Pain, Pain, Go Away - Chapter 6 Vol 1 Bahasa Indonesia
- Home
- Pain, Pain, Go Away
- Chapter 6 Vol 1 Bahasa Indonesia - Rasa Sakit, Rasa Sakit, Pergilah
Bab 6 : Rasa Sakit, Rasa Sakit, Pergilah
Translator: Kaon Nekono
Awan tipis yang menyelubungi langit bagaikan sayap burung dara raksasa. Menyeberangi jembatan melengkung di atas sungai besar yang gelap dan berlumpur karena hujan semalam, kami menuruni jalanan kecil di sepanjang sawah yang dengan damainya bergemerlap kuning keemasan.
Hanya beberapa menit setelah jalan kecil itu menyatu dengan jalan utama, sebuah kota kecil terlihat. Jajaran toko yang sangat familiar diurut dengan familiar, bagai ditempatkan dengan stempel.
Kami menghentikan mobil di tempat parkir sebuah toko roti kecil dan keluar untuk meregang kuat. Angin musim gugur berhembus dan mengelitiki hidungku dengan aroma yang tajam.
Keluar dari tempat duduk penumpang, rambut hitam gadis itu berkibar, menunjukkan luka lama sekitar lima sentimeter dari ujung mata kirinya ke bawah.
Lukanya terlihat dalam, dan lurus, bagai disayat dengan silet. Ia dengan biasa menutupinya dengan tangan agar aku tidak bisa melihatnya.
Dia tidak menawarkan penjelasan apapun, tetapi aku punya kecurigaan kecil jika luka itu disebabkan oleh laki-laki yang akan jadi korban ketiganya.
Sayatan di telapak tangan, luka bakar di tangan dan punggung, sayatan di paha, sayatan di wajah. Luka itu ada di sekujur tubuhnya, pikirku.
Aku hampir berpikir jika ada sesuatu di gadis itu yang membuat orang lain kasar padanya. Bahkan antara kekerasan biasa dan penganiayaan, jumlah pasti lukanya terlihat aneh.
Seperti bentuk batu tertentu yang membuatmu ingin menendangnya, seperti bentuk tetesan es tertentu yang membuatmu ingin memecahkannya dari tempatnya, seperti jenis mahkota bunga tertentu yang membuatmu ingin memetiknya satu persatu… Ada hal di dunia yang, tak peduli betapa kejamnya itu, kau hanya merasa ingin menghancurkannya.
Mungkin sama dengan gadis itu, pikirku. Hal itu bahkan bisa menjelaskan dorongan mendadakku ingin menyerangnya semalam.
Tetapi aku menggelengkan kepalaku. Itu hanya alasan egois seorang penyerang. Sebuah gagasan yang menuding kesalah terbesar adalah gadis itu. Hal itu tentu saja tidak benar.
Tidak peduli hal apa yang ada di dirinya, itu bukanlah alasan untuk melukainya.
Kami membeli croissant keju yang baru matang, pai apel, sandwich tomat, dan kopi untuk kami berdua, lalu makan dalam diam di teras.
Beberapa burung mengelilingi kaki kami karena remah roti yang kami jatuhkan. Di seberang jalan, anak-anak bermain sepak bola di lapangan. Sebuah pohon besar di tengah memberikan bayangan panjang di halaman rumput-yang tidak terlalu-hijau.
Pria empat puluh tahunan mengenakan topi abu-abu keluar dari toko dan tersenyum pada kami. Ia berambut pendek, struktur wajah yang tegas, dan kumis yang dipotong-rapi. Lencana di dadanya bertulis “Pemilik.”
“Ingin isi ulang kopi?”
Kami setuju, dan si pemilik toko roti mengisi minuman kami dengan sebuah ceret kopi.
“Darimana asalmu?”, ia bertanya dengan baik. Aku memberitahunya nama kotaku.
“Kenapa, kotamu cukup jauh dari sini, kan? …Kalau begitu aku bertaruh kau pasti kemari untuk melihat parade kostum, kan? Oh, atau kau juga ikut?”
“parade kostum?”, aku mengulangi perkataannya. “Apa ada hal seperti itu disini?”
“Ah, jadi kau bahkan tidak tahu? Beruntungnya kau. Parade itu pantas untuk dilihat. Wajib-dilihat, nyatanya! Ratusan orang berkostum berarak-arak sepanjang distrik perbelanjaan.”
“Oh, jadi itu parade Halloween?”, sadarku, melihat Atlantic Giant- sejenis labu raksasa – di pojok plaza.
“Benar sekali. Acara ini baru dimulai sekitar tiga atau empat tahun lalu, tetapi semakin populer tiap tahunya. Aku terkejut banyak orang menyukai kostum, aku juga. Mungkin semua orang punya keinginan untuk berubah menjadi sesuatu lain yang tidak bisa mereka tunjukkan. Setelah sekian lama, kau akan bosan menjadi diri sendiri sepanjang waktu. Siapa tahu, mungkin semua orang mengenakan kostum aneh karena mereka punya kecenderungan untuk merusak. …Jujur saja, aku juga terkadang ingin ikut, tapi aku tidak bisa nekat begitu saja.”
Setelah komentar setengah-berfilosofi itu, si pemilik toko roti melihat ke wajah kami lagi dan bertanya pada gadis itu dengan rasa penasaran tinggi, “Katakan, apa hubungan kalian berdua?”
Ia menatapku, berharap aku akan menjawab untuknya.
“Hubungan kami? Coba tebak.”
Ia menggosok kumisnya untuk berpikir. “Seorang nona muda dan pelayannya?”
Perbandingan yang menarik, sambutku bangga. Jauh lebih akurat daripada “saudara” atau “kekasih” yang kuduga, juga.
Setelah membayar kopi, kami meninggalkan toko roti.
Mengikuti arahan gadis itu – “belok kanan,” “lurus sebentar,” “…setelah itu belok kiri” – kami sampai di apartemen korban balas dendam ketiga saat matahari terbenam.
Matahari terbenam pukul lima sore mewarnai kota bagai film yang buram setelah bertahun-tahun lamanya.
Tidak ada ruang terbuka di apartemen itu, dan tidak ada tempat dekat untuk kami memarkirkan mobil, jadi kami dengan enggan memarkirkan mobil di tempat parkir taman untuk olahraga.
Suara kaku orang berlatih alto sax berasal dari seberang sungai.
Mungkin seorang anggota band dari SMP atau SMA lokal.
