The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth - Chapter 8 Bahasa Indonesia
- Home
- The Reincarnated Cop Who Strikes With Wealth
- Chapter 8 Bahasa Indonesia - Kakek Tua Yongsan
Penerjemah: Hennay
Bagian 8: Kakek tua Yongsan
“Halo?” kataku saat panggilan terhubung.
“Kenapa susah sekali menghubungimu?” kata Ho-un.
Aku memiliki sepuluh panggilan tak terjawab darinya; dia pasti sudah menyerah menghubungiku.
“Aku sedikit sibuk.” jawabku.
“Kukira kemarin kau bilang dirimu pengangguran.” kata Ho-un.
“Apakah kau meremehkan orang yang menganggur?? Pengangguran sibuk dengan urusan mereka sendiri.”
“Terserahlah. Namanya Lee Yeong-tae, kan? Seorang pekerja di suatu pabrik di umur pertengahan tiga puluhan. Tinggal di area Su-an. Sudah menikah, belum punya anak. Istrinya menyandang disabilitas intelektual kategori 3.”
Ini adalah informasi pribadi Spaniel yang kuberikan pada Ho-un. Aku berusaha maksimal menyusun informasi-informasi itu dari ingatanku, tetapi mendengar informasi itu dibacakan seperti itu, terdengar sangat tidak lengkap.
Dan lagi Ho-un menemukannya dengan sangat cepat. Sesuai dugaan untuk seorang peretas jenius. Tidak heran dia berhasil membocorkan rekaman seks pribadi dari anggota Majelis Nasional.
“Aku tahu kau membayarku tiga juta, tetapi kau sungguh tidak tahu malu. Aku sangat bangga bahwa aku berhasil menemukannya. Apa kau tahu bahwa Distrik Su-an memiliki populasi sebanyak 500,000?” katanya.
“Ya, ya. Kau luar biasa. Kau akan berhasil, Ho-un,” aku memberitahunya.
Dia tidak lupa untuk memuji dirinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa jika kita menanam kacang, batang kacang akan tumbuh; dia benar-benar tidak berbeda dengan Ho-un yang kukenal.
“Pertama, aku mencari semua wanita yang menerima tunjangan disabilitas di kantor lingkungan setiap wilayah. Dari sana, aku mempersempitnya ke orang-orang yang cocok dengan rentang usia, lalu aku menemukan orang yang nama suaminya adalah Lee Yeong-tae.” jelas Ho-un.
Wow. Dia menggunakan otaknya, bukan? Jelas lebih mudah melacak istrinya, yang memiliki lebih banyak ciri khas.
“Kau melakukannya dengan baik.” kataku.
“Ada 5 hasil yang cocok. Menurutku, akan lebih cepat bila kau mengeceknya sendiri satu per satu mana orang yang kau cari dari titik ini.”
“Oke. Kirimi aku fotonya.”
“Iya, iya. Begitu kau menemukannya, pekerjaanku selesai.”
“Baiklah. Satu hal lagi, Ho-un.”
“Ada apa?”
“Begitu kau lulus, jangan melakukan pekerjaan ini. Carilah pekerjaan. Kau punya kemampuan, jadi kau akan diterima di mana saja.”
Ho-un tertawa. “Lucu mendengar itu dari orang yang baru saja membayarku untuk pekerjaan ini.”
“Kau bedebah tidak tahu terima kasih. Aku berusaha menasihatimu.” kataku.
Tidak ada satu orang pun yang berpenghasilan jutaan atau bahkan puluhan juta yang berasal dari satu pekerjaan saja akan puas dengan gaji perusahaan. Bocah ini tahu dirinya sendiri dengan baik.
Aku menutup telepon, mengeluarkan rokok, lalu meletakkannya di bibirku.
Go Min-guk, yang berbaring di lantai dengan nyaman seolah berada di kasur hotel bintang 5, mengerang.
Inilah kenapa alkohol menjadi musuhmu.
Ponselku mengeluarkan suara klik berulang kali saat aku mengambil foto wajahnya dari berbagai sudut. Wajahnya yang buruk, liurnya yang mengering, dan sisa makanan di pakaiannnya, mengerikan untuk dilihat.
Sekretaris Go Min-guk muncul.
“Oh ya Tuhan! Tuan muda!” katanya.
Dengan bantuan Kepala Kim, sekretarisnya menggendong Go Min-guk di punggungnya.
Wow, semua orang benar-benar mengalami banyak hal.
Ponselku bergetar. Ho-un telah mengirimkan foto. Aku menggulir foto demi foto lalu berhenti di foto keempat.
Remang, mata tidak fokus dan fitur wajah bengkok. Ingatanku yang sudah menjadi noda yang memudar di benakku tiba-tiba menjadi segar dan jelas.
