Pain, Pain, Go Away - Chapter 8 Vol 1 Bahasa Indonesia
Bab 8: Balas Dendamnya
Translator: Kaon Nekono
Ringkasnya, kami mulai mengambil tujuh belas nyawa orang, termasuk tiga orang pertama. Korban keempat adalah wali kelas gadis itu. Setelah membunuh seorang pria, yang berumur enam puluh tahunan, yang sudah berjuang melawan kanker lambung, ia berkata “Kita lanjutkan saja sampai aku puas.” Dan akhirnya ia menambahkan tiga belas orang lain yang ia benci dan sebenarnya tidak masuk dalam rencana asli.
Kalau dibedakan sesuai hubungan mereka dengan gadis itu maka: tujuh adalah kenalan SMP, empat orang kenalan SMA, dua guru, dan empat “yang lain”.
Kalau menurut gender: sebelas wanita, enam pria. Kalau menurut cara dibunuhnya: delapan mati cepat, empat lari, dua mencoba bernegosiasi, dan tiga melawan. Itulah hasil akhirnya. Tidak semua berjalan sesuai rencana. Nyatanya, kami gagal berkali-kali. Selama melakukan tujuh belas kali pembunuhan, target kami kabur lima kali, polisi menangkap kami empat kami, dan kami terluka berat dua kali.
Tapi, gadis itu “meniadakan” semuanya. Tidak, kami tidak adil sama sekali. Kami membuang tanggungjawab dan semua yang menghalangi jalan. Sepertinya aku akan berhenti menghitung mulai sekarang. Tapi kalau kau bicara padaku tepat setelah aku selesai membantunya membunuh terget ke tujuh belas, itulah caraku mendeskripsikannya. Setelah korban keempat atau kelima, setiap korban hanya angka bagiku.
Bukan berarti tidak ada satupun korban yang membekas diingatanku. Tetapi, yang terpenting bagiku bukan tentang siapa yang dibunuh, tapi tindakan gadis itu setiap kali ia membunuh. Semakin dalam akar-kemarahannya, semakin banyak darah yang keluar, semakin besar rasa enggannya, maka balas dendamnya itu yang bersinar paling terang. Keindahan itulah yang tidak pernah pudar berapa kali aku melihatnya. Setelah korban kesebelas meninggal, waktu penundaan kecelakaan itu, sepuluh hari, sudah berlalu.
Dan di hari kelima belas, ketika korban ketujuh belas meninggal, efek penundaan itu sepertinya masih bertahan. Bahkan gadis itu juga merasa aneh. Aku kira selama membalaskan dendam, keinginan kuatnya untuk tetap hidup yang memperpanjang penundaan gadis itu. Setelah selesai menyembunyikan korban ketujuh belas di semak-semak dengan maple merah, gadis itu menarik tanganku dan kami berputar di daun-daunan yang gugur, seperti boneka di jam mekanik. Ketika aku melihat senyum polosnya, aku merasa akhirnya aku mengerti rasa puas memperoleh sesuatu. Dan ketika penundaan itu berakhir, senyuman itu akan hilang selamanya.
Aku akan merasakan kehilangan yang sangat buruk, seburuk dunia kehilangan warnanya.
Aku telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dicabut kembali. Di saat seperti ini, dadaku terasa begitu sesak. Setelah gadis itu selesai mengekspresikan kebahagiaan tanpa ujungnya, ia kembali ke kenyataan dan melepaskan tanganku dengan canggung.
“Hanya kau satu-satunya yang aku bagi kebahagian…” jelasnya.
“Aku merasa beruntung,”jawabku. “Ini yang ketujuh belas, kan?”
“Ya, dan yang tersisa hanyalah kau.”
Daun kering menutupi mayat korban ketujuh belas. Seorang perempuan tinggi, berhidung-mancung yang beberapa menit lalu masih bernafas adalah salah satu yang bersama kakaknya menyiksa gadis itu. Kami sudah membuntutinya di jalan pulang kerja dan berbicara padanya ketika ia sendiri. Dia sepertinya tidak mengingat gadis yang pernah ia siksa, tetapi sekali gadis itu mengeluarkan guntingnya, perempuan itu merasakan bahaya dan kabur. Awalnya, hal itu membuatku berpikir jika dia akan sulit ditangani, tetapi ia memilih berlari ke semak-semak yang hanya membuatnya terlihat bodoh. Kami bisa fokus membunuhnya dengan mudah tanpa ketahuan siapapun.
Satu hal yang mengecewakanku, gadis itu mulai lihai membunuh, dia tidak lagi bersimbah darah atau menemui perlawanan berarti. Dengan gerakannya yang cekatan dan akurasi tusukan guntingnya yang indah, aku agak sedih tidak bisa melihat tubuhnya bersimbah darah dan kelelahan.
“Setelah aku kehabisan target untuk dibunuh, aku tidak yakin punya alasan kuat untuk hidup.”kata gadis itu. “Artinya, kematianmu akan jadi kematianku juga.”
“Kapan kau akan membunuhku?”
“Sebaiknya aku tidak menundanya terlalu lama. …aku akan membalaskan dendamku padamu besok. Dan akan mengakhiri semua ini.”
“Oh begitu.”
Aku menyipitkan mataku saat sinar matahari bersinar dari barat menembus pepohonan. Seluruh semak berwarna kemerahan hingga terlihat seperti akhir dunia.
Dan memang, bagi gadis itu, akhir dari dunianya semakin dekat.
———-
Itu adalah makan malam bersama kami yang terakhir. Aku menyarankan padanya makan di restoran mewah yang cocok untuk hari perayaan, tapi ia segera menolaknya.
“Aku benci tempat formal, dan aku tidak tahu bagaimana bersikap saat makan,” jelas gadis itu.
“Aku tidak ingin terlalu tegang hingga tidak bisa merasakan makanan di perjamuan terakhir kita.”
