The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 1 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 1 Bahasa Indonesia - Kukatakan kalau aku tidak bersalah Sekali takdir
Penerjemah: Hennay
Bagian 1- Kukatakan kalau aku tidak bersalah
Sekali takdir menguasaimu, maka selamanya akan menguasaimu. Dari momen saat kita lahir, semua terjadi berurutan satu demi satu. Jika kita terlahir miskin, kemungkinan besar kita akan hidup dan mati dalam keadaan miskin. Sedangkan jika kita terlahir kaya, kemungkinan besar kita akan hidup dan mati dalam keadaan kaya. Sekali terjebak, kita akan terjebak sampai akhir.
Ada pengecualian tentu saja, tetapi aku bukan salah satunya. Aku seorang pembunuh, dibesarkan sebagai yatim piatu tanpa memiliki apa pun.
“Aku tidak membunuhnya,” gerutuku.
Ini adalah kata-kata yang biasa aku gumamkan pada diriku sendiri selama dua puluh tahun.
Ho-un berhenti makan lalu menatapku.
“Kenapa dia terlihat sangat sedih ketika dia hendak dilepaskan?” tanya Ho-un.
“Apa kau akan bahagia dengan itu? Dia menjalani hukuman selama dua puluh tahun penuh sebelum dia bebas.” kata napi lainnya.
“Setidaknya dia bebas.”
“Seharusnya begitu. Aku senang aku tidak mendapat hukuman seumur hidup.”
Aku meletakkan sendokku.
Teman-teman satu sel yang sudah menjadi keluargaku, yang kini sedang berkumpul di meja juga menghentikan makannya.
“Jangan hiraukan aku. Makan saja,” kataku pada mereka.
Aku tidak berselera makan beberapa hari terakhir. Ini karena aku tidak dibebaskan lebih awal; Aku dibebaskan setelah menjalani hukuman penuh.
Aku selalu bermimpi bahwa pelaku sebenarnya akan ditangkap dan tuduhan palsu akan dihapuskan dari namaku, tetapi sekarang, aku akan segera menjadi mantan narapidana yang telah membayar kejahatannya. Tidak ada artinya meninggalkan tempat yang mengerikan ini.
***
Dua puluh tahun yang lalu.
Aku masih bisa ingat setiap detail. Terutama bau pizza yang memenuhi lift.
Waktu itu, aku bangkrut dan tidak makan selama beberapa hari. Aku berkubang dalam kesengsaraan atas kenyataan bahwa ada orang lain di dunia ini yang, tidak seperti aku, dapat dengan mudah menghabiskan puluhan ribu won untuk makan.
‘Apa sebaiknya aku berpura-pura gila dan menyantapnya saja?’
Pemikiran ini memenuhi seluruh isi kepalaku saat aku berada di lift menuju ke lantai 17. Oleh karena itu, aku meraih pintu depan lalu membukanya begitu saja.
“Kenapa kau membukanya? Apa normal seorang kurir membuka pintu jika tidak ada siapa pun di sana?” tanya polisi detektif padaku.
“Biasanya, kau akan membunyikan bel pintu atau memanggil pelangganmu.”
Inilah saat interogasinya dimulai.
Yaa, kukipir dia benar. Tergantung bagaimana kau melihatnya, kau bisa menganggapnya mencurigakan. Lagipula, aku pun tidak mengerti kenapa aku melakukannya. Jika menilik ke belakang, ‘Aku sangat lapar saat itu sehingga aku tidak dapat berpikir jernih’ adalah penjelasan yang paling masuk akal.
Apa pun alasannya, mataku bergerak di sepanjang jejak pecahan vas bunga. Mulai dari sampah dan pakaian yang berserakan di lantai, melewati tong sampah yang roboh, lalu ke rambut hitam yang tergantung di ujung sofa.
“Aku memanggilnya, tetapi dia tidak merespons.” kataku pada detektif.
Aku mendekati wanita itu, yang terbaring di sana seolah tidur.
Sinar matahari sore yang hangat mengenai kulitnya. Dari penampilannya dia terbilang cantik, badannya panjang dan ramping. Seperti yang aku lihat di gambar di dalam buku.
Aku bersumpah, aku tidak tahu dia sudah mati. Aku pikir dia tertidur.
Aku menggoyang-goyang bahunya.
“Kau tidak tahu dia sudah mati?” ulang detektif itu, merangkum keingintahuannya.
“Kepalanya terbelah lebar. Apa sih yang sedang kau katakan?”
Astaga bagaimana mungkin aku tidak bisa tahu bahwa dia sudah mati. Ada darah menggumpal di rambutnya? Entahlah. Aku tidak melihatnya saat itu. Jika aku boleh beralasan, aku akan mengatakan bahwa aku telah tersihir oleh kecantikannya.