“Aku mendapat luka ini ketika musim dingin kelas dua SMP,”kata gadis itu, yang pada akhirnya membicarakan tentang lukanya. “saat itu ketika pelajaran skating sekali setahun. Salah satu anak nakal yang ada di SMP manapun pura-pura kehilangan keseimbangan dan sengaja menabrak kakiku, hingga aku terjatuh. Parahnya, ia lalu menendang wajahku dengan bagian dari sepatu skate. Aku bertaruh dia hanya bermaksud melakukannya untuk sedikit mempermalukanku. Tapi sepatu skate sangat mudah menyayat bahkan jari yang bersarung tangan. Jadi gelanggang es berubah merah karena darahku.”
Ia berhenti disitu. Aku menunggunya untuk melanjutkan.
“Awalnya, laki-laki itu bersikeras mengatakan aku tersandung, terjatuh, dan terluka karena salahku sendiri. Tapi siapapun bisa tahu itu bukan luka yang kau dapat hanya dengan jatuh di es. Beberapa hari berselang, ia akhirnya mengaku bahwa ia pelakunya, walau hal itu disimpulkan sebagai kecelakaan. Bahkan walau ia jelas menendang wajahku dengan niat, dan banyak siswa melihatnya melakukannya. Orang tua laki-laki itu datang meminta maaf dan membayarku sebagai ganti rugi, tapi laki-laki yang menyebabkan luka permanen ini tidak datang.”
“Kuharap aku membawa sepatu skate,”komentarku malas. “Akankah baik jika memberikan dua atau tiga “kecelakaan” padanya.”
“Benar sekali. …Ya, gunting juga tak apa.” Aku merasa ia tersenyum. “Aku percaya dia akan akan jadi lebih kuat dari yang lain, jadi aku akan memintamu menemaniku dari awal.”
“Baiklah.”
Meyakinkan diri jika ia sudah menyembunyikan gunting jahit di lengan blusnya, kami meninggalkan mobil.
Menaiki tangga-alumunium apartemen, yang berkarat coklat-kemerahan setelah kira-kira tiga puluh tahun, kami berdiri di depan kamar laki-laki, yang setelah kelulusan SMP, gagal mendapat pekerjaan.
Gadis itu menekan tombol interkom dengan jarinya.
Sekitar lima detik, kami mendengar suara langkah kaki, gagang pintu diputar, dan pintu perlahan terbuka.
Aku membuat kontak mata dengan laki-laki yang keluar.
Mata kosong. Wajah yang sangat merah. Rambut terlalu panjang. Pipi cekung. Kumis yang tidak dipotong. Tubuh tulang kulit.
Ia mengingatkanku pada seseorang, pikirku, sesaat kemudian aku sadar jika seseorang itu adalah aku. Dan tidak hanya penampilan, tapi kurangnya kekuatan juga.
“Yo, Akizuki,” katanya pada si gadis.
Suaranya serak. Dan untuk pertama kali, aku tahu jika nama keluarga gadis itu adalah Akizuki.
Dia sepertinya tidak terlihat terkejut dengan tamu mendadaknya. Ia melihat ke wajah gadis itu, membalikkan pandangan dari lukanya, dan terlihat sedih.
“Jadi jika kau disini, Akizuki,”awalinya, “kutebak aku yang akan kau bunuh selanjutnya?”
Ia dan aku saling memandang.
“Jangan khawatir, aku tidak akan melawan,”lanjutnya. “tapi sebelumnya aku punya sesuatu untuk kukatakan padamu. Masuklah. Aku tidak akan membuatmu berlama-lama.”
Ia membalikkan punggungnya pada kami tanpa menunggu respon, dan kembali ke kamarnya meninggalkan kami dengan banyak pertanyaan.
“Bagaimana sekarang?”,tanyaku mencari arahan.
Gadis itu khawatir akan situasi yang diluar perkiraan itu, dan dengan gugup menggenggam gunting di lengan blusnya.
Akhirnya, rasa penasaran menang.
“Kita belum bisa melakukan sesuatu padanya. Kita akan mendengar apa yang ia ingin katakan.”jeda gadis itu. “Tidak akan terlambat membunuhnya nanti.”
Tetapi satu setengah jam kemudian, gadis itu akan sadar betapa naïf penilaiannya. Mendengar apa yang ingin ia katakan? Tidak akan terlambat membunuhnya nanti?
Ia hanya punya sedikit pemahaman akan bahaya yang menanti. Kami seharusnya membunuhnya secepat yang kami bisa.
Termasuk ayahnya, gadis itu telah sukses di tiga aksi balas dendamnya sejauh ini. Kurasa jejak rekam kerjanya itu membuatnya bangga, dan jadi ceroboh setelahnya.
Balas dendam itu mudah, dan jika aku merasakannya, aku bisa membunuh seseorang – itulah bagaimana cara kami berpikir.
———-
Melewati dapur dengan saringannya yang bau, kami membuka pintu ruang tamu. Cahaya matahari dari barat menyilaukan mata kami.
Sepanjang dinding dari ruang 100-meter-persegi ada piano elektrik, dan laki-laki itu duduk membelakangi di tempat duduk di depan piano.
Di samping piano ada meja sederhana dengan radio transistor tua dan computer besar di atasnya. Di sisi lain sebuah ampli pignose dan telecaster hijau-peppermint dengan logo yang hampir terlepas.
Jadi sepertinya dia menyukai musik, walau aku ragu ia bekerja di dalamnya. Aku tidak punya bukti, bisa dibilang begitu, tapi orang yang menjiwai musik sepertinya punya aura yang berbeda dari diri mereka. Tapi laki-laki ini tidak mempunyainya.
“Duduklah dimanapun,”katanya. Aku memilih kursi putar, dan gadis itu duduk di bangku tanpa sandaran.
Bagai menggantikan posisi kami, laki-laki itu berdiri di depan kami. Ia mengambil ancang-ancang seperti akan melakukan sesuatu, lalu mengambil beberapa langkah mundur dan duduk dengan kaki disilangkan di lantai.
“Maaf,”katanya, meletakkan tangannya di lantai dan membungkukkan kepalanya.
“Sedikit banyak, aku lega. Hei, Akizuki, aku tahu kau mungkin tidak mempercayaiku, tapi – sejak hari aku melukaimu, aku selalu takut, kau tahu, suatu hari kau akan datang untuk balas dendam. Aku tidak akan pernah lupa wajah berdarah, penuh kebencian saat kau melihatku di gelanggang es itu.
Ya, gadis ini pasti akan kembali untuk membunuhku suatu hari, pikirku.”
Mengambil waktu sejenak untuk melihat ekspresi gadis itu, ia kembali meletakkan dahinya di lantai.
“Dan sekarang kau disini, Akizuki. Perasaan burukku menjadi kenyataan. Kau mungkin akan membunuhku sekarang. Tapi dengan begitu aku tidak perlu takut besok. Jadi juga tidak terlalu buruk.”