Dia sangat benar. Jadi akhirnya, kami memesan steak di restoran keluarga yang biasa kami datangi ditambah roti bakar dan minuman-bersoda-seperti anggur.
Mungkin karena ekspresi dewasanya, selama ia mengenakan pakaian yang pas, siapapun dengan mudah melihatnya sebagai mahasiswi, jadi pelayannya tidak mengatakan apapun tentang usianya untuk minum.
Sembari mengambil montblanc sebagai hidangan penutup, gadis itu memberitahuku “Aku tidak pernah makan montablanc hingga hari ini.”
“Bagaimana rasanya?”
Ia menyengir. “aku tidak ingin telat mengetahuinya, tapi ternyata ada makanan seenak ini di dunia.”
“Aku tahu perasaanmu. Kuharap aku tidak terlalu telat menyadari senangnya makan bersama gadis yang aku sukai.”
Ia menendang kakiku pelan bagai memarahiku. Tapi aku tahu dari lima belas hari pengalamanku jika ia tidak sedang marah, ia hanya membuat kontak fisik saat ia mabuk.
“Ya, beruntunglah kau, bisa melupakannya setelah penundaanku berakhir.”
“Aku tidak bilang aku ingin melupakannya. Aku hanya ingin tahu lebih awal.”
“Dan itulah yang kau dapat karena menyetir ketika mabuk. Dasar bodoh.”
“Benar sekali,”anggukku.
Terlihat tidak senang, gadis itu meletakkan lengannya di meja dan memutar gelas anggurnya.
“Kesenangan membeli baju, kesenangan memotong rambutku, kesenangan pergi ke tempat hiburan, kesenangan minum anggur, kesenangan memainkan piano seharian – aku tidak pernah ingin tahu satupun itu.”
“Benar, teruslah marah padaku. Dendam itu yang akan membunuhku besok.”
“…Jangan khawatir. Aku akan membawa dendamku.” ia meneguk sedikit anggurnya. “Bicara manislah sesukamu, karena kau yang sudah membunuhku. Tidak ada satupun yang kau lakukan bisa membuatku puas.”
“Tidak apa.”
Waktu untuk khawatir sudah lewat beberapa hari lalu. Sekarang aku tinggal menunggu saat gadis itu menusukku dengan guntingnya.
Sedih membayangkan ditusuk oleh orang yang aku cintai, tapi tidak terlalu buruk memikirkan bagaimana aku akan memenuhi pikirannya walau hanya sementara.
Alasan aku membiarkan diriku dibunuh bukan penebusan karena sudah membunuh gadis itu, juga bukan
karena ingin bertanggungjawab karena sudah membantu pembunuhan berkali-kali.
Aku hanya ingin ia sukses membalas dendam ke banyak orang yang ia bisa, dan menyerahkan diriku sebagai yang terakhir.
Dan, sejujurnya, aku tidak akan mati. Aku hanya mati sementara selama masa penundaan.
Di waktu asli – tidak terlalu tepat juga, tapi karena terbiasa dengan film dan buku, pikiran itu menempel padaku – gadis itu sudah meninggal, jadi baik “kucing” atau “cakar” itu tidak ada untuk membunuhku.
Selama diriku yang lain tidak memutuskan untuk bunuh diri, aku harus tetap hidup.
Bagaimanapun, yang tetap hidup adalah siapapun yang tidak pernah mengenal gadis itu ketika ia hidup dulu.
Itulah hukumanku karena telah membunuh seorang secara tidak sengaja dan tujuh belas orang secara sengaja, anganku seenaknya sendiri.
“Aku hanya punya satu pertanyaan…”
“Ya?”, jawabnya, perlahan memiringkan kepalanya.
“Jika pertemuan kita tidak seperti ini, menurutmu apa yang akan terjadi?”
“…siapa tahu. Tidak ada gunanya memikirkan itu.”
Aku tidak bisa menghentikan imajinasiku. Bagaimana jika aku tidak menabraknya?
Aku mengulang kembali kejadian malam itu. Setelah membeli bir di supermarket, meminumnya, dan mulai mengemudi, ban mobilku selip dan membuatku masuk ke got, dan aku tidak bisa mengeluarkan mobilku.
Aku juga tidak membawa ponselku, jadi aku harus menunggu pengemudi baik hati memberiku tumpangan di tengah hujan.
Lalu gadis itu muncul. Kenapa ada gadis SMA berjalan di jam, di tempat ini, tanpa payung, sendirian?
Walau aneh, aku akan bertanya padanya, “Hei, bisa aku pinjam ponselmu? mobilku tersangkut, seperti yang kau lihat.” Ia menggelengkan kepala; “Aku tidak punya ponsel.” “Oh akung sekali.. apa kau tidak kedinginan?” “Aku kedinginan.” “Kau mau menghangatkan diri di mobilku?” “Tidak. Kau sangat mencurigakan.” “Jujur saja, aku juga berpikir kau cukup mencurigakan, berjalan di jalanan sepi di tengah malam tanpa payung. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan hal aneh. orang mencurigakan seperti kita harus akur, benarkan?” Gadis itu akan ragu, lalu tanpa kata masuk ke kursi penumpang, dan kami berdua tertidur.
Kami bangun karena sinar mentari. Sebuah truk membunyikan klaksonnya. Truk itu akan menarik mobilku keluar. Kami berterima kasih pada pengemudi truk itu.
“Sekarang, aku harus mengantarmu pulang. Atau sebaiknya ke sekolah?” “Aku tidak akan sempat sekarang. Karenamu.” “Oh begitu, kurasa bukan hal yang buruk.” “Karena aku sudah menyerah pergi ke sekolah, tolong ajak aku berkeliling.”
Setelah berkeliling jalanan kota seharian, aku berpisah dengan gadis itu.
Sungguh hari yang aneh, tawaku.