“Oh, apa dia seorang selebriti?” tanyaku.
Aku masih memberikan pernyataanku saat aku mengamati dirinya untuk pertama kali. Dia adalah artis paling terkenal di Korea, Hae-soo.
Namun, bagaimana mungkin aku punya waktu untuk menonton TV di saat aku berjuang bahkan untuk makan.
“Kau tinggal di Korea dan kau tidak pernah dengar Hae-soo? Apa kau mata-mata asing ataukah sampah?” kata detektif itu tidak percaya.
Di bawah penerangan ruang interogasi, aku bisa melihat wajahnya menegang tidak percaya.
Itulah pertama kalinya aku merasa gelisah. Saat itulah secara naluriah aku merasa betapa kacaunya dua puluh tahun ke depan.
Setelah itu, segalanya terjadi dengan cepat. Bukti mulai muncul entah dari mana, wartawan membutakan aku dengan kilat lampu kamera mereka yang tak ada habisnya, dan tanganku diborgol.
Dan, keseluruhan hidupku berubah untuk kedua kalinya.
***
Aku melihat-lihat lembar memo yang tak terhitung jumlahnya. Ini adalah harta karunku, yang berisi beberapa artikel dan informasi yang aku kumpulkan dari koran selama dua puluh tahun terakhir. Bukti yang terus-menerus aku pelajari, demi bisa menangkap pelaku yang sebenarnya jika mereka tidak bisa menangkapnya sebelum aku bebas dari penjara.
Berkat harta karun ini, Aku tetap mendapat banyak informasi keadaan di dunia luar meskipun aku terkurung.
“Hyeong-nim. Kau harus makan sesuatu,” kata Seong-beom, menyodorkan sendok ke tanganku.
TLN: Hyeong berarti sapaan untuk kakak laki-laki atau mas atau abang, yang digunakan oleh laki-laki yang lebih muda untuk menunjukkan keakraban dan kesantunan. Ditambahkan di akhir nama orang dan seringkali diikuti nim (hyeong-nim), sebagai tanda lainnya untuk kesantunan, ketika digunakan sendiri tanpa nama.
Seong-beom adalah napi paling muda di antara kami, yang baru datang beberapa bulan yang lalu. Namun, dia adalah pemuda ramah dengan kepribadian yang baik…. meski dia telahmenggunakan kepribadiannya itu untuk menipu orang untuk mendapatkan uang.
“Mereka bilang bahwa semakin sulit hidup kita, makan semakin bagus keberuntungan kita di tahun-tahun berikutnya,” kata Ho-un.
Dia adalah seorang peretas terkenal. Di puncak karirnya, ia ditangkap karena membocorkan rekaman seks seorang anggota Majelis Nasional. Diduga dia telah dibayar oleh anggota partai lawan. Namun, ketika seseorang menanyainya soal itu, dia hanya tersenyum dan tidak menjawab. Tampaknya kliennya membayar sedikit keberuntungan kecil pada pekerjaannya; dia yang paling kaya di antara kami.
“Tentu saja! Hanya hal-hal baik yang menunggu kakak kita begitu keluar dari sini!” kata Dal-gon, mantan gangster yang sudah tobat.
“Orang Korea butuh makan untuk tetap kuat. Tidak peduli apa yang kau lakukan, kau harus makan.” kata Ha-seong, seorang pemuda yang dapat mencuri apa pun yang bisa terpikirkan untuk menyelamatkan hati seorang wanita.
“Tetapi kau tidak bisa kembali ke sini hanya karena makanannya enak, kan?” kata Jackson, pembawa acara yang paling terkenal di Distrik Gangnam.
Satu per satu, teman satu selku menambahkan makanan di atas nasiku.
Aku mulai sedikit tersedak. Dibesarkan tanpa ada yang siapapun yang berhubungan darah denganku dan orang-orang inilah keluarga pertamaku.
Aku buru-buru memasukkan nasi ke dalam mulutku.
“Apa yang akan kau lakukan setelah keluar? Apa ada sesuatu yang ingin kau lakukan?” tanya temanku yang paling muda, sambil tersenyum polos, yang tidak tahu apa pun.
Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Hal yang selalu ingin kulakukan. Hal yang selalu ingin dilakukan oleh seorang yatim piatu, yaitu menjadi petugas polisi.
Aku selalu memikirkan betapa kerennya mereka, memakai seragam dan menegakkan keadilan.
Mimpi yang telah aku pelihara sejak aku masih muda masih ada di benakku. Tetapi sebagai seorang kriminal, itu mimpi yang sangat tidak masuk akal. Mimpi yang selamanya hanya akan menjadi mimpi.