Gadis itu melihat belakang kepalanya dengan dingin. “apa itu semua yang ingin kau katakan?”
“Ya, itu saja,”jawab pria itu, masih dengan posisi meminta maaf.
“Kalau begitu tidak keberatan aku membunuhmu sekarang?”
“…Ya, tunggu, tunggu dulu.” Ia menaikkan pandangan dan berdiri. Dari reaksinya, kupikir dia laki-laki yang berani, tapi ternyata dia tidak tahu kapan harus menyerah. “Jujur, aku belum benar-benar siap. Dan aku yakin kau ingin tahu bagaimana aku memperkirakan kedatanganmu, Akizuki.”
“Karena namaku keluar di Koran sebagai tersangka?”, gadis itu segera mengiranya.
“Bukan. Semua yang orang beritakan hanya tentang kakakmu dan Aihachi yang ditusuk.”
Jadi Aihachi adalah nama perempuan yang bekerja di restoran.
“Dan bukankah itu sudah memberi cukup informasi?”, Tanya gadis itu. “seseorang di kelas pasti bisa langsung menebak jika aku adalah pelakunya melihat dua nama itu. Dan kau pikir jika pembunuh itu sama dengan yang kau pikirkan, dia selanjutnya sangat mungkin untuk mendatangimu. Benar begitu?”
“…Ya, baiklah, kau benar.” Pandangan laki-laki itu menyamping.
“kalau begitu pembicaraan ini selesai. Kau bilang tidak akan melawan, kan?”
“Tidak, aku tidak akan melakukaknnya. Tapi… oke, baiklah, dengan satu syarat.”
“Syarat?”, ulangku. Hal ini mungkin akan merepotkan. Apakah bijak terus mengikuti laki-laki ini?
Tetapi gadis itu tidak mencoba menghentikan hal ini. Ia malah tertarik dengan apa yang ia katakan.
“Aku punya permintaan tentang bagaimana caraku akan dibunuh,” kata pria itu, menaikkan jari telunjukanya. “aku akan memberitahukannya. Tapi… biarkan aku membuatkan kalian kopi dulu. Aku tidak pernah semakin baik dalam memainkan alat musik, tapi aku semakin baik dalam membuat kopi. Aneh, kan?”
Laki-laki itu berdiri dan berjalan ke dapur. Ia terlihat bungkuk. Walau, aku mungkin terlihat sama di posisinya.
Aku mengira-ngira apa maksudnya tentang “bagaimana ia akan dibunuh.”
Apa dia dengan mudah membicarakan tentang cara membunuhnya? Atau apa dia sudah membayangkan pengaturan yang sedikit lebih bergaya untuk kematiannya?
Bagaimanapun, kami tidak punya kewajiban mendengarkannya. Tapi jika mengabulkan permintaan kecilnya berarti dia tidak akan melawan, mungkin tidak terlalu buruk juga, pikirku.
Aku mendengar suara air mengalir. Tidak terlalu lama, aroma manis berhembus.
“omong-omong, pria dengan kaca mata hitam, apa kau pengawal Akizuki?”, Tanya laki-laki itu dari dapur.
“Aku disini tidak untuk basa-basi. Cepat katakan maksudmu,” gertak gadis itu, tapi laki-laki itu tidak menanggapinya.
“Ya, apapun hubungan kalian, aku senang ada seseorang di luar sana mau menemani seorang pembunuh. Membuatku iri. Ya… ketika aku kecil, mereka mengatakannya padaku lagi dan lagi, “teman sejati akan menghentikanmu ketika kau akan melakukan hal yang salah.” Tapi aku tidak berpikir begitu. Apa yang harus kupercayai dari seseorang yang menelantarkan temannya untuk menjadi kawan hukum atau moral? Aku pikir teman yang lebih baik adalah ketika aku akan melakukan sesuatu yang buruk, dan mereka hanya bergabung denganku menjadi orang jahat tanpa beralasan.”
Laki-laki itu membawa dua gelas kopi dan menyerahkan satu pada si gadis, dan satu padaku. “Hati-hati, masih panas,”peringatnya.
Ketika aku mengambil gelas itu dengan tanganku, aku merasakan pukulan keras ke sisi kepalaku.
———-
Dunia berputar sembilan puluh derajat kesamping.
Aku pikir butuh beberapa menit sebelum aku sadar laki-laki itu memukulku. Sebegitu kuat pukulannya itu. Mungkin menggunakan sesuatu, dan tidak telanjang-tangan.
Aku mendengarkan ketika terbaring di lantai, tapi tidak bisa memikirkan informasi berarti dari suara yang kudengar. Mataku terbuka, tapi aku tidak bisa menggabungkan gambar yang kulihat.
Hal pertama yang kurasakan setelah kesadaranku mulai kembali bukanlah rasa sakit dipukul, tetapi panas kopi yang tumpah di betisku.
Awalnya, rasa sakit itu tidak bisa dihitung sebagai rasa sakit, tetapi sebagai perasaan tidak nyaman yang misterius. Dengan penundaan, sisi kepalaku akhirnya terasa seperti pecah. Aku meletakkan tangan kiriku di daerah itu dan merasakan sensasi hangat.
Aku mencoba berdiri, tetapi kakiku tidak mau mendengarkan. Ia sudah merencanakan hal ini sejak awal, sadarku. Laki-laki ini memang waspada, melihat saat ketika kami lengah.
Aku mencoba untuk berjaga, tetapi membuat diriku terpancing saat ia memberikanku kopi. Aku mengutuk kebodohanku sendiri.
Kaca mata hitamku terlepas, mungkin ketika aku dipukul. Aku perlahan-lahan bisa memfokuskan penglihatanku dan menyatukan gambar acak. Lalu, akhirnya aku mengerti apa yang terjadi saat ini.
Laki-laki itu berbicara dengan mata tajam. “aku selalu mengincarmu sejak SMP, Akizuki. Tidak pernah terpikir aku mendapat kesempatan seperti ini. Kau datang seperti berdansa waltz tepat padaku, dan memberiku izin untuk membuat pertahanan-diri? Sekarang ini yang disebut mudah didapat, kawanku.”
Ia memegang tangan si gadis berlawanan dengan kepalanya dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya, menggenggam kerah dan melepas kancing atas blus gadis itu.
Ia menolak menyerah dan berusaha sekuat yang ia bisa. “berhenti melawan!”, teriaknya, memukul gadis itu tepat di mata. Dua kali. Tiga kali. Empat kali.
Aku akan membunuhnya, sumpahku.
Tetapi kakiku tidak setuju dengan niatku, dan aku terjatuh kembali ke lantai.
Ganti rugi dari kecenderunganku mengurung-diri. Enam bulan lalu, aku mungkin bisa bergerak setidaknya sedikit lebih dari ini.
