The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 9 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 9 Bahasa Indonesia - Mangsa mencari mangsa
Penerjemah: Hennay
Bagian 9: Mangsa mencari mangsa
Hari berikutnya.
Siang itu sangat membuat mengantuk. Lingkungan tempat tinggal Spaniel sepi. Orang dewasa pergi bekerja sedangkan anak-anak pergi ke sekolah pagi-pagi.
Tentunya, Lee Yeong-tae salah satunya. Satu-satunya orang yang ada di rumahnya saat ini adalah istrinya, seorang penyandang keterbelakangan mental.
Aku menurunkan topiku untuk menutupi wajahku dan memanggul tas perkakas di bahuku. Aku berdehem lalu membunyikan bel pintu.
Setelah beberapa saat, terdengar suara dari seorang wanita paruh baya.
“Siapa itu?”
Dia tidak berbicara dengan sangat jelas; seolah-olah dia baru saja bangun.
Aku tersenyum lebar melihat bel pintu. “Halo, aku dari pusat kesejahteraan.” ucapku.
“Ada apa?” tanya wanita itu.
“Kami memberikan layanan inspeksi rumah secara gratis untuk penerima kesejahteraan. Apa Anda belum mendengar tentang kami?”
“Aku belum mendengar apa pun soal itu.”
“Ini akan sangat cepat. Jika sekarang aku pergi, aku bisa melakukan kunjungan lain kali.”
Tidak mungkin dia sudah mendengar ini dari seseorang. Lagi pula aku yang mengarang ini semua.
Aku sengaja membuat ekspresi sangat bingung lalu menggaruk-garuk daguku.
“Kami juga menawarkan buah-buahan gratis pada rumah-rumah yang kami inspeksi, jadi aku membawa beberapa buah.” tambahku.
“Tunggu sebentar.”
Dengan suara gemeretak, pintunya terbuka.
Aku yakin Spaniel sudah pergi dengan mata kepalaku sendiri, tetapi aku harus tetap berhati-hati saat aku melangkah di dalam rumahnya.
Pintu depan terbuka dan seorang wanita memakai piyama keluar. Dia memakai kaos longgar dan celana bercorak bunga-bunga. Wajahnya berminyak dan penuh dengan bintik-bintik.
Pada saat dia melihatku, dia menengadahkan tangannya.
“Mana buahnya?” tanyanya.
Betapa tidak sabarannya.
“Ini.” kataku, memberinya sepaket mangga yang kubeli di toko buah sebelumnya.
Itu paket terkecil yang tersedia; hanya ada lima buah mangga di dalamnya.
Wanita itu tidak berusaha untuk menyembunyikan kekecewaannya. “Cuma ini?”
“Budget kami sangat mepet.” jawabku.
“Ini sedikit sekali. Aku bisa memakan semua ini sendiri.”
Dia penyandang keterbelakangan mental, tetapi kita tidak akan tahu jika tidak memperhatikan. Banyak cadel kecil dalam ucapannya, dan perilakunya tampak sedikit kasar dan tak acuh.
Dengan usaha keras, aku menahan diri untuk tidak meringis dan mempertahankan senyumku. “Permisi, Bu. Aku akan masuk dan melakukan inspeksi.”
“Silakan.” jawab wanita itu.
Rumah itu hanya terdiri dari dapur dan satu kamar utama, ditata sedemikian rupa sehingga kamar kecil langsung terlihat begitu masuk ke dalam rumah.
Wanita itu buru-buru masuk ke kamar dengan membawa mangga-mangga itu dan sebuah pisau. Dia mulai mengupas satu per satu sembari menonton televisi.
“Mohon maaf mengganggu.” kataku sambil buru-buru mendekat ke soket listrik yang terlihat lalu menancapkan detektor tegangan yang biasanya digunakan oleh manajer properti.
Tampaknya wanita itu tidak tertarik dengan apa yang kulakukan. Itu melegakan. Akan menjadi masalah jika dia mengawasiku dari dekat.
Aku mengeluarkan mikrofon kecil dari tas perkakasku lalu memasangnya di sisi pintu sehingga menempel dengan pas di antara pintu dan bingkainya.
Diam-diam aku membuka lemari sepatu. Ada limatau enam sepatu pria di dalamnya. Aku hanya mengambil satu pasang yang tidak berdebu lalu membaliknya untuk memeriksa solnya.
Ini dia! Di sepatu itu ada lubang di bagian solnya dan sudah terisi dengan lem. Ini adalah sepatu yang dia pakai saat melakukan kejahatan.
Aku menempelkan alat pelacak ke bagian bawah salah satu sol sepatu sehingga dia tidak akan tahu saat memakainya.