Beberapa hari kemudian, dia dan aku tanpa sengaja akan bertemu lagi. Aku menghentikan mobil, dan dia tanpa kata masuk ke mobilku daripada pergi ke sekolah.
“Ya, bagaimana kita harus menghabiskan hari ini?” “Tolong ajak aku berkeliling, Tuan Penculik.” “Penculik?” “Orang asing, kalau begitu.” “Tidak, kurasa Tuan Penculik lebih baik.” “Iya, kan?”
Lalu kami bertemu setiap minggu. Setelah menemukan arti mekajubkan dari rekreasi, kami saling membantu menyembuhkan luka.
Tahun akan terlewati, dan gadis itu bisa melanjutkan sekolahnya hingga lulus, dan aku kembali dalam kehidupan sosial dan bekerja paruh-waktu.
Bahkan setelah itu, kami tetap berkendara setiap jumat malam. “Kau telat, Tuan Penculik.” “Maaf. Ayo pergi.”
Sungguh hubungan absurd, tapi ideal. Tapi walau kami bertemu seperti itu, walau aku mungkin bisa lebih dekat dengannya, aku yakin tidak akan jatuh cinta padanya.
Karena mengikuti balas dendamnya, aku merasakan pengertian lebih dalam mengenai gadis itu. Walau pengertian yang mungkin saja bias.
———-
Malam itu, aku terbangun karena merasakan tekanan di perut bawahku.
Seseorang tengah mendudukiku. Kelima inderaku, yang tadinya tumpul karena rasa kantuk dan kebingungan, kembali satu persatu.
Pertama pendengaran. Aku mendengar suara hujan di atap. Selanjutnya sentuhan. Aku merasakan sesuatu yang keras di punggung dan belakang kepalaku; aku terjatuh dari sofa dan tertidur di lantai.
Lalu, sesuatu yang tajam ditodongkan di leherku. Aku bakan tidak perlu berpikir untuk menyadari jika itu adalah gunting jahit gadis itu.
Ketika ia mengatakan “esok,”maksudnya adalah saat ketika tanggal berganti.
Mataku mulai terbiasa dengan kegelapan. Gadis itu tidak mengenakan piama, tetapi seragam sekolahnya.
Segera setelah sadar, aku merasakan kenyataan, iya, inilah akhirnya.
Aku merasa semua kembali seperti biasa.
“Kau terbangun?”, tanya gadis itu lemah.
“Ya,”jawabku.
Aku tidak menutup mataku. Aku ingin melihat bagaimana ia membawa dendamnya hingga akhir hidupku.
Aku tidak bisa memastikan ekspresinya dalam gelap. Tapi dari napas dan nada bicaranya mengatakan mungkin ia tidak bergemetar bahagia, tidak juga wajah yang dipenuhi kemarahan.
“Aku akan menanyaimu beberapa hal,”katanya. “Sebagai pemastian terakhir.”
———-
Angin tiba-tiba berhembus, mengguncangkan seluruh apartemen.
Ia menanyakan pertanyaan pertama.
“Kau membantuku selama 15 hari ini untuk menebus kejahatanmu. Benar begitu?”
“Kurang lebih,”jawabku. “Walau melakukannya, hanya menambah kejahatanku.”
“Kau bilang kau menyukaiku ketika aku sedang membalas dendam. Benar begitu?”
“Tentu saja. aku ragu bisa membuatmu percaya, tapi…”
“Aku tidak butuh jawaban selain “benar” atau “tidak,”” katanya mencela.
“Kau ingin aku membunuhmu karena, menurut pikiran objektifmu, kau ingin aku membalaskan dendam pada sebanyak orang yang aku bisa. Benar begitu?”
“Benar.”jawabku, sebenarnya, aku tidak ingin mati, tapi jika pilihanku hanya dua maka, lebih dekat dengan pilihan “ya”.
“Begitu.” ia sepertinya menerima jawabanku.
Aku salah percaya jika pertanyaan yang ia lontarkan ini untuk memastikan keputusan akhir, untuk mengadili pembunuhannya.
Aku pikir semakin banyak berkata “iya,” lebih banyak aku mendorongnya untuk membalaskan dendamnya.
Pertanyaan itu akhirnya sampai di ujung. Jantungku berdebar; semua akan berakhir.
Pikiranku jernih, dan penyesuaian inderaku naik pesat. Aku merasa sedikit bergemetar karena merasakan emosi gadis itu lewat guntingnya. Perlahan tapi pasti, keraguan itu menyingkir.
Aku bisa merasakan keyakinannya terbentuk. Ujung gunting itu mendekat, berjarak beberpaa milimeter dari tubuhku. Stimulus reseptor rasa sakitku mencapai tingkat maksimum.
Rasa takut mati dan antisipasi keindahan gadis itu meleleh bersama bagai narkoba yang memenuhi otakku, menyebabkan banjir, memenuhi diriku hingga membuatku ingin berteriak.
Tubuhku bergemetar hingga intinya. Benar begitu, tusuk saja leherku, kataku menyemangati.
Akhiri semua ini dengan gunting itu. Bunuh mayat berjalan yang tidak pantas hidup selama dua puluh dua tahun ini.
Akung sekali aku tidak bisa melihat ekspresinya dalam gelap.
Apakah dia akan bahagia ketika darahku terciprat ke wajahnya? atau marah? atau sedih? atau hampa? atau mungkin dia kurang –
“Aku bisa memahami pikiranmu,”kata gadis itu.
“Karena itu aku tidak membunuhmu. Aku menolak membunuhmu.”
Ia menarik guntingnya dari leherku.
Aku tidak paham apa yang terjadi.
“Hei, apa ini? apa kau kehilangan keberanianmu?”, Tanyaku memprovokasi. Tapi gadis itu menggelangkan kepalanya dan melempar gunting itu ke kasur.
“Pembunuhan tidak akan dianggap begitu jika aku membunuh orang yang setengah mati ingin dibunuh, bukan begitu?”, katanya, masih duduk di atasku. “Aku tidak akan mengabulkan satu keinginan terbesarmu. …Itulah balas dendamku.”
