Pain, Pain, Go Away - Chapter 5 Vol 1 Bahasa Indonesia
- Home
- Pain, Pain, Go Away
- Chapter 5 Vol 1 Bahasa Indonesia - Seorang Gadis dan Gunting Jahit
Bab 5 : Seorang Gadis dan Gunting Jahit
Translator: Kaon Nekono
Makan pertamaku setelah 24 jam adalah di restoran. Hingga saat itu, aku bahkan lupa kalau aku lapar, tetapi nafsu makanku kembali setelah mencium aroma makanan. Aku memesan paket pancake pagi untuk kami, dan bertanya padanya sembari menyeruput kopi:
“Kita sudah membalas dendam pada ayah dan kakakmu, jadi apa target selanjutnya adalah ibumu?”
Gadis itu perlahan menggelengkan kepala. Ia sering menguap, karena tidak tidur dengan nyenyak. Seperti kemarin, ia mengenakan jaket nilonku untuk menyembunyikan darah di blusnya.
“Tidak. Ibuku, setidaknya, tidak membuatku terlalu menderita. Tapi ia juga tidak terlalu baik. Aku akan melepaskannya sementara ini.”
Awal pagi ini, tidak banyak pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja kantoran dengan jas, tetapi di meja sebelah kami, seorang laki-laki yang seusia mahasiswa dan seorang gadis tengah tertidur di kursi mereka, mungkin mereka disini sejak semalam. Asbak di antara mereka dipenuhi putung rokok.
Sungguh pemandangan nostalgia. Hingga beberapa bulan lalu, aku dan Shindo menghabiskan waktu berharga di restoran dengan cara yang sama. Apa yang kita bicarakan sepanjang waktu? Aku tidak bisa mengingatnya.
“Selanjutnya, kupikir aku akan balas dendam pada teman sekelasku dulu,” kata gadis itu.
“Seharusnya tidak perlu melakukan perjalanan sepanjang kemarin.”
“Mantan teman sekelas? Tak keberatan jika kutanya jenis kelaminnya?”
“Perempuan.”
“Dan aku tebak ia juga meninggalkan beberapa luka padamu?”
Ia berdiri dengan cepat dan duduk di sampingku. Menarik rok seragamnya, dan menunjukkan paha kirinya. Tak lama kemudian, sebuah luka tujuh sentimeter, satu sentimeternya luka lebar muncul. Melepas kaca mata hitamku untuk melihat, warna kontras kulit putihnya dan luka itu terasa menyakitkan.
“Cukup. Sembunyikan sekarang,”kataku, khawatir tentang orang di sekeliling kami. Aku yakin ia tidak berniat, tetapi hal itu terlihat seperti ia hanya menunjukkan pahanya padaku.
“Ia melukaiku dengan pecahan kaca setelah mendorongku ke lumpur,” jelasnya mengenai masalah-kenyataannya. “Wajarnya, bukan luka fisik yang ia beri yang bermasalah untukku, tetapi emosi. Ia cukup pintar. Ia tahu dengan baik jika rasa malu adalah cara nomor satu untuk membuat orang menyerah.”
“Oh begitu,” kataku dalam kagum. Kebanyakan penganiayaan yang terjadi selama belajar wajib di sekolah biasa dilihat sebagai “seberapa banyak rasa malu yang bisa diberi?” penganiaya tahu jika hal itu adalah cara yang sangat efektif untuk menjatuhkan mental seseorang.
Ketika seseorang membenci mereka – itulah saat ketika mereka ada dititik paling rapuh. Seseorang yang dipermalukan diberi tahu jika mereka tidak punya apapun yang pantas dilindungi, dan kehilangan keinginan untuk melawan.
“…Ketika pertama kali masuk SMP, anak nakal di sekolah takut padaku,” kata gadis itu. “Saat itu, kakakku mengenal banyak orang dewasa berhati busuk. Teman sekelasku berpikir jika mereka menggangguku, kakakku akan membalas mereka. Tetapi salah paham itu tidak berlangsung lama. Seorang teman sekelasku yang tinggal di dekat rumah menyebarkan rumor: “kakaknya membencinya. Aku pernah melihat kakaknya menariknya dan memukulnya lagi dan lagi.” Hal itu membalikkan meja. Anak nakal yang tadinya takut padaku, bagai meluapkan emosi terpendam,dan menjadikanku samsak mereka.”
Ia berbicara seperti semua itu terjadi sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Aku merasa seperti diberi tahu tentang masa lalu yang telah ia atasi.
“Aku berpikiran positif jika situasi itu akan berubah setelah aku masuk SMA. Tetapi aku hanya bisa bersekolah di sekolah umum, dimana banyak teman sekelasku di SMP masuk, jadi tidak ada yang berubah satupun. Tidak, segalanya, malah semakin buruk.”