“Aku selesai, Bu” kataku.
“Sudah? Cepat sekali” kata wanita itu.
“Itu karena rumah ini sudah dirawat dengan baik.”
Ini bualan yang berlebihan. Rumah itu kotor, dengan debu dan sampah di mana-mana.
Wanita itu mengangguk, mulutnya kotor belepotan mangga.
“Tutup pintunya saat kau pergi” katanya.
“Ya, Bu. Terima kasih atas waktunya.”
Aku melepas topiku begitu aku keluar dari rumah itu.
Persiapannya sudah selesai, jadi yang tersisa hanyalah menunggu hingga Lee Yeong-tae beraksi.
***
Satu minggu kemudian.
Alarmku berbunyi seperti biasanya pada pukul 5:30 pagi.
Dengan mataku masih setengah terbuka, aku mematikan alarmku.
Matahari belum terbit, jadi di luar masih sama gelap seperti malam hari.
Dengan cepat aku berganti pakaian lalu perlahan menuruni tangga.
“Kenapa kau bangun pagi-pagi sekali?” sebuah suara tiba-tiba.
Aku berteriak terkejut. “Kau mengagetkanku!” kataku pada kepala Kim, yang membelalak padaku dari sofa dengan menyilangkan lengan di dada. “Kenapa kau tidak tidur?”
“Aku yang pertama bertanya. Kemana kau pergi setiap pagi?” tanyanya.
“Sudah kubilang, aku punya banyak urusan.”
“Kau pergi sebelummatahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam.”
“Sssst. Kumohon jangan keras-keras. Kau akan membangunkan orang-orang.”
“Memangnya kau siapa, murid SMA, Tuan Muda?”
Kepala Kim berkedip beberapa kali. Matanya memerah. Tampaknya dia terjaga semalaman, dan bukan bangun lebih awal. Dia benar-benar memanfaatkan harinya.
“Apa kau tahu seberapa tidak nyamannya terjebak di dalam rumah ini sendirian tanpa kau di sini?” kata Kepala Kim melanjutkan.
“Sudah kubilang padamu anggap saja kau cuti. Kau bisa ke hotel.” saranku.
“Bukan itu maksudku.”
“Lalu apa maksudmu?”
“Maksudku aku merasa seolah aku harus berjaga 24 jam sehari.”
Dia bermaksud mengatakan bahwa dia khawatir tentang apa yang mungkin kulakukan. Apa menurutnya aku Go Min-guk, yang membuat kekacauan ke mana pun aku pergi?
Sialan. Seorang pria yang yang tak pernah bersitirahat sebelumnya tidak akan tahu caranya bersitirahat.
Aku memandangi Kepala Kim lalu meletakkan tanganku di bahunya. “Aku melakukan hal yang baik, jadi tolong jangan khawatir.”
“Tuan muda!”
“Sampai jumpa nanti.”
Dengan begitu, Aku buru-buru memakai sepatu lalu berlari keluar pintu, membantingnya hingga tertutup di belakangku. Jika aku ditahan lebih lama lagi, akau akan melewatkan Lee Yeong-tae berangkat kerja.
Setelah satu minggu mengawasinya, aku telah belajar bahwa hidupnya monoton, benar-benar membosankan.
Dia bangun pada pukul 6 pagi. Aku melihat bayangan kurus pada pukul 6:30. Tempat kerjanya adalah sebuah pabrik konveksi kaos yang jaraknya setengah jam dengan menaiki bis. Dia bekerja dari jam 8 pagi hingga 8 malam, lalu dia langsung pulang ke rumah. Dia tampaknya menjadi contoh buku teks tentang pekerja rajin yang selalu baik di kantor atau di rumah, tetapi … dia tidak bisa membodohiku.
Aku merasa aneh saat mengekornya dalam perjalannya dari dan ke tempat kerjanya. Dia tidak mengambil rute tersingkat. Dia turun dari bus beberapa stasiun lebih awal atau beberapa stasiun setelahnya. Dia berjalan di jalanan – seolah-olah sedang berjalan-jalan – sepulanh kerja.
Dia seharusnya sangat lelah karena bekerja, namun dia menghabiskan satu jam setiap hari hanya berjalan-jaln di sekitar lingkungan? Jika itu orang lain, aku tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi hanya ada satu alasan bagi Spaniel.
Dia sedang mencari korban selanjutnya.
Masalahnya adalah, sangat sulit untuk mengekornya dalam transportasi umum selama jam sibuk. Beberapa kali aku kehilangan jejaknya. Tetapi hari ini, aku jelas akan terus mengikutinya apa pun yang terjadi!