Setelah itu, aku sadar apa yang ia maksud dengan “pemastian terakhir.”
Ia tidak mencoba memastikan apakah pembunuhannya akan diadili, tapi betapa tidak berartinya jika ia membunuhku.
“…Jadi jika ini adalah pemenuhan balas dendammu,” pikirku. “Kenapa penundaanmu tidak berakhir?”
“Sederhananya, karena belum berkerja. Jangan khawatir; aku akan mati. Tidak butuh waktu lama bagi sisa niatku terbakar.”
Gadis itu berdiri perlahan, meluruskan lengan blazer dan wiru di roknya, dan berjalan menjauh dariku ke pintu depan.
Aku ingin berdiri dan mengejarnya, tetapi kakiku tidak bergerak.
Aku hanya bisa terdiam di lantai dan melihatnya pergi.
Saat gadis itu sampai di pintu, ia mengingat sesuatu dan berhenti. Ia berbalik dan berjalan kembali.
“Ada satu hal yang ingin kusyukuri,”katanya hampir berbisik.
“Walau dengan luka di seluruh tubuhku, kau tetap memanggilku “cantik.” Aku tidak tahu seberapa serius dirimu, tapi… itu membuatku bahagia.”
Ia bersimpuh di sampingku dan menutupi mataku dengan tangannya. Dengan tangan lain, ia memegang daguku.
Rambut lembutnya menyeka leherku. Bagai memberi ciuman mulut-ke-mulut, bibirnya menempel di bibirku.
Aku tidak tahu berapa lama itu berlangsung.
Bibir kami berpisah, dan ia melepas tangan yang menutup mataku dan meninggalkan kamar.
Daripada selamat tinggal, gadis itu pergi dengan “Maaf.”
———-
Untuk pertama kalinya dalam sepuluh hari, aku berbaring di kasur kosong dan menutup mata.
Setelah berguling, aku memegang gunting yang gadis itu buang. Aku meletakkan mata guntingnya di bawah daguku dan bernafas perlahan.
Aku tidak perlu mencari cara yang benar. Aku tahu apa yang harus ditusuk dan bagaimana caranya. Aku tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mati- setelah gadis itu menunjukkan mimpi buruk itu padaku.
Detak jantungku merasakan mata guntingnya. Pikiranku sangat tenang karena detak itu.
Aku tiba-tiba mengingat sesuatu, jika seseorang mati, pendengarannya tetap tersisa hingga akhir. Indera lain mungkin mati, tapi pendengaran akan bertahan hingga sesaat sebelum kematian.
Jika aku menusuk arteriku sekarang, inderaku akan kabur, dan aku akan mati tanpa mendengar apapun kecuali tetes air hujan.
Aku meletakkan gunting itu sementara dan menuju ke CD player. Aku ingin setidaknya memutuskan suara apa yang akan menemaniku hingga akhir hayatku.
Mendengarkan lagu bahagia mungkin lebih cocok untuk kematianku daripada lagu sedih yang akan membuatku menyesal.
Aku memasukkan The Libertines’- lagunya Can’t Stand Me Now dengan volume keras, lalu melempar diriku ke kasur lagi dan menggenggam gunting itu.
Akhirnya, aku hanya duduk saja sambil mendengarkan tiga lagu lagi. Aku tidak menyangka akan menikmati musik ini.
Ayolah, kuatkan dirimu. Kalau begini kau hanya akan mendengarkan satu album. Lalu apa? “mendengarkan Album Selanjutnya?”. Baiklah, satu lagu lagi. Setelah lagu itu berakhir, aku akan mengakhiri hidupku yang penuh lelucon ini.
Tetapi ketika lagu keempat menyisakan beberapa detik sebelum selesai, ada suara ketukan dari depan pintu. Suara pintu dibuka paksa terdengar, walau aku mencoba hanya fokus pada lagu. Aku menyembunyikan gunting itu di bawah bantal dan menyalakan lampu. Mahasiswi seni itu, masuk tanpa izin, dan menekan tombol stop di CD playerku.
“Kau mengganggu tetangga.”
“Hanya selera kita yang beda,” candaku. “Jadi apa kau membawa CD pengganti milikku?”
Mahasiswi seni itu melihat sekeliling dan bertanya, “Dimana gadis itu?”
“Dia sudah pergi. Beberapa saat yang lalu.”
“Di tengah hujan begini?”
“Ya. Aku lelah dengan perlakuan baiknya padaku.”
“Hee. Akung sekali.”
Ia mengeluarkan rokok dan menyalakannya, menawariku sebatang juga. Aku mengambilnya dan memasukkannya ke mulutku, dan ia menyalakannya untukku.
Rokok itu memiliki kadar tar yang lebih tinggi dari yang biasa kuisap, hampir seperti yang Shindo biasa isap, jadi aku hampir terbatuk.
Paru-parunya pasti sudah hitam legam.
“Dimana asbaknya?”, tanyanya.
“Kaleng kososng.”tunjukku ke arah meja.
Setelah menyelesaikan batang rokok pertamanya, ia mulai menyalakan yang kedua tanpa jeda.
Menurutku, ia pasti datang kesini untuk mengatakan sesuatu. Marah karena kebisingan yang kubuat hanya sekedar alasan saja.
Seingatku ia pernah sekali berkata padaku. Jika ia benar-benar buruk mengatakan hal yang ia pikirkan. Jadi ia mungkin memikirkan sesuatu sekarang, karena ia ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku. Setelah menghabiskan tiga batang rokok, ia mulai bicara.
“Jika aku teman baikmu, aku mungkin akan menyuruhmu mengejarnya sekarang. “Jika tidak kau akan menyesal seumur hidup,” atau seperti itulah. Tapi berhubung aku hanya perempuan licik dan pintar, aku tidak akan mengatakannya.”