“Jadi,”celaku memotong ceritanya. Aku tidak benar-benar ingin mendengarnya berbicara panjang lebar mengenai hal semacam itu, dan hal itu sepertinya bukan sejarah yang bisa membuatnya merasa lebih baik.
“Jadi kau akan membunuh lagi hari ini?”
“… Ya, tentu saja.” Dengan kata itu, ia kembali ke kursi sebelumnya dan melanjutkan makan.
“Omong-omong,”katanya mengawali lagi, “apa yang terjadi kemarin hanya karena aku sedikit terkejut, hanya itu.”
Aku berasumsi yang ia bicarakan adalah tentang kakinya yang lemas kemarin. Ya, tidak perlu menggertak di depan laki-laki yang tidak mungkin kembali dari hidup menyedihkannya.
“Itu bukan seperti aku takut membunuh orang atau semacamnya,” cekalnya, hampir mengambek. Mungkin gertakan itu ditujukan untuk dirinya sendiri, sadarku. Cemas akan kemana balas dendam menuntunya, ia memberi tahu dirinya sendiri bahwa kejadian kemarin hanyalah insiden di luar rencana.
“Sebenarnya, setelah pengalaman kemarin, aku berpikir,” kataku.
“Jika semisal di kesempatan selanjutnya ada cipratan darah juga, kau mungkin seharusnya menyiapkan baju cadangan.”
“Aku baik-baik saja.”
“Tidak usah malu. Aku akan membayar baju apapun yang ingin kau beli. Darah tidak menghilang begitu saja dari seragam itu, kan?”
“Sudah kubilang, aku tidak butuh,”gerutunya tersinggung, sembari menggelengkan kepala.
“Bukan hanya masalah darah. Setelah membalas dendam pada ayah dan kakakmu, kau harus memikirkan ada kemungkinan saksi mata. Dan hanya mengenakan seragam di siang bolong hanya akan membuatmu mencolok. Bahkan penundaanmu itu juga tidak serba bisa; penundaanmu tidak bisa menunda hal kecil, kan? Aku ingin mencegah sebanyak mungkin masalah.”
“…Kalau itu masuk akal,”akhirnya iapun menerimanya. “Kalau begitu, maukah kau membelikanku dua atau tiga baju?”
“Ya, aku tidak akan melakukannya sendiri, aku tidak tahu banyak soal fashion. Maaf, tapi aku harus membawamu juga.”
“Ya, kupikir juga begitu.”
Ia meletakkan garpu di piringnya dan menghela letih.
———-
Genangan air terbentuk di trotoar yang berlubang, mencerminkan langit biru buram dan bayangan hitam pohon.
Daun maple musim gugur bergelantungan di tepi jalan, dan langsung dari atas, terlihat seperti bintang yang digambar dengan krayon oleh anak TK.
Daun-daun juga mengisi selokan di plaza, berdesir bersama riak air.
Aku pergi ke toserba terdekat untuk mengantar gadis itu membeli baju apapun yang ia inginkan. Ia berkeliling dengan enggan di depan berbagai toko.
Setelah dengan pemikiran yang matang, ia menginjakkan kaki ke toko khusus-anak muda dengan penuh tekad, tetapi hal itu masih jauh dari akhir.
Menyusuri lima baris di seluruh toko itu, ia memegang sebuah jaket biru kalem dan rok coklat-karamel dan bertanya, “Ini tidak terlihat aneh, kan?”
“Ya, kupikir cocok untukmu,” jawabku jujur.
Ia memandang langsung padaku. “jangan bohong. Kau hanya akan setuju dengan apa yang kukatakan, kan?”
“Aku tidak bohong. Sungguh, aku pikir seseorang harus mengenakan apa yang mereka suka, selama tidak merepotkan orang lain.”
“Ya, bukankah kau juga begitu tuan tidak berguna,” gumamnya. Masukan baru untuk daftar panggilanku yang bertambah.
Setelah mencoba pakaian itu di depan cermin, gadis itu mengembalikannya dan mulai berputar di toko itu lagi. Seorang pegawai toko, yang berpakaian sangat profokatif dan kaki jenjang, mendekat dan bertanya dengan sinyum simpul, “apa dia saudaramu?” ia melihat situasi ribut itu dan mengira kami saudara.
Aku tidak merasa harus menjawab jujur, jadi aku hanya menjawab “iya.”
“Sungguh kakak yang baik mau mengajaknya berbelanja.”
“Aku tidak berpikir ia merasa begitu.”
“Tidak apa. mungkin memakan waktu tahunan, tapi akhirnya ia akan menyadari rasa terima kasih untuk kakaknya. Aku juga sama.”
“Tentu saja, semoga,”kataku, memalsukan senyuman.
“Kesampingkan itu, bisakah kau bantu dia memilih baju? Kurasa dia benar-benar bingung memilih.”
“Serahkan padaku.”