Sebuah suara membuat laki-laki itu berpaling. Ia mengambil sesuatu dari titik butaku. Sebuah baton yang bisa dipanjangkan dengan kilauanhitam.
Jadi dengan itu dia memukulku. Membahas tentang kesiapan-dirinya.
Saat gadis itu mengambil kesempatan untuk mencoba dan meraih guntingnya, ia menodongkan baton itu di lutut si gadis. Suara benda tumpul. Sebuah teriakan pendek. Setelah memastikan si gadis tidak bergerak, ia berjalan menghampiriku.
Ia menginjakkan kakinya di tangan kananku yang mencoba untuk bangun. Jari tengah, atau jari manis, atau mungkin keduanya, membuat suara retakan-sumpit basah.
Dua kata “Au” mengisi kepalaku ratusan kali, dan aku tidak bisa bergerak hingga aku memproses mereka sekaligus. Keringat membanjiriku, aku meratap bagai anjing.
“Jangan mengganggu. Kami baru saja sampai di bagian terbaik.”
Dengan kata itu sebagai peringatan, laki-laki itu menggenggam batonnya dan memukulku. Kepala, leher, pundak, tangan, punggung, dada, rusuk, dimana-mana.
Tulangku retak setiap kali pukulan dilayangkan, dan keinginanku melawan perlahan mulai meninggalkanku.
Perlahan-lahan, aku bisa memproses rasa sakit itu secara objektif. Aku tidak merasak sakit, aku merasakan “sakit yang tubuhku rasakan.” Menjadikannya sebagai batalan tambahan, keinginan itu semakin jauh dariku.
Laki-laki itu melipat batonnya, meletakkannya di sabuknya, dan berjongkok perlahan, masih berdiri di tanganku yang terjepit. Ia sepertinya belum lelah melukaiku.
Aku merasakan sensasi tajam di ujung kelingkingku.
Saat ketika aku sadar apa maksudnya, keringatku menyucur bagai air terjun.
“Kita punya gunting yang tajam disini,”puji laki-laki itu.
Ia sepertinya dibakar rasa semangat. Sepertinya sulit memberikan rem pada kekerasannya.
Orang di situasi seperti ini tidak tahu ragu. Terlebih lagi, laki-laki yang menganggap posisi melakukan kekerasan sebagai pertahanan-dirinya. Jika dibutuhkan, ia bisa lepas dengan alasan itu.
“Apa ini yang rencananya kau gunakan untuk menusukku?”,tanyanya dengan nafas cepat.
Dengan kata itu, ia memberikan kekuatan di pegangannya. Mata guntingnya memotong daging kelingkingku.
Aku membayangkan rasa sakit yang akan datang setelah kulit luarnya dipotong.
Gambaran dari kelingkingku yang putus seperti ulat terbayang dibalik kelopak mataku.
Tubuh bagian bawahku kehilangan kekuatannya, bagai dijatuhkan dari tebing. Aku sangat takut.
“Tidak akan ada seorangpun yang mengira pembunuh punya satu dua jari untuk dipotong, kan?”
Kau mungkin benar, pikirku.
Segera setelahnya, ia memberikan seluruh kekuatannya ke pegangan gunting itu.
Suaranya begitu mengerikan. Rasa sakit mengalir ke otakku, dan tubuhku terasa seperti dipenuhi dengan aspal.
Aku berteriak. Aku setengah mati mencoba kabur, tapi kaki laki-laki itu tetap sebagai pijakan. Pandanganku memburam, setengah-dipenuhi kegelapan.
Kereta pikiranku berhenti.
Jariku lepas, pikirku. Tetapi kelingking itu masih ada di tanganku. Memikirkan jika tulang terlihat melalui luka di samping dan darah merah tuanya, mata gunting jahit itu tidak bisa memotongnya.
“Au, kukira tulang terlalu keras untuk gunting,”kata laki-laki itu sambil mendecakkan lidah.
Walau gadis itu menajamkan ujungnya dengan rajin, mungkin ia tidak memberikan perawatan semacam itu.
Ia memberikan kekuatan sekali lagi pada gunting itu, memotong sendi kedua kelingkingku. Aku merasakan mata gunting di tulangku.
Rasa sakit membius otakku. Tapi setidaknya rasa sakit ini bukan yang tidak aku tahu. Itu tidak menghentikan pikiranku.
Merapatkan gigiku, aku mengambil kunci mobil dari sakuku dan memosisikannya di titik tanganku keluar pertama.
Laki-laki itu berpikir telah menahan tangan dominanku. Dia tidak tahu jika aku kidal.
Aku menusukkan kunci itu dengan paksa ke kaki yang menahan tangan kananku. Kekuatannya bahkan mengejutkanku.
Laki-laki itu berteriak seperti binatang buas dan melompat mundur. Sebelum ia bisa meraih baton dari sabuknya, aku mengangkat mata kakinya dan melemparnya jatuh dari-keseimbangan.
Karena terjatuh, laki-laki itu merasakan sakit di belakang kepalanya. Ia tidak berdaya selama sekitar tiga detik. Sekarang ini kesempatanku.
Aku menarik nafas dalam. Untuk saat ini, aku harus menutup imajinasiku; itu adalah kunci untuk meninggalkan semua keraguanku.
Selama beberapa detik selanjutnya, aku tidak bisa membayangkan rasa sakit lawanku. Aku tidak bisa membayangkan penderitaannya. Aku tidak bisa membayangkan kemarahannya.
Aku duduk di atas laki-laki itu dan memukulnya cukup keras untuk mencopot gigi depannya. Aku terus memukul. Suara tulang yang terpisah dari kulit menggema di seluruh ruangan dengan ritme yang kutentukan.
Rasa sakit di kepala dan kelingking memberi tenaga kemarahanku. Pukulanku dipenuhi darah laki-laki itu. Aku perlahan-lahan kehilangan rasa di tangan yang kugunakan untuk memukulnya. Tapi lalu kenapa? Aku terus memukul.
Kuncinya tidak perlu ragu, kuncinya tidak perlu ragu, kuncinya tidak perlu ragu.
Akhirnya, laki-laki itu berhenti melawan. Aku benar-benar kehabisan nafas. Aku melepaskan pria itu dan pergi mengambil gunting di sampingnya, tetapi tangan kiriku mati rasa karena terus menggenggam erat. Aku membungkuk dan dengan lelah memegangnya dengan tangan kananku, tetapi jariku bergemetar terlalu banyak untuk mengambil sesuatu.
Sementara aku meraba-raba, laki-laki itu berdiri dan menendang punggungku, lalu menggenggam gunting itu.
Ajaibnya aku bisa menghindari baton yang dilayangku padaku di saat aku berbalik. Tetapi kehilangan keseimbangan, aku benar-benar tidak berdaya untuk serangan selanjutnya.