“Kenapa tidak?”
“Hmm. Kenapa ya?”
Tanpa alasan yang masuk akal, ia mengatakan sesuatu setelah satu isapan, “Karena musim dingin akan segera tiba.”
“Kau tahu, aku lahir di selatan. Bahkan ketika salju turun, saljunya tidak akan bertahan hingga satu hari. Jadi aku sangat bahagia ketika musim dingin pertama datang disini. Setelah salju menumpuk, kau tidak akan bisa melihat tanah hingga musim dingin. Dan berkat bayangan salju yang putih dan lembut itu, beratnya berjalan di tumpukan salju, seramnya melewati jalanan yang beku, dan salju yang terlihat seperti lahar dari gunung berapi saat meleleh, dan lain-lain jadi tertutupi… sangat mengecewakan.” Aku tidak berpikir “Apa yang dimaksud gadi ini?” ini adalah caranya mengekspresikan diri.
“Tapi walau begitu, saat salju turun di malam hari, dan suara jatuhannya membuatku bangun saat pagi, dan aku membuka jendelaku yang berkabut lalu melihat jalan, semua itu selalu membuatku senang. Seperti dunia ditutupi oleh selimut segar berwarna putih. Tapi di sisi lain, kalau aku pulang malamnya, pasti aku menggigil sembari meminum secangkir kopi hangat yang sangat manis.”
Ia berhenti disana.
“…Hanya itu saja yang ingin aku katakan. Jika kau masih ingin menemui malaikat pencabut nyawa itu, aku tidak akan menghentikanmu.”
“Kau benar. Terima kasih.”
“Sungguh, mau kau ataupun Shindo, kenapa orang yang paling bersahabat denganku harus pergi begitu cepat?”
“Kupikir hanya orang yang akan mati, yang mengerti bertapa menariknya dirimu.”
“Aku tidak senang mendengarnya darimu,”tawanya.
“Hei, aku selalu ingin bertanya. Apa kau tidak pernah menggandeng tanganku karena kau tidak tertarik padaku? atau semua demi Shindo yang sudah pergi itu?”
“Entahlah. Aku juga tidak paham. Mungkin aku selalu berpikir kalau aku sejak awal tidak mungkin menang darinya.”
“…Terima kasih, jawaban itu membuatku senang. Kurasa aku sedikit lebih baik.”
Ia mengulurkan tangan kirinya. Mungkin tidak tangan kanannya karena ia khawatir akan lukaku.
“Apa setidaknya kau mau menjabat tanganku untuk terakhir kalinya?”
“Dengan senang hati.”aku mengulurkan tangan kiriku. “Selamat tinggal…”
“Saegusa,”katanya, sambil menjabat tanganku. “Saegusa Shiori. Pertama kali aku menggunakan nama asliku, eh, Yugami Mizuho? Aku suka hubungan tidak jelas ini.”
“Terima kasih untuk segalanya, Nona Saegusa. Aku merasa hubungan kita juga sangat nyaman.”
Ia segera melepas tanganku. Aku juga tidak mau berlama-lama, dan berkacak pinggang padanya.
Aku mengkancingkan jas, mengikat tali sepatuku, dan membuka pintu sambil membawa payung.
“Aku akan kesepian kalau kau pergi,”aku mendengar Nona Saegusa mengatakannya di belakangku.
———-
Cara tradisional adalah dengan mencarinya ke segala tempat yang mungkin gadis itu datangi.
Tapi itu tidak perlu. Aku kebetulan tahu kemana dia akan pergi. Ia meninggalkan beberapa petunjuk padaku.
Aku mengurutkan segalanya. Petunjuk pertama, aku mengetahuinya ketika membeli tiket kereta. Dompetku tidak rapi; dengan kartu yang teracak. Aku bahkan tidak perlu berpikir dua kali kalau gadis itu pelakunya.
Aku awalnya mengira ia mengambil uang dariku untuk dihabiskan selama sisa waktunya. Tapi setelah memastikan dengan hati-hati, tidak ada satu yenpun yang hilang, dan ATM maupus kartu kreditku tidak tersentuh.
Setelah memikirkan beberapa kemungkinan, aku memutuskan: Ia mencari sesuatu yang kumiliki, dan mengecek dompetku karena mengiranya ada disana.
Petunjuk kedua adalah kata “Maaf,” yang ia tinggalkan. Permohonan maaf pada orang yang sudah membunuhnya.
Untuk apa maaf itu? ia dengan jelas mengatakan kalau “terima kasih” sebelumnya untuk: “Walau ada luka di sekujur tubuhku, kamu masih memanggilku “cantik”. Aku tidak tahu kau bercanda atau tidak, tapi… aku senang mendengarnya.”
Tapi tidak ada penjelasan untuk kata “maaf.” Tidak mungkin ia mengatakannya tanpa berpikir panjang. karena, aku berusaha memcahkan kepalaku untuk menemukan maknanya.
Mungkin dia punya alasan untuk tidak menjelaskannya, tapi setidaknya aku ingin mengetahui perasaannya sebelum ia pergi. Jadi itu tidak mungkin hanya “Maaf” belaka.
Petunjuk ketiga adalah ketika empat hari lalu. Saat gadis itu mandi, aku pikir untuk melanjutkan menulis “surat tidak dikirim” ku untuk Kiriko, jadi aku membuka lemari untuk mecarinya, tapi beberapa surat itu hilang.
Aku tidak terlalu memikirkannya saat itu, tapi – pikiranku itu terbaca oleh gadis itu – kenapa dia tidak mengembalikannya?
Di kamarku, kehilangan sesuatu yang sudah “kususun,” sangatlah tidak mungkin. Tapi aku tidak melihatnya lagi sejak saat itu.
Kecuali jika dia bermaksud menggodaku dan menyembunyikannya di kotak CD atau di antara buku, atau membuangnya ke tempat sampah, hanya satu kemungkinan yang tersisa: Dia masih menyimpan surat itu.