Lalu, gadis itu merasakan pegawai toko mendekat dan secepatnya meninggalkan toko itu.
Setelah tergesa-gesa meninggalkan pegawai toko itu, ia berkata dengan kelelahan
“Lupakan pakaiannya. Aku tidak butuh.”
“Oh begitu.”aku tidak menanyakan alasannya. Ya, aku kurang lebih bisa menebaknya.
Karena keluarganya. Ia mungkin jarang mendapat kesempatan membeli pakaian apapun yang ia inginkan.
Jadi ia bingung ketika dihadapkan pengalaman melakukannya untuk pertama kali.
“Aku akan membeli beberapa barang aneh. Tolong jangan ikut denganku.”
“Baiklah. Berapa uang yang kau butuhkan?”
“Aku punya uang cukup untuk membayarnya sendiri. Tunggu saja di mobil. Aku seharusnya tidak butuh waktu lama.”
Setelah gadis itu pergi, aku kembali ke toko tadi.
“Bisakah kau memilihkan beberapa pakaian yang cocok untuk gadis tadi?”, tanyaku pada pegawai toko, yang dengan cekatannya mengambil beberapa pakaian. Karena aku sadar jika ia mungkin membutuhkannya langsung, aku meminta pegawai toko untuk melepas label harganya juga.
Dan untuk berjaga-jaga, aku pergi ke toko lain dan membeli blus yang berdesain mirip dengan yang kotor-sekarang. Aku memikirkan kemungkinan jika gadis itu lebih nyaman dengan seragamnya daripada baju kasual.
Aku kembali ke mobil yang terparkir di bagian bawah tanah, melempar tas belanja ke kursi belakang, dan tergolek di tempat duduk, bersiul sembari menunggu gadis itu.
Membuatku terlihat tidak jauh berbeda dengan orang lain, hanya pembeli biasa – bukan orang yang datang kemari untuk mempersiapkan sebuah pembunuhan.
Aku memikirkan tentang apa yang akan terjadi ketika efek penundaan selesai. Gadis itu akan meninggal, semua kegiatan balas dendamnya akan percuma, dan sebaliknya, kenyataan ketika aku menabraknya akan kembali.
Sewajarnya, aku akan ditahan karena menyetir dengan ugal-ugalan dan membunuh atau melukai seseorang. Aku tidak tahu detail yang akan terjadi setelahnya, tetapi mungkin aku dipenjara karena kelalaian di jalan. Mungkin, hukumanku beberapa tahun bahkan hingga puluhan tahun.
Bahkan walau aku dipenjara, ayahku tidak akan menunjukkan reaksi khusus, pikirku.
Pria itu seperti bisa berganti kulit, setiap kali ada masalah buruk, dan hanya terus maju. Bahkan membunuh orang dengan menabraknya saat mabuk di jalan tidak cukup untuk membuatnya terkejut.
Aku berpikir kecuali aku melakukan sesuatu seperti gadis itu, sengaja membunuh seseorang dengan maksud yang jelas, aku tidak akan pernah bisa mengeluarkan reaksi pria itu.
Sementara, ibuku… aku bisa dengan mudah membayangkannya menaikkan kepercayaan diri melalui berita dengan, mengatakan “Lihat, lihat itu! Aku benar meninggalkan pria semacamnya.” Ibuku orang yang seperti itu.
Beri aku waktu istirahat, helaku. Hanya untuk apa aku terlahir? Selama dua puluh tahun hidupku, aku tidak pernah sekalipun merasakan perasaan yang disebut “hidup.”
Tanpa tujuan khusus, tanpa sesuatu yang harus diperjuangkan, tanpa kebahagiaan, aku hidup hanya karena tidak ingin mati. Dan inilah yang terjadi.
“…Seharusnya aku menyerah lebih awal dan memotong hidupku sependek hidup Shindou.”
Kata-kata yang melewati pikiranku berkali-kali, sekarang aku mengeluarkan dan menyuarakannya lantang.
Bukan, aku bukannya berpikir dunia ini tempat yang tidak layak untuk hidup.
Tetapi hidupku, setidaknya, bukanlah hidup yang layak.
———-
Kami tiba ditujuan kami, sebuah pusat hiburan, sekitar jam dua siang.
Tempat itu merupakan gabungan dari fasilitas bowling, billiard, dart, arena batting, permainan arcade, permainan token, dan beberapa kedai makanan dan minuman dalam satu tempat.
Kepalaku terasa pusing karena kebisingan, seperti lima ratus jam alarm dibunyikan bersamaan. Hanya beberapa bulan pengasingan diri, aku benar-benar menghapus toleransi akan kebisingan semacam ini.
Menurut gadis itu, target selanjutnya keluar dari SMA dan sekarang bekerja di restoran italia di sini.