Laki-laki itu menendang perutku. Aku kehilangan nafasku, air liur menetes keluar dariku, dan saat aku melihat ke atas bersiap untuk serangan baton yang datang dalam beberapa detik, waktu berhenti.
Jadi begini rasanya.
Setelah jeda, laki-laki itu merosot ke lantai. Gadis itu memegang gunting berdarah dan melihatnya dengan tatapan kosong.
Ia dengan putus asa merangkak ke arahku, entah lari dari gadis itu atau meminta bantuanku. Gadis itu mencoba mengejar, tetapi terjatuh dan tersandung karena luka di lututnya. Tetapi ia melihat ke atas, mencoba tidak terkejut, dan merangkak mengejar tanpa menghiraukan laki-laki itu dengan tangannya.
Menggenggam gunting dengan kedua tangannya, ia menusukkannya ke punggung laki-laki itu dengan seluruh tenaganya.
Lagi, dan lagi, dan lagi.
———-
Sungguh keributan besar yang terjadi di kamar apartemen dengan dinding-membosankan itu. Aku tidak akan terkejut jika ada polisi muncul.
Tetapi aku dan gadis itu terbaring tidak bergerak di samping mayat laki-laki itu. Rasa sakit dan lemas kami bukanlah masalah. Yang lebih penting kami merasakan sensasi pencapaian dari “memenangkan pertarungan.” Luka dan kelelahan hanya langkah menuju pencapaian itu.
Kapan terakhir kali aku merasa begitu puas? Aku memutar balik ingatanku, tetapi walau aku mencari di sudut maupun celah, aku tidak menemukan pengalaman yang membuatku merasakan kemenangan seperti sekarang.
Rasa puas yang kurasa tentang pukulan sempurnaku saat semifinal di hari baseball ku hanyalah hal kecil dibanding sekarang.
Aku tidak merasakan secuilpun ketidakpedulian. Aku merasa seperti aku hidup.
“Kenapa kau tidak menundanya?”,tanyaku. “aku yakin berpikir jika kau akan menundanya segera setelah semua menjadi lebih buruk.”
“Karena aku tidak bisa benar-benar putus asa,”jawab gadis itu. “kalau hanya aku sendiri yang diserang, mungkin penundaannya akan aktif. Tapi karena kau disini, aku tidak bisa berhenti berharap kau mungkin bisa melakukan sesuatu.”
“Ya, memang. Aku melakukannya.”
“…Apa jarimu baik-baik saja?”, tanyanya, dengan suara yang sulit kudengar. Ia mungkin merasa bersalah tentang luka yang ada di kelingkingku dengan guntingnya.
“Tidak apa,” senyumku. “Luka ini hanya seperti goresan jika dibanding luka yang kau dapat.”
Walai aku mengatakannya, jujur saja, aku masih pusing karena rasa nyerinya. Melihat kelingking yang laki-laki itu coba potong hampir membuatku muntah. Semua terpotong gunting, bahkan lebih seperti sebuah… benda yang mirip-kelingking.
Oke, pikirku, memaksakan tubuh sakitku berdiri. Kami tidak bisa selamanya disini. Kami harus pergi.
Aku mengambil kaca mata hitamku dan memakainya, berhati-hati dengan rasa sakit di samping kepalaku.
Menawarkan pundakku pada gadis dengan luka di lututnya itu, kami meninggalkan apartemen.
Suasananya muram di luar, dan cukup dingin. Dibandingkan dengan kamar apartemen yang penuh darah, aroma udara segar seperti gunung bersalju.
Untungnya, tidak ada seorangpun melewati kami selama berjalan ke tempat parkir.
Memikirkan tentang bagaimana ketika aku kembali, aku mandi, mengobati lukaku, dan tidur lelap, aku mengambil kunci mobil dari saku dan memasukkannya ke silinder mobil.
Tetapi kuncinya berhenti di tengah jalan; kunci itu tidak bisa masuk semua.
Aku segera sadar mengapa. Ketika aku menusuk kunci ke kaki laki-laki itu, kuncinya mengenai tulang dan membengkok.
Aku mencoba memaksanya masuk, lalu mencoba meletakkannya di penahan roda dan menginjak untuk meluruskan bengkoknya, tetapi tidak berguna.
Gadis itu dan aku memakai baju penuh darah, dan memar dan luka yang mudah disadari diwajah kami. Jariku masih berdarah, dan gadis itu berlari dengan celana panjang hitamnya.
Satu-satunya harapan hanyalah handphone dan dompet di saku jaketku. Tapi kami tidak bisa menelfon taksi dengan pakaian seperti ini. Dan baju ganti kami ada di dalam bagasi mobil.
Aku menendang mobil dalam amarah. Mengigil karena sakit dan dingin, aku mencoba berpikir. Sebelum memikirkan hal lain, kami harus melakukan sesuatu tentang penampilan yang mencurigakan ini.
Aku tidak bisa meminta memar dan luka kami sembuh seketika, tapi setidaknya bisakah kami berganti baju? Tetapi dua irang dengan darah dan dipenuhi memar membeli pakaian di toko… kami jelas akan ditahan.
Kami tidak bisa membeli pakaian karena pakaian kami. Mencuri cucian dari rumah orang? Tidak, itu terlalu berisiko bahkan hanya untuk mendekati perumahan dengan penampilan seperti –
Aku mendengar musik dari kejauhan. Sebuah lagu yang mengerikan, namun juga ceria dan lucu.
Aku mengingat kata-kata owner toko roti.
“Ratusan orang mengenakan kostum berarak sepanjang distrik perbelanjaan.”
Malam ini ada parade Halloween.
Aku mengulurkan tangan ke wajah gadis itu, dan menggunakan darah dari kelingkingku, aku menggambar lengkungan merah di pipinya.
Ia segera menebak maksudku. Ia merobek lengan blusnya, dan menggunakan guntingnya untuk memotong hem di pundak dan roknya dengan acak-acakan. Aku juga menggunakan gunting itu untuk memotong kerah dan jeansku.
Kami merubah diri menjadi zombie.
Kami melihat satu sama lain dengan puas. Tepat seperti yang kami harapkan. Dengan tambahan acak-acaknya kami, memar dan bahkan darah yang bisa dianggap sebagai riasan murah.
Apa yang paling penting sekarang adalah ekspresi kami.
“Jadi jika seseorang mendekatimu, buatlah wajah yang mengatakan, “Ya tentu saja ku terlihat aneh.”” kataku memalsukan senyuman sebagai contoh.
“…Kalau begitu, seperti ini?” ia mengangkat ujung mulutnya untuk mengendalikan senyumnya.