Aku menemukanmu, Spaniel Su-an.
“Tua Muda, kita telah memulangkan Tuan Muda kedua. Sebaiknya kita juga pergi.” kata Kepala Kim.
“Kerja bagus.” kataku.
Aku masuk ke mobil dan jatuh ke dalam pikiranku.
Jika aku melaporkan Spaniel, dia jelas akan ditahan. Lagipula, DNAnya yang ada dalam basis data di Layanan Forensik Nasional sedang menunggu sang pemilik bak sepatu kaca Cinderella.
Kemudian, mereka akan menanyaiku, tentunya. Menanyaiku bagaimana sih aku tahu dia adalah Spaniel. Aku tidak bisa memberi tahu mereka persisnya bahwa aku dari masa depan, kan?
Laporan harus dibuat dalam keadaan yang dimengerti polisi. Itulah satu-satunya cara aku bisa mendapat hadiah uang dan poin bonus melalui ujianku. Dengan begitu, menangkapnya saat dia beraksi adalah cara terbaik.
Itu akan sangat berbahaya, tetapi bukan berarti tidak ada jalan.
“Apa kau tidak enak badan?” tanya Kepala Kim, terlihat cemas dengan wajahnya yang mengernyit.
“Hah? Tidak. Aku baik-baik saja.” kataku.
“Apa kau terluka tadi?”
“Tadi?” ulangku. “Oh?”
Dia sedang membicarakan perkelahianku dengan Go Min-guk. Aku bahkan tidak sekalipun kena pukul.
Aku tersenyum pada Kepala Kim dan menggelengkan kepala, lalu dia kembali berekspresi yang tampak pusing.
“Kau melihatnya , bukan? Aku tidak pernah melihat Tuan Muda kedua dalam kondisi demikian.” kata Kepala Kim.
“Memikirkan itu membuat perasaanku terpukul.” kataku.
Kepala Kim terkikik. “Dia tidak akan bisa menunjukkan wajahnya di mana pun untuk sementara. Baguslah.”
“… Apa kau baik-baik saja, Kepala Kim?”
Pipi kirinya sedikit bengkak sebagai bukti pukulan Go Min-guk yang ditujukan padaku.
Chief Kim menaikkan alisnya ke arahku seolah mengatakan bahwa tidak ada yang salah.
Kau tidak ada pekerjaan besok, jadi sebaiknya beristirahatlah dengan baik malam ini.” katanya.
“Ah, aku perlu ke suatu tempat. Kau di rumah saja” beritahuku.
“Ke mana kau pergi?”
“Yongsan. Ada yang harus kubeli.”
***
Hujan musim gugur membasahi jalanan. Ada cukup banyak kawasan perbelanjaan yang tutup lebih awal. Toko-toko kebanyakan menjual barang elektronik, jadi pada hari-hari seperti ini, mereka menggunakan hujan sebagai alasan untuk menghentikan bisnis. Begitulah jalan belakang Yongsan.
Mungkin karena ini adalah tempat untuk orang tua, keaktifan yang biasanya terlihat di pasar tidak ada di sini.
Aku perlahan-lahan melewati jalanan dengan payung di atas kepalaku.
Ada dua pria tua sedang duduk di bangku, sedang minum makgeolli.1
“Permisi, Pak.” sapaku kepada mereka.
“Ya?” respon salah satu dari mereka.
“Kudengar Kepala Ju tinggal di sekitar sini.”
Aku belum pernah diberitahu hal semacam itu, tapi pria tua itu tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut. Mereka hanya terus mengunyah pajeon matang mereka yang berwarna kuning.2
“Mr. Ju? Ada beberapa yang bernama Mr. Ju di sekitar sini.” kata salah satu dari mereka.
“Aku pasti sudah semakin tua, ingatanku buruk akhir-akhir ini.” kata yang lain.
“Sungguh? Aku juga.”
“Waktu berjalan sungguh cepat.”
Seperti yang kuduga, mereka tahu lingkungan itu dengan baik.
Aku tersenyum lalu mengeluarkan dompetku.
Bajingan tua yang nakal ini tidak perlu khawatir nantinya tentang memberi makan diri mereka sendiri selama sisa hidup mereka.
Aku meletakkan cek di sebelah makgeolli mereka.
Pria tua itu tersenyum, menunjukkan gigi depannya yang kuning.
“Melihat sangat cepatnya dirimu dalam mengeluarkan uang, tampaknya kau sudah bersiap sebelum datang.”
Aku tertawa. “Sekarang hari yang baik untuk minum makgeolli. Gunakan ini untuk membeli beberapa minuman untukmu.”
“Kepala Ju tinggal di lantai tiga gedung ketiga dari jalan ini.” salah satu pria tua itu memberitahuku.