“Hyeong-nim, kau punya tubuh yang bagus, sebaiknya kau membuka tempat gym,” kata salah satu adikku yang tahu situasiku, untuk mengubah topik.
“I-iya. Kau yang paling kuat di antara kita,” kata yang lainnya.
Aku tersenyum masam saat menyendok sisa nasi.
“Napi 2110. Apa kau sudah selesai makan?” kata sebuah suara.
Sipir Kim muncul di jendela.
Apa ini sudah bukan waktu makan malam? Aku menggelengkan kepala bingung.
“Ini.” kata sipir sambil menyodorkan tangan, menggenggam sebuah amplop putih.
“Aku diminta memberimu ini.”
Ini hari minggu, jadi tidak seharusnya ada diantarkan hari ini.
Aku mengernyit melihat sipir itu saat aku menerima amplop darinya.
“Ambil saja,” katanya sambil mengangkat bahu. “Aku hanya disuruh menyampaikannya padamu.”
Pengiriman pribadi berarti bahwa siapa pun yang mengirim ini membayar banyak uang. Tetapi aku tidak punya teman maupun keluarga di luar sana. Siapa yang melakukan hal ini?
Keluarga satu selku berkerumun mengelilingiku dengan penasaran; ini adalah yang pertama kalinya terjadi.
Aku mengamati amplop itu. Nama pengirimnya tidak tertulis; hanya ada namaku.
“Buruan buka. Hyeong-nim, apa kau punya pacar?” kata salah satu yang paling muda.
“Bagaimana mungkin aku punya pacar hah?” kataku
“Lalu siapa itu? Aku tidak pernah melihatmu mendapat surat selama dua puluh tahun.”
“Nah, dia mendapat banyak surat dari penggemar Hae-soo, ingat? Surat yang penuh kutukan.”
“Diam,” kataku.
Dengan air mata tergenang di mataku, aku menyobek ujung amplop.
Terlepas dari upaya yang dilakukan untuk mengirimkan surat ini kepadaku, tidak banyak isi di dalamnya. Hanya selembar kertas dengan dua kalimat pendek: ‘Aku punya sesuatu yang ingin kuberi tahukan padamu tentang kasus Hae-soo. Aku akan menunggu di pintu masuk di hari kebebasanmu.
“Apa? Menunggu di hari kebebasanku?” ulangku.
“Itu bagus sekali, Hyeong-nim. Kau harus makan tofu!”
“Siapa yang memberi tofu sialan, idiot kau! Di sini tertulis dia ingin memberi tahu tentang kasusku!”
TLN: Di Korea, menyantap tofu setelah dibebaskan dari penjara adalah sebuah tradisi yang dilakukan sebagai simbol lembaran baru.
Suara teriakan anggota keluargaku di penjara terdengar melemah, dan tubuhku mulai gemetar.
Lalu siapa itu? Siapa sih yang mengirimkan surat ini?
“Mungkin mereka tahu siapa sesungguhnya yang mengirimkannya,” kata Ho-un.
Alisnya agak berkerut. Ini adalah kebiasaannya saat sedang berpikir keras tentang sesuatu.
Dia benar. Aku tidak bisa membayangkan kemungkinan lainnya.
Siapa pun yang mengirimkan surat ini tahu pelaku yang sebenarnya, atau mereka akan mengakui alasan kenapa investigasinya sangat tidak logis.
“Sudah kubilang, kan? Hidupmu akan berakhir bahagia, Hyeong-nim.” kata Ho-un
Aku menenangkan jantungku yang berdebar lalu mengangguk. Terima kasih untuk semuanya.” ucapku.
“Untuk apa kau begitu emosional?” kata salah satu adikku.
“Setidaknya aku harus berterima kasih karena membiarkanku mengisi kamar kita yang sempit dengan semua buku ini.”
“Sungguh menyegarkan tidak perlu melihat sobekan kertas ini.”
Aku memmeluk keluargaku dan tertawa riang.
Dua hari sebelum kebebasanku, dengan cepat aku mengemas barang bawaanku dan menyimpan suratku.
Dengan benakku yang begitu penasaran akan siapa yang mengirimkan surat itu, dua hari ke depan terasa lebih lama dari dua puluh tahun terakhir.
***
Pukul lima pagi.
Langit masih gelap.
Hari ini adalah hari aku terbebas ke dunia.
Setelah penjaga memeriksa barang bawaanku, aku mengikutinya ke ruang tunggu pembebasan napi. Aku melepas seragam napiku, melipatnya dengan rapi, lalu meletakkannya di lemari penyimpanan.
Tanganku gemetar.