Reaksiku datang terlambat, karena sesaat, aku merasakan ilusi jika ia sebenarnya tersenyum padaku. “Benar, sempurna,”kataku.
Kami mulai menuruni gang menuju jalan utama. Suara music perlahan mulai terdengar jelas. Suara semakin menumpuk tanpa henti saat kami mendekat, akhirnya terdengar sangat keras hingga terasa di perutku.
Kami bisa mendengar petunjuk disini dan teriakan dari pengeras suara.
Aroma manis permen berhembus.
Hal pertama yang menarik perhatianku saat kami meninggalkan gang adalah seorang pria tinggi, berwajah-pucat. Berlawanan dengan warna kulitnya, bibirnya berwarna merah terang. Pipinya dirobek, dan gusinya melebar. Matanya menyangkut di lekukan mata hitam dan memandangi kami dari jarak antara rambut keritingnya.
Sungguh kostum yang dibuat-sangat bagus. Pria bermulut-lebar sepertinya memikirkan hal yang sama saat melihat kami.
Ia tersenyum pada kami dan membuka mulutnya, membuatnya jelas jika gigi dan gusinya dilukis dengan hati-hati di pipinya. Aku tersenyum balik.
Seketika kami merasa percaya diri, dan mulai berjalan dengan bangga menuruni jalanan. Banyak orang memberi kami pandangan yang jelas, tetapi mereka hanya melihat karena “kostum” kami.
Ada banyak suara meneriakkan pujian dan rasa kagum disana sini. Begitu asli, kata mereka. Ya, tentu saja. Karena ini luka asli, memar asli, darah asli. Gadis itu menyeret kakinya yang sakit sepanjang jalan, tetapi bahkan hal itu hanya terlihat seperti akting bagi mereka.
Parade kostum tiba di jalan utama. Trotoar dibajiri penonton; membuat jarak beberapa meter terlihat jauh, dan mereka hanya bisa melihat sebagian parade.
Sekarang, aku menyadari sebuah kelompok sekitar dua puluhan orang mengenakan kostum yang berhubungan dengan film horror.
Drakula, Jack the Ripper, Boogeyman, Frankenstein, Jason, Sweeney Todd, Scissorhands, Si kembar dari The Shining… Mereka mengenakan kostum film lama dan baru.
Karena riasan mereka, aku tidak bisa menebak usia pastinya, tapi menurutku kebanyakan sekitar dua puluh dan tiga puluh tahunan. Sementara ada banyak kostum yang cukup akurat terlihat seperti nyata, yang lain terlihat seperti menghemat bahan untuk kostumnya.
Sepanjang tepi jalan terbentang jajaran jack-o’-lanterns tanpa akhir, dengan mata dan mulut yang memancar karena lilin di dalamanya. Jaring seperti sarang laba-laba digantung di antara pepohonan, dan beberapa laba-laba raksasa bergelantungan disana juga.
Setengah anak-anak di jalan membawa balon oranye, mengenakan topi bajak laut dan jubah.
“Hei!”
Berbalik karena pundakku ditepuk, aku melihat pria dengan wajah dibalut perban.
Satu-satunya alasan aku tidak segera berlari karena aku merasa itu bukan suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya.
Laki-laki yang dibalut perban itu menunjukkan wajahnya. Ia adalah owner toko roti, yang memberi tahu kami tentang parade Halloween.
“Baiklah, kau sungguh tidak baik. Kau harusnya bilang padaku kalau kau akan berpartisipasi,”godanya, membuatku sedikit marah.
“Bukankah kau yang bilang pada kami jika kau tidak akan ikut?”
“Ya,” ia tertawa dengan malu. “Kau sudah akan meninggalkan parade?”
“Ya. Kau?”
“Aku sedang menikmati waktuku menjadi pusat perhatian. Aku terkagum karena semua orang ini. Aku sudah terinjak lima kali.”
“Apa ada penonton sebanyak ini tahun lalu?”
“Tidak, ini benar-benar satu langkah ke depan. Bahkan warga lokal sulit mempercayainya.”
“Aku selalu berpikir halloween tidak dirayakan terlalu meriah di Jepang, tetapi…”Aku melihat sekeliling. “Melihat semua ini, aku pikir masalahnya bukan itu.”
“Orang disini sangat suka berkomunikasi tanpa identitas, kau tahu. Acara ini sangat cocok dengan keadaan itu.”
“Em, apa ada toko pakaian-bekas disekitar sini?”, Tanya gadis itu mencela.”aku tidak sengaja meninggalkan tas dan barang lainnya di kereta. Aku tidak bisa pulang berpakaian seperti ini, jadi aku harus membeli sesuatu yang lain untuk dipakai. Canggung rasanya jika memegang pakaian-baru dengan tanganku yang-dicat, bahkan jika catnya kering, jadi aku lebih suka toko barang-bekas…”
“Sayang sekali,”katanya, dan memikirkan sesuatu sembari memainkan perbannya. “Sebuah toko baju lama… kupikir ada satu di ujung lain arcade.” Ia menunjuk di belakang kami.
Gadis itu menundukkan kepalanya dan menarik lengan bajuku.
“Apa kau terburu-buru?”
“Ya, seseorang menunggu kami,”jawabku.
“Oh begitu. Sayang sekali, padahal aku ingin berbicara sedikit lebih lama lagi…”
Pemilik toko roti itu mengulurkan tangan kanannya yang diperban untuk berjabat tangan. Memikirkan lukaku, aku ragu, tetapi dengan tegas menggenggam tangannya.
Tak lama, ia dengan kasar menggenggam tanganku, termasuk kelingking.
Darah merembes melalui perban. Aku menahan rasa sakitku dan pura-pura tersenyum.
Gadis itu dengan biasa juga menjabat tangannya.
Arcade itu cukup ramai, dan butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke toko pakaian sekitar belasan meter jauhnya.
Tempat itu kecil dengan lantai yang berdecit setiap kali melangkah. Kami segera memilih pakaian, meletakkannya di keranjang, dan pergi ke kasir. Gadis itu tidak menderita karena hal itu lagi kali ini.
Pegawai toko itu mengenakan topeng putih sepertinya digunakan untuk pelanggan seperti kami, dan bertanya “apa kau keberatan jika aku mengambil foto?”
Aku membuat alasan untuk menolaknya dan mengeluarkan dompetku, dan ia berkata “Oh, setengah-harga untuk Halloween.” Sebuah diskon untuk pelanggan berkostum, sepertinya.
Kami ingin langsung ganti baju, tapi sebelumnya kami harus membersihkan darah di tubuh kami.
Memikirkan langkah terbaik yang bisa menjadi toilet multi-fungsi, kami mencari bangunan yang disewa dan toko serba ada, tapi semuanya dipakai kemanapun kami pergi. Orang-orang mungkin menggunakannya untuk berganti pakaian dan kehabisan pakaian.
