go Dae-man percaya bahwa Grup Gogwang yang telah membunuhnya.
Tetapi proses investigasi mengungkapkan bahwa pelaku tidak memiliki hubungan dengan Grup Gogwang, dan semuanya kembali seperti semestinya. Go Dae-man kembali menjadi pewaris konglomerat dan ayah dari keluarganya. Go Ji-hun ikut dengan ayahnya dan menjadi putra ketiga keluarga.
Itu adalah insiden yang menjadi topik perbincangan di kalangan konglomerat.
Setelah kembali ke keluarga konglomerat utama, Go Ji-hun menjadi sangat menarik diri dari kehidupan sosial dan kemudian bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di kolam renang di rumahnya.
Seseorang yang lahir dari keluarga kaya tetapi menjalani kehidupan yang penuh kekacauan. Itulah Go Ji-hun yang kutahu.
“Dokter. Berapa umurku?” tanyaku.
“Hari sudah berganti, jadi sekarang kau berumur dua puluh enam tahun,” jawab dokter.
Kalau begitu sekarang sembilan belas tahun yang lalu. Tahun pertamaku di penjara.
Aku yakin soal ini: Go Ji-hun seharusnya mati.
Tidak, dia memang mati. Lagipula yang hidup sekarang adalah aku.
Aku melihat tanganku yang terluka.
Aku…
“Aku juga seharusnya mati,” gumamku.
“Maaf?” kata dokter.
Suasana dalam ruangan membeku seketika. Ekspresi para tim medis dan bahkan para penjaga suram.
“Mmm, t-tampaknya dia mengalami amnesia retrograde,” dokter itu tergagap. “Bisakah kau menyebutkan nama ayahmu?”
Ayah Go Ji-hun, itu–
“Go Dae-man,” jawabku.
Seseorang yang mengubah Grup Gogwang menjadi konglomerat terbesar di Korea. Media menggambarkan kepribadiannya dengan baik, jadi dia memiliki reputasi yang cukup baik sebagai seorang pengusaha.
Tentu saja, skandal masa lalunya meninggalkan kesan di masyarakat bahwa dia pria yang penuh gairah.
Ah, saham Gogwang seharusnya melonjak sekarang. Ini adalah periode saat bisnis perangkat seluler Gogwang Electronics berkembang pesat.
“Kalau nama ibumu?” tanya dokter.
“Yang di sana, Lee Mi-sook… Bu. Lee Mi-sook,” kataku mengoreksi ucapanku.
Lee Mi-sook, istri sah Go Dae-man.
Sebagian besar anggota keluarga memakai lencana Majelis Nasional. Dia cantik, penampilannya yang elegan membuatnya sulit dipercaya bahwa dia wanita paruh baya. Bahkan caranya duduk di sofa dan meminum kopi begitu anggun…. meskipun menurutku ini bukan situasi yang mana kita bisa asyik menikmati minum kopi panas.
“T-Tuan muda! Kalau aku? Apa kau ingat siapa aku?” tanya seorang pria yang selalu di sisiku sepanjang waktu, mendorong wajahnya mendekat padaku.
Wajahnya kacau, dan penuh air mata dan ingus.
Sedikit tanda, aku menggelengkan kepala.
Bagaimana mungkin aku bisa tahu kau siapa?
Pria itu mulai menangis seolah hatinya hancur.
Dokter menepuk bahu pria itu. “Tampaknya syok amnesia telah membuatnya sedikit bingung. Aku tidak yakin itu disebabkan masalah serius,” katanya untuk menenangkan.
Beberapa saat kemudian, pintu tergeser terbuka dan seorang pria yang wajahnya familiar masuk.
Presiden Go Dae-man.
Penampilannya lembut, tetapi aku bisa merasakan kharisma di dalam matanya.
Jadi, dia punya kekuatan untuk membuat orang tertarik padanya meski masih muda. Rasanya seolah dia memiliki sebuah aura tak terlihat yang menciptakan awan tebal di sekitarnya.
Dia melihat ke sekeliling ruangan rumah sakit, kemudian berkomentar singkat: “Kalian semua, keluar.”
Tim medis membungkuk dengan hormat lalu keluar dengan diam.
Ada logo rumahsakit Gogwang Seoul agak besar di bantal dan setelan pakaian rumah sakit. Tampaknya ini cocok bahwa Go Dae-man akan memilih sebuah rumah sakit yang dioperasikan oleh Yayasan Medis Gogwang.
“Kau dan kepala Kim, juga.” kata Go Dae-man pada Lee Mi-sook
Lee Mi-sook membelalak padaku dan Go Dae-man sejenak. “Aku harus membatalkan rencana demi putramu yang hebat ini. Dan itu hal pertama yang kau katakan padaku? Keluar?”
“Maaf,” kata Go Dae-man.
“Jangan mengusikku dengan mengatakan kau tidak sengaja,”
Apa mereka sunngguh baru pasangan baru menikah? Hawa keras dan menyeramkan memenuhi ruangan.