Setelah berpikir sejauh ini, aku mengingat kembali semua hari sejak bertemu dengannya. Itu adalah teka-teki sederhana.
Ingatanku terdistorsi.
Mengapa dia membenci nama belakangnya “Akazuki”? Mengapa “teman sekelasnya” adalah campuran dari siswa SMA dan mahasiswa?
Dan seperti yang kupikirkan sejak awal, mengapa dia berjalan sendirian tanpa payung di tempat terpencil itu di hari aku menabraknya?
Tapi sungguh, mengapa aku butuh waktu lama untuk memperhatikan sesuatu yang begitu sederhana?
Beberapa petunjuk, mau disadari atau tidak, ditinggalkan oleh tangan gadis itu sendiri.
Dia seharusnya bisa menyembunyikannya jika dia mau, tapi dia meninggalkan bukti setelah mengaca dompetku. Dia berkata “Maaf” sebelum pergi.Dia meninggalkan satu benang yang mengarah ke kebenaran. Jika Nona Saegusa tidak mengetuk pintu, Aku pasti sudah menusukkan gunting ke tenggorokanku tanpa pernah menyadarinya. Aku harus berterima kasih padanya. Faktanya, dia sudah membantuku berkali-kali.Tapi aku tidak menyesali bagaimana kami akhirnya berpisah. Akhir antiklimaks itu sangat cocok untuk hubungan kami, aku yakin itu.
Karena tidak punya mobil, aku naik satu kereta dan tiga bus ke tempat tujuan.Bus ketiga terjebak kemacetan di jalan. Terjadi kecelakaan dalam hujan, dan aku melihat truk pemadam kebakaran dan mobil polisi melintasi jalur yang berlawanan.
Aku memberi tahu supir kalau aku terburu-buru, lalu membayar ongkos, turun dari sana, dan berjalan di sepanjang barisan mobil yang macet.Di dasar lereng yang rendah, ada area banjir yang membentang beberapa ratus meter, dan air mencapai lututku di bagian terdalamnya.
Pada titik ini, kaus kaki panjang tidak akan membantu. Sepatu botku yang diikat tetap kemasukan air. Pakaian basahku mencuri panas tubuh.Hawa dingin dan suasananya membuat kelingkingku yang terluka mulai sakit. Dan berkat angin keras, payung itu menjadi lebih dari sekadar penghibur.Segera angin kencang datang, dan saat aku menggenggam erat pegangan payung, kerangkanya hancur berkeping-keping. Sekarang payung itu tidak berguna, dan aku melemparkannya ke tepi jalan dan berjalan melewati hujan yang sangat deras sehingga hampir tidak bisa membuka mata.
Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, akhirnya aku lolos dari area banjir. Kendaraan darurat mengepung truk berukuran sedang yang terbalik dan mobil sedan yang rusak parah.Setiap lampu mobil menerangi tetesan air hujan dan tanah yang basah, membuat seluruh area menjadi merah. Klakson mobil menggema dari arah kemacetan lalu lintas.Saat aku berbelok di tikungan, seorang siswa SMA yang mengendarai sepeda memegang payung di satu tangan hampir menabrakku.
Dia melihatku tepat pada waktunya dan menginjak rem, kemudian bannya tergelincir, membuatnya dan sepedaya jatuh. Aku bertanya apakah dia baik-baik saja, tetapi dia mengabaikanku dan mengayuh pergi.Setelah berbalik untuk melihatnya pergi, aku kembali berjalan.Aku tahu persis berapa lama lagi aku harus berjalan untuk mencapai gadis itu.Karena ini adalah kota tempat kelahiranku.
———-
Seluruh taman yang banjir, berkilau karena sinar matahari pagi yang mengintip di antara awan. Aku hanya bisa melihat satu bangku kayu kecil, tampak mengapung di atas air.
Gadis itu sedang duduk di sana. Tentu saja, dia basah kuyup. Dia mengenakan jaket nilon rajut yang kupinjamkan di atas seragamnya. Sebuah payung rusak bersandar di bagian belakang bangku.
Aku berjalan dengan susah payah melalui genangan air untuk mendekatinya dari belakang dan menutupi matanya dengan tanganku.
“Siapa aku?”, Tanyaku.”… Jangan perlakukan aku seperti anak kecil.”Dia meraih tanganku dan menariknya ke sekitar pinggangnya. Aku jatuh ke depan dan mengambil posisi memeluknya dari belakang.
Dia melepaskannya setelah beberapa detik, tetapi aku menyukai posisi itu dan membiarkannya.”Rasanya aku ingat kembali,” kataku padanya. “Pada hari kecelakaan, aku duduk di bangku tempatmu duduk sekarang sepanjang hari, dijatuhi hujan. Aku mencoba untuk bertemu dengan seseorang. … Bukan, bukan begitu. Aku hanya sepihak menunggu Kiriko datang. ”
“Apa yang kau bicarakan?”
Aku tahu dia pura-pura bodoh. Jadi aku terus berbicara. “Saat kelas enam, karena pekerjaan ayah, aku harus pindah sekolah. Pada hari terakhirku di sekolah lama, aku seharusnya pulang dengan perasaan kesepian ketika seorang gadis berbicara denganku. Dia adalah Hizumi Kiriko. Meskipun kami hampir tidak pernah berbicara sebelumnya, karena kami akan berpisah, katanya dia ingin kami menjadi sahabat pena. Aku rasa aku orang yang tepat melakukannya karena; dia hanya membutuhkan seseorang yang jauh untuk dikirim surat. Dan aku hanya merasa permintaannya sulit ditolak – awalnya, aku tidak terlalu menyukai ide itu.”