“Dia mungkin masih di toko jika kau pergi sekarang.” tambah yang lain.
“Terima kasih,” kataku.
Aku menuju ke arah yang ditunjukkan kakek tua itu padaku.
Alias: Kakek tua Yongsan Seorang bos yang terkenal di antara para ‘profesional’ tertentu.
Di luar, dia berbisnis alat elektronik untuk keamanan, tetapi secara rahasia, dia berbisnis perlengkapan untuk menerobos sistem keamanan. Dia adalah pedagang yang menjual tombak yang dapat menembus segala pertahanan dan juga perisai yang tidak dapat ditembus oleh serangan apa pun.
Aku membuka pintu besi tua. Di atas tangga di balik pintu, ada pintu lain.
Aku menekan tombol pada mesin interkom yang sangat usang. Aku mendengar suara deringnya dua kali, lalu berhenti.
“Halo? Kepala? Apa kau di sana?” kataku.
Tidak ada respons.
Ada kamera kecil di atas tombol yang kutekan, lalu lampunya berkedip. Dia menggunakan ini untuk melihat wajahku.
Aku merundukkan lensanya lalu tersenyum. “Halo, Kepala.”
Aku paham. Seorang pria yang tak dikenal muncul di depan pintunya tanpa pemberitahuan. Sebagai seorang pria yang bekerja di bidang ini, hidupnya bergantung pada kehati-hatian.
Namun, aku punya kata ajaib yang bisa membuka pintu ini.
“Aku teman Ha-seong” kataku.
Ada jeda, lalu ada respons.
“Kupanggil apa Ha-seong”
“Bedebah jelek.”
Ada suara klik, lalu pintu terbuka.
Ha-seong adalah salah satu anggota keluarga penjaraku. Seorang pencuri legendaris yang mencuri apapun selain hati wanita. Aku akan berulang kali mengoreksinya dan mengatakan bahwa bukan karena dia tidak mau mencuri hati wanita, tetapi karena dia tidak bisa.
Barang-barang ditumpuk di dinding sampai ke langit-langit, dan ruangan diterangi hanya dengan satu bola lampu kuning. Ha-seong tidak melebih-lebihkan saat dia memberitahuku bahwa kakek ini hampir punya semua barang yang bisa kau bayangkan. Ruangan itu penuh dengan barang-barang yang jelas tidak biasa.
“Kau teman Ha-seong, katamu?” kata Kepala Ju, yang bertubuh pendek, saat dia menatapku dari posisi membungkuk di kursinya.
“Halo,” sapaku.
“Ini pertama kalinya aku bertemu temannya yang tampan.”
Kepala Ju menatapku melalui kacamata tebal yang membuat matanya terlihat kecil dibandingkan dengan hidungnya yang membesar.
Dia mengingatkan saya pada kurcaci cerita rakyat yang mengawasi rumah.
“Kau dan Ha-seong terlihat sangat mirip sekali, seperti yang kudengar.” kataku.
“Jangan berani menghinaku.” katanya.
“Dan kau lucu seperti yang kudengar.”
Hmph. Tidak masuk akal.”
Kepala Ju bukan ayah kandung Ha-seong. Dia adalah putra kedua sepupu ketiga dari kakek adiknya. Dengan kata lain, mereka tidak bersaudara dekat.
Namun, melalui hubungan yang jauh ini, ketika Ha-seong kehilangan orang tuanya dalam sebuah kecelakaan dan kerabatnya dihubungi, rumah Kepala Ju adalah tujuan akhirnya.
Mengingat lingkungan tempat dia dibesarkan, Ha-seong menghabiskan waktunya bermain-main dengan membuka brankas sejak dia masih muda.
Kepala Ju memperhatikan aku dari kepala sampai kaki. “Baiklah. Tampaknya kau ke sini tidak untuk mengemis makanan. Ada urusan apa denganku?” tanyanya.
“Aku mau membeli beberapa barang” jawabku.
“Barang apa?”
“Alat pelacak dan mikrofon tersembunyi.”
“Duuuh. Seperti dua kacang dalam satu kulit.” kata Kepala Ju, mendecakkan lidahnya.
Namun tetap saja, dia membuka lemari penyimpanan dan meletakkan beberapa peralatan dengan berbagai ukuran di mejanya. Mulai dari seukuran laptop jadul hingga seukuran telapak tangan.
“Apa kau punya yang lebih kecil?” tanyaku.
“Seberapa kecil?”
“Pokoknya yang bisa diletakkan di pakaiannya..”
“Lihat ini. Apa kau tahu semahal apa aku akan menjualnya?” Kepala Ju menggeram, mengerutkan bibirnya
Aku mengeluarkan amplop yang telah kupersiapkan dan memberikan itu padanya.