Namun, ada yang aneh. Aku tidak bisa mendengar apa pun dari pelantang suaraku. Dia seharusnya sedang bersiap-siap untuk pergi saat ini.
Aku mendengar seseorang bergumam dalam tidurnya. Kemudian –
“Kembalilah tidur. Kau bilang hari ini kau libur.”
“Entah kenapa aku bangun.”
“Bagaimana pergelangan tanganmu? Bagaimana sakitnya?”
“Tidak apa-apa.”
Sialan. Hari ini dia libur? Aku sudah penasaran kenapa dia bekerja terus selama satu minggu.
Aku bersandar pada tiang telepon dan menggaruk kepalaku.
Kurasa aku harus mencari warnet dekat sini. Itu adalah tempat terbaik untuk menyendiri dengan pelantang suara terpasanga di telinga selama seharian. Aku mungkin harus terjaga sepanjang malam hingga dia bekerja keesokan harinya.
Aku bersandar di kursi warnet dan menatap kosong pada layar putih. Mungkinkan aku sedikit lelah? Mataku mulai terpejam…
Aku terbangun oleh suara orang yang mencibirku.
“Hei, periksa orang itu. Aku belum pernah melihat orang mendengkur di warnet sebelumnya, “bisik satu suara.
“Terdengar seperti dengkuran ayahku.” tawa yang lain diam-diam.
Aku sangat bingung, aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Sepertinya lelahku telah terakumulasi cukup banyak selama seminggu terakhir.
Aku masih bisa mendengar suara-suara dari dalam rumah melalui pelantang suaraku. Apa ini yang dikenal sebagai gejala ASMR? Mendengar itu membuatku mengantuk.
Aku mengusap liur di pipiku dan mulai memutar-mutar kursiku.
Aku haya bisa mendengar suara televisi dari pelantang suaraku sebelumnya, tetapi sekarang berbagai suara berisik sebagai latarnya terdengar.
Suara gemerisik selimut yang terlipat. Suara air mengalir dari pancuran. Suara mangkok-mangkok berdenting. Tampaknya Lee Yeong-tae bersiap untuk pergi ke suatu tempat.
“Ini lucu. Kenapa dia memanggilmu keluar pada pukul sekian di malam hari?” kata suara istrinya.
“Mau tak mau. Dia orang yang kutemui setiap hari.” kata Lee Yeong-tae.
“Jangan pulang malam-malam. Kau harus bekerja besok.”
“Baiklah. Aku akan menelponmu jika aku butuh sesuatu, jadi kau tidar saja duluan.”
Aku masih setengah mengantuk, tetapi aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
Namun, momen berikutnya, ponselku bergetar. Aku mengintip ke layar untuk melihat sebuah logo yang tak pernah kulihat sebelumnya, lalu sebuah peta muncul.
“Sialan!” Aku menggerutu pada diriku sendiri.
Rasa kantukku hilang seketika.
Itu adalah sebuah pemberitahuan bahwa alat pelacak yang kupasang di sol salah satu sepatu Lee Yeong-tae bergerak. Bukan sepatu yang selalu dia pakai, tetapi sepatu yang ada lubang di bagian sol nya yang terisi dengan lem.
Aku melompat berdiri dan keluar dari warnet. Peta di layar ponselku membesar; sepertinya dia naik taksi atau semacamnya.
Aku jelas tidak boleh terlambat. Aku tidak bisa membiarkan orang lain menjadi korban Spaniel.
“Taksi!” Aku berteriak, berlari ke tengah jalan untuk menghentikan taksi terdekat yang bisa kulihat.
***
Lee Yeong-tae keluar dari taksi dan melihat ke sekelilingnya. Akhir-akhir ini, dia merasakan perasaan aneh bahwa seseorang sedang mengawasinya.
Dia biasanya menikmati perasaan menggembirakan yang aneh, tapi hari ini adalah hari yang istimewa. Akan jadi masalah jika seseorang melihatnya.
Setelah mengecek area dan merasa puas bahwa tidak ada orang di sekitarnya, dia berjalan ke gang seperti yang biasa dia lakukan.
Dia berhenti di depan rumah satu lantai. Ini adalah mangsa yang telah dia usahakan dengan susah payah selama beberapa hari terakhir untuk menemukannya.
‘Sama seperti biasanya,’ pikirnya dalam hati saat melihat jendela yang setengah terbuka, sama seperti setiap hari.
Selembar kain putih tergantung di jendela. Mungkin itu pakaian dalam dari wanita yang tinggal di sini.
Lee Yeong-tae mengetahui bahwa wanita itu tinggal sendiri melalui barang yang dikirim melalui pos dan kardus bekas.