“… Tapi saat kami terus menulis satu sama lain, aku sadar kalau pikiran kami hampir mirip. Kami menemukan kesepakatan dalam semua yang kita bicarakan. Dia akan mengerti perasaanku yang kupikir tidak mungkin dimnegerti siapapun. Tidak butuh waktu lama sebelum kami saling berbalas. Hal sederhana itu, menjadi alasanku hidup.” Tubuhnya dingin. Karena dia sudah menungguku di tengah hujan, entah berapa jam. Wajahnya pucat, dan dia napasnya menggigil.
“Suatu hari, lima tahun setelah surat-menyurat kami, Kiriko menulis kalau dia ingin kami bertemu dan berbicara secara langsung. Aku senang dia ingin tahu lebih banyak tentang aku, dan aku juga ingin tahu lebih banyak tentang dia.Fakta itu, setidaknya, benar-benar membuatku bahagia.”“… Tapi kamu tidak pergi menemuinya,” katanya. “Benar begitu?””Persis. Tidak mungkin aku bisa bertemu Kiriko. Aku tidak ingat pastinya, tapi tak lama setelah masuk SMA, Aku mulai berbohong dalam surat-suratku. Dan bukan hanya satu atau dua kebohongan kecil.Hidupku sengsara saat itu, dan sangat hambar. Aku tidak mau menulis apa adanya dan mengecewakan Kiriko, atau membuatnya merasa kasihan.Jadi aku berpura-pura memiliki kehidupan yang sangat sehat dan memuaskan. Jika tidak, aku mengira surat-menyurat kita akan segera berakhir.”Saat aku menjelaskan semuanya, aku mulai bertanya pada diri sendiri apakah memang ini masalahnya? . Apakah menulis kehidupan SMA-ku yang palsu benar-benar menjadi alasan untuk berhenti menjadi sahabat pena?Aku tidak akan pernah tahu.“Tapi upaya putus asa itu menjadi kejatuhanku. Gadis yang paling bisa kupercaya di seluruh dunia mengatakan kalau dia ingin bertemu langsung, namun jika aku menanggapi permohonannya, semua kebohongan yang kubuat akan terbongkar. Aku tahu Kiriko akan membenciku jika dia tahu orang seperti apa aku yang asli.Dia akan mencemoohku saat dia tahu aku telah menulis kebohongan padanya selama ini. Akungnya, aku menyerah untuk bertemu Kiriko. Aku tidak pernah membalassurat-suratnya lagi. Aku tidak tahu harus menulis apa. Begitulah hubungan berakhir. … Tentu saja, melupakan kebiasaan selama lima tahun itu susah. Menolak untuk melepaskannya, aku masih menulis surat untuk menghibur diri. Tidak ada niat untuk mengirimkannya. Aku perlahan menumpuk surat yang tak seorang pun akan baca.”Aku melepaskan lenganku yang memeluknya dan mengitari bangku itu, lalu duduk di sampingnya.Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya padaku. “Aku kembalikan.”Itu adalah surat yang tidak terkirim yang aku tulis untuk Kiriko. Jadi dia memang membawanya.“Dari apa yang aku dengar sejauh ini,” renungnya, Ceritamu tentang duduk di bangku ini pada hari kecelakaan, menunggu Nona Kiriko,kedengarannya tidak masuk akal.”“Kematian temanku yang memicu segalanya. Kami mengenal satu sama lain sejak lulus SMA. Dia pria yang bisa kupercaya, jadi akhirnya aku memberitahunya, tentang bagaimana aku berbohong dan berbohong kepada sahabat penaku, lalu berhenti membalasnya ketika aku akan ketahuan. Lalu sekitar sebulan sebelumnyadia meninggal, dia bilang, “Kau harus pergi menemui Hizumi Kiriko.” Dia tidak ragu kalau hal itu mungkin menjadi hal yang positif untuk hidupku. Dan jarang sekali dia menyarankan sesuatu kepadaku seperti itu.”Ya, Shindo selalu benci memberi nasihat atau mendengarkan masalah orang lain. Demikian pula, dia benci diberi nasihat atau diminta orang lainmendengarkan masalahnya.Dia benci kecenderungan menerima apa saja selama itu dilakukan dengan niat baik, bahkan kalau semua itu spontan.Mengatakannya butuh tanggung jawab yang sangat besar, dan selama dia tidak yakin kalau dia bisa menangani masalah itu, dia merasa tidakseharusnya mengatakan sepatah kata pun tentang kehidupan orang lain – itulah kehidupan yang Shindo jalani.Jadi baginya untuk memberiku beberapa nasihat yang layak disebut sebagai nasihat, dia pasti cukup serius tentang hal itu.“Jadi aku memutuskan untuk mengirim surat untuk pertama kalinya dalam lima tahun. Aku menulis kalau dia mau memaafkanku, dia harus datang menemuiku di taman dekat SD yang biasa kami kunjungi.”Aku mengangkat salah satu kakiku untuk menyilangkannya, yang membuat riak digenangan air, dan membuat langit biru berkilauan di kaki kami.Ranting pohon yang sunyi dan langit tak berawan seolah-olah menyerah dalam segala hal dan membuatku merasa bahwa musim dingin akan segera tiba.“Aku menunggu sepanjang hari, tapi Kiriko tidak pernah datang ke taman. Tentu saja aku paham.Aku benar-benar mengabaikan surat-surat yang terus dia kirimkan. Setelah aku berhenti menjawab; lalu tiba-tiba mengatakan “Aku ingin meminta maaf” setelah temanku meninggal benar-benar menguji keberuntunganku. Aku tahu dia tidak membutuhkanku lagi, dan aku akhirnya putus asa.
Jadi aku melarikan diri ke alkohol. Aku membeli wiski dari supermarket dalam perjalanan
kembali dari taman, dan baru mulai mengemudi setelah meminumnya.
Dan kemudian, aku menabrakmu.”
Aku mengeluarkan sebatang rokok dan korek api dari saku. Pemantik minyak
menyala tanpa masalah, tapi rokok basah rasanya sangat pahit.