Lee Mi-sook berjalan keluar, meninggalkan ruangan beserta atmosfer sedingin es di belakangnya.
Tampaknya pria yang matanya bengkak karena terlalu banyak menangis itu adalah Kepala Kim. Dia melihatku dengan tatapan cemas saat dia mengikuti wanita itu keluar.
Hanya Go Dae-man dan aku yang tinggal di ruangan.
Dia mendekatiku, kemudian menamparku.
Sialan. Aku baru saja bangun, dan ini sambutan yang kuterima?
Go Dae-man merapikan kemejanya lalu mengatur napasnya. Tampaknya kemarahan telah memenuhi sekujur tubuhnya, hingga ke ujung rambut di kepalanya.
“Kenapa kau melakukannya? tanya dia padaku.
“Maaf?” kataku.
“Kenapa kau berusaha bunuh diri?”
Tidak ada petunjuk. Bagaimana kutahu?
Namun, melihat cara pria ini memperlakukan putranya yang pada dasarnya telah mati lalu kembali hidup, aku mendapat gambaran.
“Kau itu payah. Kau menghabiskan seluruh hidupmu dengan membusuk di kamar, kemudian kau memutuskan untuk mengakhirinya.” kata Go Dae-man.
Apa yang dibicarakannya?
Aku mengangkat kepala lalu membuat kontak mata dengannya.
Matanya, berkebalikan dengan emosinya, lembab dengan air mata. Itu benar. Meskipun dia adalah presiden konglomerat, dia tetaplah ayah dari seorang anak. Anak dari wanita yang paling dicintainya, tidak kurang.
“Ketika kau duduk di sudut kamarmu dan menolak melakukan apa pun, aku masih tetap percaya padamu. Aku yakin kau akan menahan diri setelah beberapa waktu berlalu. Kau sedang memikirkan sesuatu untuk dirimu sendiri.” katanya.
Kupikir Go Ji-hun memiliki kehidupan yang tenang, tetapi dia menjadi sangat tertutup…meski memiliki wajah yang tampan seperti ini.
“Kukira ini semua salahku. Aku mempercayaimu karena menyesal atas tindakanku sendiri,” lanjut Go Dae-man.
Kematian ibunya terlalu kejam untuk diterima. Perlakuan dingin dari orang-orang yang bukan keluarganya. Semua ini yang telah memerangkap Go Ji-hun.
Kilatan tajam tiba-tiba muncul di mata Go Dae-man. “Tapi sepertinya aku salah.”
“Maaf?” kataku.
“Kau menghabiskan seluruh hidupmu seperti orang cacat, dan hal pertama yang kau pilih sendiri adalah bunuh diri.”
“Tunggu…”
“Aku seharusnya menghormati keputusanmu. Mulai sekarang, aku akan menganggap putraku telah mati.”
Bagaimana ini berkembang menjadi tak terduga seperti ini? Aku sudah terlahir kembali sebagai putra dari seorang presiden konglomerat, dan sekarang aku diperlakukan seolah aku telah mati?
Ini gawat.
Aku berusaha keras untuk mencoba mengingat semua yang aku tahu tentang skandal Grup Gogwang. Kukira membiarkan hal-hal seperti ini akan baik-baik saja, tetapi persetan. Ini adalah kesempatan kedua yang aku dapat setelah sekali meninggal. Fakta bahwa aku punya tampang yang bagus dan masih muda berarti aku sudah memiliki lebih dari yang aku punya sebelumnya, jadi aku mampu mengambil risiko.
“Aku melihat ibu di mimpiku,” kataku.
“Apa?”
Alis Go Dae-man yang tebal mengerut segera setelah aku menyebut wanita yang sangat dicintainya hingga dia sanggup mengorbankan apa pun dalam hidupnya.
“Aku ingin menyerah atas semuanya. Semuanya sangat kacau hingga tidak bisa dikembalikan lagi sebelum aku mengetahuinya.” lanjutku.
Namun, aku membicarakan diriku sendiri. Aku membicarakan hidupku sendiri yang kacau, sama seperti yang kubicarakan. Sama seperti Go Ji-hun, berkali-kali aku merasa ingin mati.
“Apa yang kau bicarakan?” kata Go Dae-man.
“Kau tahu apa yang kubicarakan.” kataku.
“Jadi, ini yang kau pilih pada akhirnya?”
“Ini jalan yang diberikan padaku. Apa boleh buat, menghabiskan hari demi hari terkunci di ruangan?”
“KAU LEMAH – !” Bentak Go Dae-man, suaranya menggelegar seperti petir.
“Tapi, ibu bicara padaku,” lanjutku.
Dia terlihat cukup marah seolah mampu merobek tubuh seseorang.
Sialan. Hatiku berdebar.