Suplemen diet yang dibeli dari situs belanja yang digunakan oleh wanita muda. Total tagihan yang jumlahnya tidak lebih dari 30.000 won. Laporan saldo kartu kredit dan setiap bagian surat lainnya dialamatkan ke satu orang.
Lee Yeong-tae tidak tahu seperti apa wajah wanita dalam rumah itu, tetapi itulah bagian horornya. Selama dia masih muda dan dia seorang wanita, dia telah memenuhi separuh kriteria yang dia perlukan untuk menikmati apa yang dia lakukan. Dan yang terbaik adalah kewaspadaannya yang menurun membuatnya rentan.
Lee Yeong-tae tertawa sendiri. Badannya gemetar tak terkendali karena bersemangat.
Dia memeriksa sekelilingnya sekali lagi, kemudian memanjat dinding pagar.
Rasa sakit yang menyengat tiba-tiba datang dari pergelangan tangan kanannya, menyebabkan dia meringis. Dia terkilir karena insiden malang yang terjadi selama kejahatan sebelumnya.
‘Anak sialan’ pikirnya dalam hati.
Seorang pejalan kaki kebetulan terlibat, merusak segalanya. Berkat dia, Lee Yeong-tae terpaksa menahan nafsunya untuk sementara waktu.
Akan tetapi dia memastikan bahwa dia akan sangat menikmatinya hari ini.
Dia mendorong kepalanya masuk ke jendela.
“… Tantangan! Selamat malam, tuan dan nyonya…” kata suara dari pembawa acara ragam di televisi.
Lee Yeong-tae bisa melihat seseorang, tertutup penuh dengan selimut berwarna merah muda. Tampaknya dia tertidur sembari menonton TV.
Gesper ikat pinggangnya berderak saat dia melepaskannya, dan dia meletakkan tangannya di ikat pinggang celananya. Dia ingin menahan wanita itu lalu memperkosanya begitu dia memasuki rumah.
‘Aku penasaran respon seperti apa yang akan aku dapatkan darinya kali ini?’ dia penasaran memikirkan antisipasi, dan tersenyum sendiri.
Topi, masker, sarung tangan, handuk, sepatu dengan lubang di solnya yang tersisi dengan lem. Pisau cutter yang tidak sama dengan yang telah dia gunakan, tapi semuanya sempurna.
Dia meraih ambang jendela dan memanjat masuk. Dia mengangkangi wanita yang sedang tidur itu dan mencengkeram tenggorokannya. Dia menjerit pelan.
“Ssst!” bentak Lee Yeong-tae.
Dia dengan cepat mengulurkan pisau cutter, memastikan bahwa wanita itu bisa mendengarnya menjulurkan bilah pisau. Cara termudah untuk membuatnya paham dengan cepat situasinya.
“Tetaplah diam jika kau tak ingin mati.”
Wanita itu menangis dalam diam. Suaranya agak serak, mungkin karena dia baru saja bangun tidur.
Lee Yeong-tae memasukkan tangannya ke bawah selimut. Dia merasakan kaki halus dan hangat, serta celana dalam berenda. Tepat seperti yang dia bayangkan.
Dia menutup wajah wanita itu dengan selimuat dan tidak membiarkannya lepas. Dia memakai masker, dan itu lebih aman baginya.
Karena tidak bisa bernapas, wanita itu mencakar selimut yang menutupi wajahnya dan menyingkapnya. “Kumohon… Kumohon… Selamatkan aku…”
“Sudah kubilang diam!”
Wanita itu berteriak lalu kepalan tangan besar menghantam kepalanya.
Spaniel menarik kakinya yang panjang, menariknya lebih dekat ke tubuh bagian bawahnya. “Santailah, Manis.” katanya dengan senyum.
Sementara itu,
Lee Yeong-tae mendengar suara berisik dari tempat dia memasuki rumah.
“Siapa sih…?!” teriaknya, terkejut saat dia merasakan angin dingin masuk dari belakang badannya.
Bayangan yang tercipta dari layar TV berkedip saat dia melakukan kontak mata dengan pria yang tampak akrab.
“Memangnya kau tahu siapa aku?” kata pria itu.
Dengan itu, dia memanjat ambang jendela lalu melompat ke arah Spaniel.
Lee Yeong-tae mempersenjatai diri dengan pisau cutter, tetapi pikirannya tidak dapat memproses situasi yang tidak terduga ini pada waktunya, dan dia merasakan tinju mendarat di wajahnya melalui maskernya.
“Aku calon polisi.” kata pria misterius itu.
<Sekian>