Tapi aku juga berpikir, bagaimana ia mendapat informasi itu? Aku tidak meneliti tentang metodenya, tapi tidak diragukan lagi jika ia menghabiskan banyak waktu untuk mencari informasi.
Restoran itu memiliki dinding kaca, jadi kau bisa dengan mudah melihat apa yang terjadi di dalam. Duduk di bangku yang diposisikan-sempurna, aku mencoba menebak pegawai mana yang menjadi target gadis itu.
Gadis itu mendatangiku setelah berganti pakaian. Aku yang menyuruhnya, karena berkeliling dengan seragam di tempat ramai seperti ini bisa membuatnya ditangkap polisi.
“Pegawai toko itu membuat pilihan yang bagus,”kataku mengomentari pakaiannya. Sebuah one-piece titik-titik dan cardigan hijau-lumut dengan sepatu boot.
“Kau kelihatan dewasa dengan pakaian itu. Seperti kau bisa pergi ke universitas.” Mengabaikan pujianku, gadis itu meminta, “Pinjamkan aku kaca mata hitammu.”
“Ini?”, tanyaku, menunjuk kaca mata itu. “Tentu, tapi kupikir malah menarik perhatian.”
“Aku tidak peduli. Selama ia tidak tahu siapa aku, itu sudah cukup.”
Gadis itu mengenakan kaca mata yang terlihat-buram, dan bulat lalu duduk di sampingku, menatap ganas di sekeliling restoran.
“Itu. Itu dia.”
Orang yang ia tunjuk- ya, seperti kemarin- dalam pandanganku tidak terlihat seperti orang yang akan menyakiti orang lain. Ia perempuan yang cukup cantik yang bisa ditemui dimanapun.
Jarak antar matanya terlihat sedikit lebih kecil, tapi ketika matanya tertutup, kau bisa mengatakan jika jaraknya benar-benar pas.
Rambut cat coklat-gelapnya dipotong pendek, yang memberinya karakter ditambah dengan bibir tebal feminim dan hidung kecilnya. Ia sangat semangat dalam berbicara maupun bergerak. Perempuan ceria yang pasti orang muda dan tua sukai. Itulah kesan pertamaku padanya.
Tetapi jelas, tidak semua orang jahat memiliki penampilan jahat.
Kami tidak tahu kapan jam kerja perempuan itu berakhir, jadi kami tetap di tempat duduk dan waspada.
Gadis itu memesan dua sekup es krim, dan aku memenuhi pipiku dengan ikan dan kentang goreng, sembari mendengarkan suara pin terjatuh di arena bowling yang tak-terlalu-jauh. Laki-laki dan perempuan muda sangat ramai di sekeliling kami.
Ikan gorengnya terasa seperti dimasak di minyak bekas, dan kentangnya tidak dipanasi begitu baik, jadi aku juga tidak makan terlalu banyak, sembari menelannya dengan soda.
Beberapa kali, gadis itu tidak fokus di restoran, melainkan di mesin capit di sisi jalan.
Di balik kaca adalah tumpukan boneka- dan semuanya adalah makhluk yang sama, satu yang mirip dengan anak beruang dan monyet. Ketika aku kembali melihat gadis itu, mata kami bertemu.
“…ambilkan aku boneka itu,”mintanya. “Sepertinya kita juga masih harus menunggu.”
“Aku akan terus mengawasi, jadi kau bisa mengambilnya,” jawabku, sembari menyerahkan dompetku padanya. “aku akan menelfon jika melihatnya melakukan sesuatu.”
“Aku tidak akan mendapatkannya walau kau memberiku waktu setahun. Kau yang mengambilnya.”
“Tidak, aku juga tidak bisa bermain mesin capit. Tidak pernah memenangkan satu hadiah apapun sejak aku lahir.”
“Pergi saja.”
Ia mengembalikan dompet padaku dan menepuk punggungku.
Aku menukar uang ribuan-yen di mesin penukar dan berdiri di depan pencapit. Setelah mengamati boneka monyet-beruang yang dekat dengan lubang keluar dan terlihat mudah di dorong, aku menutupi rasa maluku dan memasukkan koin.
Jika saja ia ikut denganku setidaknya aku bisa terlihat keren, helaku. Seorang mahasiswa menyedihkan mencoba dengan kekesalannya untuk memenangkan sebuah boneka beruang di tengah hari libur sungguh tragis.
Setelah memasukkan, 1500 yen, aku meminta penjaga toko yang lewat untuk membenarkan posisinya untukku, dan setelah menghabiskan 800 yen lebih akhirnya aku berhasil memasukkan boneka ke lubang.
Itu adalah hadiah pertama yang pernah kumenangkan dari mesin capit seumur hidup.
Kembali ke kursi, aku menyerahkan sebuah tas pada gadis, yang dengan kasar menerimanya, lalu, berkali-kali memasukkan tangannya ke dalam tas untuk memastikan kelembutan beruang itu.