“Ah. Jadi begitu,” kata gadis itu.
“Itu ceritaku. Sekarang giliranmu.”
Dia meletakkan tangannya di atas lututnya dan berdiam di bangku yang terkelupas catnya.
“… Katakan, Mizuho.” Dia menggunakan namaku. “Apa kau tahu kenapa Nona Kiriko tidak datang ke taman ini pada hari kecelakaan itu?””Itulah yang ingin aku tanyakan,” jawabku.“Menurutku,” dia mengawali dengan hati-hati, “Nona Kiriko memang berangkat kesini. Namun, butuh waktu lama untuk membulatkan tekadnya.Kali ini, dialah yang punya alasan tidak bisa pergi menemuimu. Dia tidak bisa memandang wajahmu. Di sisi lain, mengetahui kalau setelah lima tahun diam, orang yang dia pikir telah lama melupakannya masih ingin melihatnya, dia pasti cukup senang hingga menangis. Setelah menimbang panjang lebar pilihannya, Nona Kiriko memutuskan untuk menemui Tuan Mizuho.”Dia sepertinya berbicara dengan nada acuh tak acuh. Ia seperti menyangkal emosinya sendiri.“Namun, keputusannya datang agak terlambat. Dia kabur dari rumah dengan mengenakan seragam sekolahnya, lewat jam 7 malam pada hari yang dijanjikan. Apalagi, saat itu hujan sangat deras, jadi bus dan kereta tidak berfungsi dengan baik. Pada akhirnya, sekitar tengah malam dia sampai tempat tujuannya. Tentu saja, tidak ada seorang pun di taman itu. Dia duduk di bangku, diguyur hujan, dan meratapi kebodohannya sendiri. Dia akhirnya mengerti betapa inginnya dia bertemu lagi dengan Tuan Mizuho. Kenapa dia selalu melakukan kesalahan seperti ini?Kenapa dia mengkhawatirkan hal-hal yang tidak berguna dan mengabaikan hal-hal yang palingpenting? Nona Kiriko, dalam keadaan tercengang, mulai berjalan dengan susah payahkembali pulang.”
Dan aku tahu lebih baik dari siapa pun apa yang terjadi pada Kiriko setelah itu.Dia dan aku telah bersatu kembali dengan cara terburuk yang bisa dibayangkan siapapun.Terlebih lagi, tidak satu pun dari kami yang menyadarinya.
“Ada satu hal yang tidakku mengerti,” aku merenung. “Apa maksudmu tentang“Kamu tidak bisa melihat wajahku?” ””… Ini bukan tempat yang tepat untuk menjelaskannya.”Kiriko meletakkan tangannya di atas lututnya dan berdiri dengan susah payah. Aku melakukan hal yang sama.“Ayo kembali ke apartemen sekarang. Kita mandi air hangat, memakai pakaian kering, makan makanan enak, tidur nyenyak, lalu pergi ke tempat yang tepat untuk membicarakan kebenarannya.”
“Baiklah.”Kiriko dan aku hampir tidak berbicara dalam perjalanan pulang.Kami bergandengan dengan tangan yang dingin, dan aku berjalan perlahan untuk menyamakan kecepatannya.Seharusnya ada begitu banyak hal yang harus dibicarakan, tetapi setelah benar-benarbersatu kembali, sepertinya kata-kata tidak diperlukan.
Keheningan karena saling memahami itu sangat menghibur, dan tidak ada yang mau mengganggunya dengan kata-kata yang berlebihan.
Setelah tidur siang bersama selama beberapa jam di kasur di apartemen, kami naik shuttle bus reyot dari stasiun ke “Tempat yang tepat”, dan kami tiba saat matahari mulai terbenam.Tujuan kami adalah Taman Hiburan di atas gunung.
Setelah membeli tiket dan melewati pintu masuk dengan memakai jaket boneka kelinci, kami disambut dengan fantasy spectacle yang memudar.Di belakang kedai dan loket tiket, ada komidi putar, dan ayunan berputar, aku bisa melihat atraksi seperti bianglala raksasa, pendulum, dan roller coaster.
Ada kebisingan dari atraksi di sekitarku, dan suara-suara teriakan melengking. Speaker besar di sekitar taman diputar tanpa batas dengan musik big band ceria, dan aku mendengar suara photoplayer tua di antara atraksi itu.
Meskipun hari itu hujan turun, ada banyak orang. Pengunjungnya sekitar setengah-setengah antara keluarga dan pasangan.Kiriko melihat semuanya dengan nostalgia, memegang tanganku.
Aku juga berjalan melewati taman hiburan yang pasti tidak pernah aku kunjungi sebelumnya dengan rasa keakraban.
Mungkin aku pernah kemari, pikirku.Dia berhenti di depan kincir ria.Setelah membeli tiket yang kami butuhkan dari mesin otomatis, kami naik gondola.
Saat kami melihat ke bawah ke taman, salah satu lampu yang bersinar di kegelapan mulai padam. Aku pikir itu adalah lampu di dekat air mancur.Itu baru permulaan; meskipun sudah jelas belum wakunya tutup, lampu terus padam satu per satu.
Taman itu menghilang. Dan pada saat yang sama, aku merasakan sesuatu yang hilang di dalam diriku perlahan kembali.Sihirnya memudar, sadarku.
Penundaan kecelakaan itu berakhir, dan pada saat yang sama saat kematian datang ke Kiriko, semua yang dia tunda akan kembali normal.Hampir semua lampu padam.
Taman hiburan yang tadinya hiruk pikuk, sekarang menjadi lautan tinta hitam. Saat gondola mencapai puncak, seluruh ingatanku kembali.
Outline
Endingnya begitu ya…? Yah, tapi lebih realistis sih.
Masalahnya kenapa kiriko masih SMA sedangkan si MC udah kuliah?
Btw makasih min atas kerja kerasnya
lucky
Lanjutkeun mank….. mulai plot twistnya