Lelah berjalan, aku berpikir jika kita bisa membeli handuk dan perlahan membersihkan tubuh kami dengan handuk itu. Tetapi ketika aku mendongak, di antara bangunan, aku melihat sebuah menara jam tinggi di atap sebuah SMP.
Melompati pagar, kami menyusup ke gedung sekolah. Sebuah tempat cuci yang tidak digunakan di daerah sekitar belakang gedung, dikelilingi pohon mati dan tanpa pencahayaan, tempat yang sempurna untuk diam-diam membersihkan diri kami. Tempat yang digunakan sebagai tempat penyimpanan, dengan beberapa bekas dari festival budaya tertata di sekitarnya. Panggung untuk pentas, kostum kartun, banner, tenda, hal semacam itu.
Aku menggulung pakaianku dan membasahi tangan dan kakiku dengan air-dingin mengalir yang membuat kaku. Aku mengambil sabur aroma-lemon di dekat keran, membusakannya, dan mengusapnya di darah itu.
Darah kering tidak akan bersih dengan mudah, tapi aku tetap dengan sabar mencucinya, dan segera mencapai batas tertentu dari kebersihannya. Gelembung sabun meresap ke luka di kelingkingku.
Melihat kesamping, aku melihat gadis itu melepas blusnya dengan punggung menghadap ke arahku. Pundak kecil dengan luka bakarnya dibiarkan terlihat. Aku segera menghadapkan punggungku juga dan melepas kausku.
Gigiku merapat karena dinginnya penggung basahku terkena angin malam. Dengan susah payah membuat sabun itu berbusa, aku membersihkan leher dan dadaku, dan mengenakan kaus dari toko pakaian yang berbau seperti-pohon.
Masalah terakhir adalah rambut. Darah mengotori rambut hitam panjang gadis itu, dan air dingin tidak akan membersihkannya. Saat aku mempertimbangkan apa yang bisa kami lakukan, gadis itu mengambil gunting dari tasnya.
Ketika aku memikirkan yang ia tidak pikirkan, gadis itu memotong rambut panjang indahnya. Sepertinya ia memotong sekitar 20 sentimeter rambutnya sekali potong. Ia melempar rambut yang jatuh di tangannya ke angin, dan segera menghilang dalam kegelapan.
Waktu berlalu dan kamipun selesai berganti baju, kami kedinginan hingga ke intinya. Gadis itu mengubur wajahnya di kerah jaket rajut, dan aku menggigil di jaket duck neck yang diritsleting hingga atas, kami berjalan ke stasiun.
Di jalan, gadis itu menyerah dengan rasa sakit di kakinya, jadi aku berjalan sembari menggendong gadis itu di punggungku sisa perjalanan.
Sembari mencoba membeli tiket ditengah-tengah kerumunan, aku mendengar pengumuman kereta tiba.
Berjalan secepatnya menyeberangi tangga jembatan penyeberangan, kami menaiki kereta yang memancarkan cahaya menyilaukan.
Setelah turun 20 menit kemudian dan membeli tiket di stasiun itu, kami berganti menaiki shinkasen. Setelah duduk sekitar dua jam, kami harus turun dan mengambil kereta biasa lagi.
Saat ini, aku mencapai titik batas kelelahan. Tidak sampai tiga puluh menit kami tiba di tempat duduk, aku tertidur.
Aku merasakan beban di pundakku. Gadis itu menyandar padaku saat ia tertidur. Aku merasakan ritme lembut nafasnya, dan aroma samar yang manis. Aneh, nostalgia rasanya.
Perjalanan masih jauh dari tujuan kami, dan tidak ada gunanya memaksanya bangun. Aku akan mencoba membuatnya tidak merasa canggung saat ia terbangun, putusku, menutup mataku dan berpura-pura tidur.
Sembari bertahan hanya selangkah dari rasa kantuk, aku mulai mendengar nama stasiun yang familiar disebut.
“Kita hampir sampai,”bisikku ke telinganya, dan masih menyandar padaku dengan mata terpejam, gadis itu segera menjawab, “Aku tahu.”
Berapa lama dia terbangun?
Akhirnya, ia terus menyandar padaku hingga aku berdiri dari tempat dudukku untuk turun.
———-
Kami tiba di apartemen setelah pukul 10. Gadis itu mandi terlebih dulu, mengenakan parka yang juga menjadi pakaian tidurnya, menelan analgesik, dan tidur di kasur dengan mengenakan tudung parka.
Aku segera berganti dengan piama juga, mengoleskan salep di lukaku dan memerbannya. Aku menelan analgesik dengan air – satu tablet lebih dari yang dianjurkan – dan berbaring di sofa.
Sebuah suara membangunkanku di malam hari.
Dalam gelap, gadis itu memeluk kedua lututnya di atas kasur.
“Kau tidak bisa tidur?”,tanyaku
“Seperti yang kau lihat, tidak.”
“Lutumu masih sakit?”
“Ya, tentu saja, tapi itu bukan masalah utamanya. …Em… aku yakin kau pasti sadar sekarang, tapi aku pengecut,” gumamnya,
mengubur wajah di lututnya. “ketika aku menutup mata, aku melihat laki-laki itu dibalik kelopak mataku. Laki-laki bersimbah-darah itu menendang dan memukuliku. Aku terlalu takut untuk tidur. …Sungguh aneh bukan? Aku seorang pembunuh.”
Aku mencari kalimat yang tepat. Kalimat ajaib yang bisa menenangkan badai kegelisahan dan kesedihan dan bisa membuatnya tidur dengan tenang. Jika saja ada kalimat seperti itu.
Tapi aku benar-benar tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. Aku tidak punya pengalaman menghibur seseorang.
Waktu habis. Kalimat yang sangat ceroboh keluar dari mulutku.
“Bagaimana kalau kau minum dulu?”
Gadis itu melihatku dalam diam. “…Tidak terlalu buruk,”jawabnya, melepas tudungnya.
Aku tahu jika yang terbaik adalah tidak mencampur analgesik dan minuman beralkohol, dan alkohol itu dan luka juga bukan campuran yang bagus. Tapi aku tidak tahu cara lain untuk meringankan rasa sakit gadis itu. Aku hanya bisa percaya sistem-penekan-saraf-pusat yang dimiliki alkohol lebih daripada hiburan dariku, yang kekurangan pengalaman hidup dan rasa simpati untuk orang lain.
Aku membuat dua gelas campuran susu hangat, brendi, dan madu di kompor. Aku biasa membuatnya untuk diriku sendiri di malam musim dingin ketika aku tidak bisa tidur.