Jam kerja perempuan itu berakhir sekitar pukul enam sore.
Gadis itu berdiri, dan berkata “cepat,” dan meninggalkan tempat itu. Aku mengikuti tepat di belakangnya.
Malam itu bulan tidak tampak, cocok untuk balas dendam. Tempat parkir di bagian pintu masuk belakang juga tidak diterangi-dengan baik, bahkan hanya perlu sedikit bersembunyi di balik apapun.
Setelah lama berada di tempat yang ramai, telingaku masih melakukan penyesuaian, dan kakiku terasa bercedut. Angin musim gugur yang dingin berhembus di leherku. Merasa kedinginan, aku mengenakan jaket yang kubawa di bawah lenganku.
Gadis itu mengeluarkan sebuah wadah kulit dari tasnya dan mengeluarkan gunting jahit yang ia gunakan lain hari.
Dengan pegangan hitamnya, yang tidak sesuai untuk tangan manusia, dan mata gunting perak mengilap dalam kegelapan, pengetahuanku akan kejadian kemarin membuatku tidak bisa melihat gunting itu sebagai alat yang digunakan selain untuk menyakiti orang.
Melihat gunting itu lagi, aku merasakan bentuk mengerikan. Lubang dari kedua pegangannya itu terlhat seperti mata yang dibalut kemarahan.
Perempuan itu belum terlihat. Saat aku berpikir kami telat selangkah, pintu belakang dibuka.
Setelah mengganti pakaian kerja dan mengenakan trenchcoat dan rok merah-wine, ia langsung terlihat dewasa daripada saat ia bekerja.
Karena ia menganiaya gadis itu di sekolah, aku kira ia berumur sama sekitar tujuh belas atau delapan belas tahunan, tetapi ia terlihat seusiaku, atau sedikit lebih muda.
Ia melihat gadis yang bergemetar di depannya dengan ragu.
“Apa kau ingat aku?,”tanya gadis itu.
Perempuan itu dengan hati-hati mengamati wajahnya.
“Hm, maaf, aku hampir mengingatnya…” ia meletakkan jari di bibirnya untuk berpikir.
Ekspresi gadis itu menajam. Sepertinya untuk menggoyangkan ingatan perempuan itu.
“Ahh, wow. Kalau itu bukan kau…”
Pipinya mengendur untuk tersenyum.
Aku tahu beberapa orang yang tersenyum seperti itu. Orang yang menganggap menganiaya orang lain adalah kesenangan terbesar mereka.
Senyum itu tidak bisa menjelaskan dengan baik jika seseorang akan menghadapi serangan mereka atau tidak, dan dengan cermat menganiaya target yang mudah mereka aniaya.
Ini adalah senyum orang yang melakukan hal semacam itu untuk menaikkan rasa percaya diri mereka.
Perempuan itu mengamati si gadis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pasti ada perbedaan antara gadis yang ia ingat dan yang sekarang, dan mencoba menetukannya sehingga bisa ia gunakan untuk keuntungannya.
Ia sudah memutuskan bagaimana ia akan memerlakukan gadis itu.
“Jadi kau masih hidup?”,tanya perempuan itu.
Aku memikirkan apa maksudnya. Apakah “kau tidak pernah mendapat satu hal baikpun dalam hidupmu, tapi kau masih hidup?”, atau “aku sudah membuatmu menderita, dan kau masih hidup?”
“Tidak. Aku sudah mati,”kata gadis itu, menggelengkan kepalanya. “dan aku akan membawamu bersamaku.”
Ia tidak memberi perempuan itu waktu merespon. Beberapa saat kemudian, ia menancapkan gunting di paha perempuan itu.
Perempuan itu berteriak bagai penyanyi metal dan terkapar di tanah.
Gadis itu melihat si perempuan yang diliputi kebencian sembari menggeliat kesakitan. Lengan trenchcoat berwarna-karamelnya berubah merah.
Tetapi aku tidak menggerakkan seotot-pun saat melihatnya. Hari ini, aku telah siap secara mental untuk hal itu.
Perempuan itu menarik nafas dalam dan mencoba memanggil bantuan, tetapi sebelum mengeluarkan sepatah kata, gadis itu menendangkan sepatu loafersnya ke hidungnya.
Saat ia memegangi wajahnya dan berteriak pelan, gadis itu mengeluarkan sebuah alat seperti kikir kuku dan mulai menggosokkannya di mata gunting.
Ia menajamkan mata guntingnya.
Setelah lima kali menggosok pada tiap mata gunting, ia membuang kikir itu dan mengangkat perempuan itu dengan menarik rambutnya. Perempuan itu melihatnya dalam ketakutan, dan gadis itu menusukkan gunting yang terbuka di kedua matanya.
Mata gunting yang bergerak di sebelah kiri, dan mata gunting yang diam di sebelah kanan. Perempuan itu diam sepenuhnya.