Tangannya yang kecil mulai menghitung uangnya.
Satu cek besar, dua, tiga…
Kepala Ju melirikku dengan curiga. “Kau bukan teman Ha-seong, yaa?”
“Aku temannya.” jawabku meyakinkan.
“Dia tidak berteman dengan orang kaya. Dia sibuk mencuri dari mereka.”
“Kami menjadi dekat saat aku tak punya apa-apa.” Aku tersenyum malu-malu pada Kepala Ju.
Ekspresi curiganya tidak berkurang, tetapi dia menggerakkan kursi rodanya ke seberang ruangan dan membuka brankas di sisi lain. Beberapa saat kemudian, dia memberikan mesin seukuran biji padi ke telapak tanganku.
Bagi orang yang tidak terbiasa dengan perangkat seperti itu, seperti aku, perangkat itu sangat menakjubkan. Bagaimana komponen listrik bisa dipasang di dalam ruang sekecil itu?
Sepertinya reputasi kakek tua Yongsan tidak muncul begitu saja.
“Kau harus berada dalam jarak 100 meter dari mikrofon jika kau ingin mendengarkan, dan alat pelacak harus dihubungkan ke ponselmu.” Kata Kepala Ju.
“Apakah alat itu memberiku alamat yang tepat?” tanyaku.
“Yang ini hanya akurat dalam radius 30 meter. Jika kau ingin yang lebih akurat, gunakan yang lebih besar.” kata kepala Ju.
“Tidak, aku tidak bisa menggunakan yang lebih besar” kataku memberitahunya. “Dan satu hal lagi.”
“Apa?”
“Pistol setrum. Yang bagus dan kuat, tapi kurang dari 60,000 volts.”
“Kau bedebah gila.” dengus Kepala Ju.
Ternyata dia punya segala yang kubutuhkan.
Aku membayar untuk barang-barang itu lalu mengemasnya dengan hati-hati. Alat-alat itu akan sangat berguna dengan baik. Aku akan membutuhkannya karena aku tidak punya teman yang bisa kuandalkan dan aku pun tak punya stamina.
“Omong-omong, apa kau tahu bagaimana kabar Ha-seong?” tanya Kepala Ju dengan santai, seolah tidak begitu tertarik.
Ha-seong selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, jadi tampakya Kepala Ju belum bertemu dengannya selama beberapa waktu.
Aku memeras otak untuk mencoba dan memikirkan apa yang akan dilakukan Ha-seong sekarang.
Hmm, aku tidak tahu.
“Entahlah. Aku yakin dia sedang mencuri barang keluarga kaya di suatu tempat.” kataku.
“Aku cemas mungkin dia tertangkap.” kata Kepala Ju.
Dia merasakan sesuatu yang mirip dengan rasa bersalah terhadap Ha-seong. Dia berpikir bahwa segalanya akan sangat berbeda jika Ha-seong dibesarkan di rumah tangga biasa. Ha-seong itu belajar menjadi pencuri karena dia besar di lingkungan ini.
Secara alami, ini semua adalah yang kudengar saat aku dipenjara. Namun, selain kecemasan Kepala Ju, Ha-seong adalah anak yang sangat puas dengan kehidupannya. Atau bahkan, puas dengan pekerjaannya. Bisa disebut itu cocok sekali dengan bakat dan minatnya.
“Jangan khawatirkan soal itu. Dia akan bebas berkeliaran setidaknya selama sepuluh tahun lagi.” aku meyakinkan Kepala Ju.
“Apa yang kau bicarakan?” tanyanya bingung.
“Aku bisa melihat masa depan sedikit. Dia tidak akan masuk penjara untuk waktu yang lumayan lama.”
Namun, itu bisa berubah jika kita melanggar jalur pada suatu titik.
“Aku penasaran maksudmu, tapi kau berbicara hal yang tak masuk akal.” kata Kepala Ju sambil menghela napas.
“Kau segera berulang tahun, kan? Kau akan segera melihatnya.” kataku memberitahunya.
Ha-seong adalah putra yang baik; Dia tidak pernah gagal muncul di ulang tahun Kepala Ju.
Senyum kecil terukir di bibir Kepala Ju yang terkatup rapat. “Kau sungguh teman Ha-seong.” katanya.
Aku tertawa kecil. “Sampai jumpa. Aku akan mengunjungimu lagi.”
“Kau tidak disambut, brengsek.” omel Kepala Ju.
Aku meninggalkan tokonya dan keluar menuju distrik perbelanjaan. Hujan turun terus- menerus dan semakin deras.
Ini saatnya berolahraga.
Aku menaiki bis yang menuju ke rumah Spaniel Su-an.
Catatan:
1Makgeolli semacam anggur beras khas Korea.
2Pajeon martabak ala Korea.
<Selesai>