“Dia menyuruhku kembali. Dia memberitahuku bahwa ini belum terlambat, dan aku harus melanjutkan hidup,” kataku.
“Lalu?” timpah Go Dae-man.
“Aku mau terus hidup. Orang tidak menyadari apa yang dimilikinya hingga dia kehilangan semuanya.”
“Apa kau berniat untuk hidup seperti hewan yang tidak melakukan apa-apa? Jika iya, lebih baik kau mati saja.”
Betapa tak punya hati pria ini. Bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu pada anaknya sendiri?
“Tidak sama sekali,” jawabku sambil merapatkan gigiku.
“Jika kau berpikir akan bergabung di perusahaan…”
“Tidak. Aku tidak tertarik kerja di perusahaan.”
Aku tidak punya kemampuan dan minat untuk itu. Hanya satu yang kuinginkan.
“Aku ingin menjadi polisi,” kataku.
“Apa?”
Aku akan menangkan pria yang melemparku ke jurang kesengsaraan di kehidupanku sebelumnya dan membuat keadilan yang kuyakini menjadi kenyataan.
“Kubilang, aku ingin menjadi polisi,” ulangku.
Sama sekali tidak siap dengan jawabanku, Go Dae-man menatapku seolah mencoba membuat lubang melalui diriku dengan matanya.. Seolah dia berusaha membaca pikiran dalam benakku.
Aku balik menatapnya, tanpa mengalihkan pandangan.
“Apa ini karena ibumu?” tanyanya.
“Hah?”
Giliranku yang bingung.
Oh iya, ibu kandung Go Ji-hun dibunuh oleh perampok.
Aku tidak menduga dia menayakan itu, tetapi yaah. Selama aku mendapatkan yang aku mau, aku tidak peduli kenapa.
“Jangan melakukan sesuatu yang sia-sia. Kuliah saja. Begitu kau lulus, bergabunglah di perusahaan dan bekerja di bawah kakak-kakakmu,” kata Go Dae-man.
“Apa menurut ayah aku tidak mampu menjadi polisi?” tanyaku.
Seharusnya ini tidak begitu mengejutkan. Tidak semua orang bisa menjadi polisi. Dan seseorang yang menghabiskan hidupnya di sudut kamarnya jelas akan dianggap tidak mampu.
Sejujurnya, mengejutkan bahwa Go Dae-man bahkan menyarankan aku bergabung di perusahaan. Setelah mengabaikan putranya sepanjang hidupnya, dia menawari putranya kesempatan untuk bersaing dengan saudara-saudaranya.
Namun Go Ji-hun yang dia tahu, sudah meninggal, dan aku yang ada di sini, di tempatnya.
Aku tersenyum simpul pada Go Dae-man. “Akan kutunjukkan padamu. Aku pasti akan menjadi polisi.”
***
“Anda mau ke mana, Pak Presiden?” Sekretaris Go Dae-man tanya dengan ragu-ragu dari kursi depan mobil.
Ada segunung dokumen tak terurus yang ditinggalkan Go Dae-man di kantor, karena dia menghentikan pekerjaannya lalu bergegas ke rumah sakit setelah menerima kabar bahwa putranya telah sadar kembali.
Go Dae-man berpikir sejenak. “Kembali ke kantor,” katanya.
“Baik, Pak,” kata sekretarisnya.
Go Dae-man tidak pernah menunda pekerjaannya dan menangani setiap masalah secara menyeluruh. Dia adalah pria dengan sikap yang cocok untuk menjadi presiden konglomerat, cocok untuk memiliki tanggung jawab… meskipun hal ini juga menyebabkan kemalamam bagi sekretarisnya.
Mobil itu berhenti saat lampu merah, tepat di depan penyebrangan jalan.
Sebuah keluarga menyeberang. Anak itu tertawa gembira, berjalan di antara ibu dan ayahnya sambil berpegangan tangan. Sungguh pemandangan yang akan membuat siapa pun tersenyum.
Go Dae-man tidak bisa mengalihkan pandangannya dari anak itu.
“Boleh aku bertanya padamu?” tanya dia pada sekretarisnya.
“Ya, Pak?”
“Apa kau pernah melihat senyum Ji-hun?”
“… Saya yakin belum pernah, Pak.”
Sekretaris presiden selalu menemaninya, tetapi dia jarang bertemu putra ketiganya secara langsung.
Lagipula, dia selalu ada di kamarnya dan bahkan tidak pergi ke sekolah. Hanya ketika dia berusia dua puluh tahun ketika dia mulai setidaknya berjalan-jalan di sekitar lingkungan.
Go Dae-man mengangguk perlahan.
Dia dan sekretarisnya berpikiran sama. Dia tidak bisa mengingat kapan terakhir putranya tersenyum atau bahkan kapan mereka makan bersama.
Namun, putranya tersenyum dengan sorot mata berbinar saat dia mengatakan dia akan menjadi polisi.
Hampir seperti orang lain setelah dia bangkit dari kematian.