Malam itu sangat dingin. Walau belum musim dingin, tetapi nafasku berwarna putih.
“apa kau punya pesan untukku?”, tanya gadis itu.
Perempuan itu, dengan wajah dipenuhi darah hingga ke hidungnya, berulang kali mencoba memanggil bantuan, tetapi tidak bisa mengeluarkan kata yang benar.
Gadis itu memperlakukannya seperti anak kecil yang kata-katanya tidak jelas.
“Apa ? “Maafkan aku?””
Ia menarik guntingnya, dan saat perempuan itu merasa lega karena mata gunting itu dijauhkan dari matanya, gadis itu menancapkan gunting itu dengan keras ke lehernya.
Targetnya bukan tenggorokan, tetapi arteri. Saat ia mencabut mata gunting, darah membanjir keluar. Tak hanya tumpah, tapi menganak sungai.
Perempuan itu dengan ketakutan menutupi lukanya mencoba menghentikan darah meninggalkan tubuhnya, tetapi beberapa detik kemudian, ia menutup matanya dan berhenti bernafas di posisi yang sama.
“…Bajuku kotor lagi,” kata gadis dengan noda darah segar itu, melihat ke arahku. “Padahal aku suka yang ini.”
“Kita bisa beli yang baru lagi,” kataku
———-
Aku bisa menebak dari betapa pucatnya dia, tetapi setelah berganti baju dengan seragam yang biasa ia pakai dan kembali ke bangunan itu, ia berlari ke kamar mandi di samping restoran dan tidak keluar untuk sementara waktu.
Aku mendengar suara muntahan dari dalam. Aku cukup yakin, jika ia muntah.
Mempertimbangkan dari kurangnya rasa ragu membunuh seseorang, reaksinya setelah membunuh sungguh luarbiasa normal. Tidak seperti pembunuh berantai berdarah-dingin, ia punya rasa jijik pada kekerasan. Pasti begitu, jika tidak dia tidak akan muntah dan kakinya lemas setelah membunuh.
Pastilah ada dendam yang begitu ekstrim hingga mengubah seseorang seperti itu menjadi seorang pembunuh.
Dan lalu ada aku. Bagaimana bisa aku bersikap begitu tenang setelah menjadi saksi sebuah pembunuhan? Apa aku lebih gila karena tidak merasakan apapun ketika bersama seorang pembunuh?
Ya, walau memang begitu, apa masalahnya sekarang.
Aku menunggu gadis itu di sofa yang rusak di lorong yang redup. Ia akhirnya kembali setelah tiga batang rokok kuhisap. Langkahnya berat, dan matanya terlihat seperti kurang tidur. Ia pasti memuntahkan segala yang ia makan hari ini. Apalagi berkat pakaian putihnya, ia benar-benar terlihat kehilangan warnanya, bagai hantu.
“Kau terlihat menyedihkan,”kataku bergurau.
Ia menjawab dengan mata mati, “Aku selalu begitu.”
“tidak juga,”sangkalku.
Sejujurnya, kami harus segera pergi dari tempat itu secepat mungkin. Kami juga menyembunyikannya di semak-semak, tapi hanya tinggal masalah waktu hingga mayat perempuan itu ditemukan, juga tas si gadis yang berisi senjata untuk membunuh dan pakaian penuh darahnya.
Pakaianku juga terkena noda darah yang-sulit-terlihat, jadi kami pasti tamat jika inspeksi dilakukan pada kami.
Mengesampingkan hal itu, kalimat ini keluar dari mulutku.
“Hei, bagaimana kalau kita menyudahi balas dendam hari ini, dan sebaliknya melakukan sesuatu yang lain? Kau terlihat kelelahan.”
Gadis itu menyingkirkan rambut panjang dari pandangannya dan menatapku tepat di mata.
“…Contohnya?”
Aku beranggapan ia akan segera menolak ide itu, tetapi jawaban itu terdengar seperti setuju. Ia hanya begitu lelah.
Hal ini pasti menambah poin baikku di matanya, pikirku.
“Ayo main bowling,”saranku.
“bowling?”pandangannya beralih pada tempat bowling di seberang kami, dan matanya melebar. “Maksudmu, disini, dan saat ini?”
“Benar sekali. Kita akan menjaga senjata untuk membunuhnya dan tetap di tempat kejadian untuk berlindung. Semua mengira pembunuh itu kembali ke tempat kejadian, tetapi tidak seorangpun mengira ia tinggal di tempat kejadian dan bermain bowling.”
Apa kau serius?, tanyanya dengan tatapan. Sangat serius, jawabku.
“Bukan saran yang buruk, kan?”
“…Tidak. Tidak buruk sama sekali.”
Itulah saat ketika selera buruk kami sama. Tetap di tempat kejadian dan bersenang-senang. Tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menodai kematian seseorang.