Aku tak percaya aku akan memakai pakaian biasa yang bukan seragam penjara. Terlebih, setelan pakaian di depanku adalah sebuah jaket dengan logo merek pizza. Karena waktu itu, aku ditahan secara tiba-tiba, inilah yang aku pakai ketika aku datang ke sini. Aku ingat diriku masuk berita, karena logo itu tampak di foto yang diambil oleh reporter dalam berita tentang saham perusahaan yang anjlok.
Aku berganti pakaian dan berdiri di depan cermin. Aku telah berubah dari seorang pemuda menjadi seorang pria paruh baya, tetapi baju ini membuatku merasa kembali ke masa itu.
“Apa kau sudah selesai berganti pakaian? Selanjutnya aku akan mengecek identitasmu.” tanya si Penjaga.
“Iya. Aku akan selesai sebentar lagi,” kataku.
Aku mengambil tasku lalu membawanya di pundakku. Semua hal selama 20 tahun terkahir hidupku terkemas dalam satu tas kecil ini.
“Nomor napimu adalah 2110. Betul?”
“Iya.”
“Mohon konfirmasinya bahwa nama dan tanggal lahir Anda di sini sudah benar.”
“Keduanya benar.”
“Terima kasih telah menjalani hukumanmu. Mr. Bae Min-soo, mulai hari ini, tanggal 1 April 20XX, Anda telah bebes dari lembaga pemasyarakatan ini.”
Napi lain yang dibebaskan bersama denganku berjalan menuju pintu depan.
Mungkin karena udara pagi hari, anehnya pikiranku tenang… meski aku terjaga sepanjang malam.
Setelah pemeriksaan ID yang terakhir, gerbang terbuka.
“Semoga kita tidak bertemu lagi,” gurau si penjaga.
Aku tersenyum melihat dunia di depan mataku. Keluarga napi lain yang dibebaskan berkerumun. Aroma tofu hangat tercium di udara.
Akan tetapi, mana orang yang mengirimiku surat?
Ah. Pria itu ada di sana sedang memperhatikan diriku. Dia berdiri di area gelap, bahkan dia memakai topi yang menutupi wajahnya.
Aku berjalan menuju pria itu.
Dia memegang amplop hitam. Mungkinkah ada tofu di dalamnya.
Tiba-tiba, pria itu berlari ke arahku. “Awas!” teriaknya
Aku mendengar suara klakson keras.
Kenapa dia memperingatkanku?
Saat aku berbalik, aku melihat sebuah truk sampah seukuran sebuah rumah.
Ada tabrakan.
Aku berteriak kesakitan.
Tubuhku terlempar ke udara, lalu terhempas ke tanah dan berguling-guling di trotoar. Rasanya seolah semua tulang punggungku mencuat.
Kendaraan itu tidak berhenti, terus melaju sepanjang jalan, menuju ke pria misterius itu. Dalam penglihatanku yang kabur, aku bsa melihat tubuhnya tergeletak tengkurap di tanah.
Bagaimana ini bisa terjadi? Kupikir kehidupan sialku tidak bisa lebih kacau lagi. Ho-un bilang bahwa di tahun-tahun berikutnya hidupku akan lebih baik.
Potongan-potongan koran yang aku kumpulkan selama bertahun-tahun berhamburan ke udara. Sinar mentari jingga terlihat di satu sisi langit pagi.
“Ambulan! Panggil ambulan!” teriak seseorang.
Seseorang berada di sebelahku lalu menepuk-nepuk pipiku. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku bisa melihat sebuah tato macan di telapak tangannya.
Namun, orang ini… tertawa?
Dia orangnya. Orang brengsek inilah yang membunuhku.
Kesadaranku kabur.
Apa aku melakukan kesalahan? Bukankah ini berlebihan?
Tidak mungkin bagiku untuk tahu semua tentang situasi ini, tetapi aku yakin satu hal. Jika aku mengikuti tato ini, aku akan menemukan kebenaran.
“Mr. Go Ji-hun… Ji-hun…”
Seseorang memanggilku dengan nama yang salah.. Aku bukan Ji-hun, aku Bae Min-soo.
Ah, aku pusing. Menurutku, kematian sungguh akan menemuiku sekarang.
Anjing. Aku tidak tahu siapa dirimu, tetapi aku akan mencari tahu, bahkan setelah aku mati. Aku akan mencari tahu dan mengikutimu sepanjang hidupmu.
Dan jika Tuhan ada…kumohon biarkan aku hidup normal di kehidupanku berikutnya. Jangan biarkan takdir menguasaiku lagi.
“Buka matamu. Go Ji-hun,” kata suara itu lagi.
… Aku? Apa kau bicara padaku?
-Selesai-