Saat aku pergi ke ruang tamu untuk memberi gadis itu gelasnya, aku mengingat bagaimana laki-laki itu menurunkan penjagaanku dengan cara yang sama.
“Enak,”gumamnya setelah satu seruput. “aku tidak punya ingatan baik dengan alkohol, tapi aku suka ini.”
Segera meminum gelasnya, aku menawarkan milikku, dan dengan senang ia meminumnya juga.
Satu-satunya cahaya adalah lampur baca di apan unjung tempat tidur, jadi aku tidak terlalu sadar jika wajah gadis itu memerah karena mabuk.
Duduk bersama di samping kasur, aku hanya menatap rakbuku ketika gadis itu berbicara agak tidak jelas.
“kau tidak mengerti sama sekali.”
“Ya, kupikir kau mungkin benar,”setujuku. Memang itu kenyataannya: aku tidak tahu apa yang ia katakan sama sekali.
“…Kupikir ini saat yang tepat untukmu mencetak beberapa skor,”katanya, melihat ke lututnya. “karena aku juga butuh dihibur, sekali.”
“Kau tahu, aku baru saja memikirkannya,”kataku “Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana melakukannya. Sebagai seseorang yang membunuhmu, apapun yang kukatakan tidak akan membuatmu nyaman. Nyatanya, kau mungkin hanya mendengarnya sebagai rasa jijik atau sindiran.”
Gadis itu berdiri dan meletakkan gelasnya di meja, perlahan mengelus gelas itu dengan jari telunjuknya, dan kembali duduk di kasur.
“Kalau begitu aku akan melupakan tentang kecelakaan itu sementara, dan selama itu, kau bisa menambah skormu.”
Sepertinya ia sebenarnya memang menginginkan hiburan dariku.
Aku memutuskan untuk mengambil risiko yang besar.
“Apa tidak apa jika aku melakukannya dengan cara yang agak aneh?”
“Tentu, lakukan sesukamu.”
“Bisakah kau berjanji tidak akan bergerak hingga aku selesai melakukannya?”
“Aku janji.”
“kau tidak akan menyesalinya?”
“…Mungkin.”
Aku duduk dilutuku di depan gadis itu dan melihat luka di lututnya yang terlihat menyakitkan. Luka yang awalnya merah dan bengkak kini berubah warna menjadi keunguan.
Menyentuhkan ujung jari tepat di sebelah luka, tubuhnya melonjak pelan.
Aku melihat matanya yang terwarnai dengan kehati-hatian. Sekarang, ia akan fokus hanya pada setiap gerakan tanganku.
Suasana itu perlahan-lahan bisa teratasi. Dengan hati-hati menyentuh lukanya, aku perlahan meletakkan jariku satu persatu di luka itu, akhirnya menutupi luka itu sepenuhnya dengan telapak tanganku.
Sekarang ini adalah situasi dimana aku, hanya dengan sedikit tekanan, bisa mengirim rasa sakit yang sangat dari lututnya. Pilihan itu jelas punya keuntungan sendiri.
Walau gadis itu ketakutan, ia tetap memenuhi janjinya untuk tidak bergerak. Ia tetap menutup mulutnya dan melihat segalanya terjadi.
Baginya, jelas sekali saat ini adalah yang paling menjengkelkan. Aku tega meperlamanya untuk sementara waktu.
Ketika suasananya mencapai titik maksimum, aku mengatakan kalimat itu.
“Rasa sakit, rasa sakit, pergilah.”
Aku menyingkirkan tanganku dari lutunya dan melemparnya ke jendela.
Aku melakukannya dengan semua keseriusan yang bisa kukumpulkan.
Gadis itu menatapku dalam ketidak percayaan. Aku pikir aku gagal.
Tapi setelah diam beberapa saat, ia mulai tertawa.
“Apa-apaan itu? Sungguh konyol,”katnya, gagal mempertahankan wajah tegasnya. Tidak ada ejekan dalam tawanya. Ia tertawa dengan jujur, bahagia, dari lubuk hatinya. “aku bukan anak kecil.”
Aku tertawa dengannya. “kau benar, caraku sungguh konyol.”
“Aku sangat gugup tentang apa yang akan kau lakukan. Kau melakukan semua itu, dan lalu hanya itu?”
Ia terjatuh di kasur dan menutupi wajah dengan tangannya, dan tertawa.
Setelah ia menyelesaikan tawanya, ia bertanya, “Jadi kemana kau kirim semua rasa sakitku?”
“Ke semua orang yang tidak baik padamu.”
“Ya, kalau begitu aku beruntung.”
Ia meraba untuk duduk lagi. Matanya kabur karena terlalu banyak tertawa. “Em, bisakah kau melakukannya lagi?”, mintanya. “Kali ini, di kepalaku yang penuh kenangan buruk.”
“Tentu saja. Sebanyak yang kau inginkan.”
Ia meraba untuk duduk lagi. Matanya kabur karena terlalu banyak tertawa. “Em, bisakah kau melakukannya lagi?”, mintanya. “Kali ini, di kepalaku yang penuh kenangan buruk.”
“Tentu saja. Sebanyak yang kau inginkan.”
Ia menutup matanya. Aku meletakkan tanganku di kepalanya, dan lagi merapalkan mantra peringan konyol itu.
Tidak puas dengan hal itu, ia memintaku melakukannya di sertiap luka yang ia tunda. Sayatan di tangannya, luka bakar di tangan dan punggungnya, luka di pahanya.
Setelah aku selesai dengan luka di bawah matanya, iaterlihat begitu tenang hingga aku bisa membayangkan jika semua rasa sakitnya benar-benar terkirim entah kemana. Aku merasa seperti penyihir, pikirku.
“Em, aku harus minta maaf tentang sesuatu,”gumam gadis itu. “aku pernah bilang “tidak ada seorangpun yang baik padaku, mau membantuku, tidak ada orang yang aku suka atau pernah aku suka, tidak satupun.”kau ingat?”
“Ya.”
“Sebenarnya aku bohong. Dulu ada satu orang yang baik padaku, mau membantuku juga. Laki-laki yang dulu benar-benar aku cintai.”
“Dulu? Jadi sekarang tidak lagi?”
“Dalam beberapa hal, ya. Dan nyatanya, itu karena salahku.”
“…Apa maksudmu?”
Tetapi ia tidak akan menceritakan sisanya padaku. Ia hanya menggelengkan kepala, bagai berkata “aku bicara terlalu banyak.”
Saat aku membuang keinginanku untuk menguaknya, ia dengan lembut menarik tanganku, dan berkata “Aku akan melakukannya untukmu, juga,”dan perlahan meniup kelingkingku yang diperban.
Rasa sakit, rasa sakit, pergilah.
———-