Setelah melakukan formalitas di meja resepsi, kami menerima sepatu bowling dengan desain yang tidak bisa lebih jelek lagi dari ini dan pergi ke jalur kami.
Seperti dugaanku, gadis itu sepertinya tidak punya pengalaman dengan bowling, dan bahkan bergemetar karena bola seberat-delapan-pound.
Aku mengawali, bermaksud untuk menunjukkan padanya bagaimana melakukannya. Aku membidik untuk tidak menjatuhkan lebih dari tujuh pin, dan benar saja, tepat menjatuhkan tujuh pin. Aku ingin menyimpan strike pertama untuknya.
Berbalik, aku memberitahunya “giliranmu.”
Perlahan memasukkan jarinya ke bola dan menatap pin, ia melempar bola itu dengan posisi yang mengesankan dan menjatuhkan delapan pin. Ia punya tangan yang cukup bagus, dan fokus yang bagus.
Pada frame ke-empat, ia mendapat spares, dan di frame ke-tujuh, ia mendapat strike.
Rasanya sangat nostalgia. Untuk beberapa saat, terinspirasi oleh The Big Lebowski, Shindo entah kenapa sering datang ke tempat bowling. Terakhir, skor terbaik yang bisa ia peroleh adalah sekitar 220. Aku duduk di garis tepi dan menonton, terkadang bermain dengannya. Kapapun aku melakukannya, saran tepatnya membantuku bermain hingga mendapat poin 180 ke atas. Sebagai seseorang yang tidak pernah merasa bersemangat dalam sesuatu setelah beberapa waktu, aku pikir hal itu cukup bagus.
Untuk merangsang jiwa kompetitifnya, aku menarget skor yang hampir mengalahkan gadis itu. Untuk seseorang yang sulit dibahagiakan sepertinya, kupikir hal itu sangat efektif daripada kehilangan tujuan.
Benar saja, setelah permainan berakhir, ia tidak puas dalam hal yang baik.
“Sekali lagi,”mintanya. “Ayo bermain satu permainan lagi.”
Setelah menyelesaikan tiga permainan, wajah pucatnya berubah warna lebih sehat.
Sepertinya mayat itu tidak pernah ditemukan ketika kami disana. Atau tanpa sepengetahuanku, gadis itu menunda penemuannya.
Karenanya, kami bisa menghabiskan waktu dengan tenang. Setelah bowling, kami makan lumayan mewah di restoran tempat perempuan yang ia bunuh bekerja.
———-
Kami tidak kembali apartemen hari itu.
Gadis itu bilang jika target balas dendam selanjutnya berjarak sekitar enam-jam mengemudi. Aku menyarankan jika kami bisa menaiki shinkasen, tetapi ia segera menolak, menunjukkan kebenciannya pada keramaian.
Jika berarti tidak menaiki kendaraan umum, artinya dia lebih memilih duduk di kursi keras mobil yang hampir-rusak selama setengah hari dengan orang yang telah membunuhnya.
Ia sepertinya belum sepenuhnya pulih dari rasa shock setelah membunuh teman sekelasnya. Juga bukan berkat kurang tidurnya semalam, ia terlihat goyah saat kami meninggalkan pusat hiburan.
Aku sendiri, telah hidup tanpa melakukan apapun selain tidur, jadi aku juga lelah, dan tidak bisa menjaga kelopak mataku terbuka-setengah lebih dari dua puluh menit menyetir.
Suara klakson mobil membuatku sadar jika aku tertidur– aku dengan sembrono tertidur saat menunggu lampu merah.
Aku segera menginjak pedal dan mendengar suara mesin mengerang.
Kesal, aku segera menyetir mobil dan menginjak pedal sekali lagi.
Saat aku menatap tajam gadis itu karena tidak membangunkanku, aku sadar ia mengantuk dalam posisi yang sama.
Mungkin semua kelelahan menyerangnya bersamaan, karena ia tertidur tenang walau ada suara klakson dan mobil yang kupercepat-lajunya.
Akan bahaya jika terus menyetir seperti ini, pikirku. Aku berpikir untuk memberhentikan mobil di sebuah tempat untuk istirahat, tetapi tidur di dalam mobil selama kurang lebih dua hari tidak akan membantu kelelahan kami terlalu banyak.
Lebih baik jika kami mencari hotel entah dimana dan istirahat dengan tenang disana.
Aku membayangkan gadis itu meratapi hal ini, berkata “tidak ada waktu. Kau pikir kita bisa istirahat?”, tetapi itu lebih baik daripada kecelakaan membosankan karena mengantuk saat menyetir.
Sepertinya gadis itu tidak bisa menggunakan penundaan seenaknya. Semisal, saat ia tertidur lelap, aku membelok dari jalurku dan menabrak truk besar, apa ia bisa menundanya?
Jika kematian kami langsung di tempat, tanpa ada kesempatan hidupnya lewat di depan mata, atau jiwanya berteriak “aku tidak bisa menerima hal ini terjadi,” apakah mungkin untuk menundanya?
Kenyataannya, mungkin ia sendiri juga tidak bisa menjawabnya. Dari penjelasan yang ia beri padaku, ia sepertinya tidak sepenuhnya memegang segala hal dengan kemampuannya.
Aku memutuskan jika kami lebih baik selamat daripada menyesal. Aku mengemudi ke hotel bisnis di sepanjang jalan besar, dan meninggalkan gadis itu di mobil, bertanya di meja resepsionis jika ada kamar yang tersisa. Aku diberitahu jika hanya tersisa satu kamar, dengan dua tempat tidur.
Sempurna sekali. Jika tempat tidur di kamar itu berukuran dua kali-lipat, aku harus tidur di lantai.
Saat aku mengisi formulir informasi, aku sadar jika aku tidak tahu nama gadis itu atau tempatnya tinggal. Aku tidak bisa langsung bertanya padanya sekarang, jadi aku menggunakan nama samaran.
“Chizuru Yugami.” Membuatnya terdengar seperti adikku yang tinggal di apartemen yang sama sepertinya akan menguntungkan nanti. Penjaga toko di toko pakaian juga mengira kami sebagai saudara juga, jadi itu juga bukan kebohongan yang tidak masuk akal.
Aku kembali ke mobil. Menggoncangkannya hingga terbangun, lalu berkata “kita akan istirahat disini sebelum balas dendam selanjutnya,” dan ia mengikutiku tanpa mengeluh.
Walau ia tidak mengatakannya, ia pasti memilih tidur di tempat tidur lembut daripada tempat duduk mobil yang keras.
Di depan pintu otomatis, aku berbalik dan bertanya, “Kamar single untuk dua orang. Apa tidak apa-apa? Hanya itu kamar yang tersisa.”
Dia tidak menjawab, tetapi aku memutuskan untuk mengartikannya sebagai “aku tidak keberatan.”
———-
Interiornya begitu polos, jadi ini hotel bisnis, baiklah. Di ruangan berwarna-putih gading, ada sebuah meja kotak di antara kedua tempat tidur dengan telfon di atasnya, di atasnya lagi terpajang sebuah lukisan cat minyak yang terlihat-murah. Di depan tempat tidur yang berdampingan ada meja tulis, dengan barang seperti pot dan TV di atasnya bagai tidak ada tempat lain yang cocok untuk meletakkannya.
Setelah memastikan telah mengunci pintu, gadis itu mengambil gunting jahit yang terwarnai darah kering dari tasnya dan mulai mencucinya di wastafel kamar mandi.
Setelah dengan rajin membersihkan semua nodanya, ia mengeringkan tetesan airnya dengan handuk. Lalu ia duduk di samping bawah tempat tidur dan dengan penuh cinta menajamkan mata guntingnya dengan kikir. Alat untuk memastikan keberhasilan tujuannya.
Kenapa gunting? Memindahkan asbak keramik dari meja tulis ke meja sebelah tempat tidur, aku menyalakan rokok dan mempertimbangkannya. Aku merasa ada jauh lebih banyak senjata lain yang bisa digunakan.
Apa dia tidak punya uang untuk membeli pisau? Apa karena gunting tidak terlihat terlalu berbahaya? Atau karena mudah dibawa? Apa gunting itu ada di mana-mana di rumah? Apa itu adalah alat yang paling mudah ia gunakan? Apa gunting ini begitu berharga untuknya?
Aku membayangkan sebuah kejadian. Setelah disiksa oleh ayah dan kakak perempuannya di sebuah malam bersalju, ia dikunci dalam tempat gelap yang jauh, menggigil dan menangis.
Tetapi setelah beberapa menit, ia bangun dan menyeka air matanya, lalu mencari dalam kegelapan alat untuk membuka pintu yang dikunci dari luar. Ia sangat familiar dengan bagaimana mengubah kesedihan menjadi kemarahan, memberinya keberanian yang sepi.
Menangisinya tidak akan mengubah apapun. Tidak ada yang akan datang membantunya.
Menarik sebuah laci perkakas, ujung dari sebuah alat membuat jarinya tiba-tiba terasa sakit. Ia reflek menarik tangannya, tetapi dengan ketakutan mengambil alat yang melukainya, dan memandanginya dengan balutan cahaya bulan yang memberi sebuah pembukaan.
Gunting jahit berkarat.
Kenapa ada gunting disini? Kunci inggris, obeng, tang, ia bisa paham itu. Apa hanya karena sesuatu terlihat sama sehingga dicampur jadi satu?
Ia meletakkan jarinya di pegangan. Dengan beberapa usaha, ia akhirnya memisahkan mata guntingnya.
Tidak peduli dengan darah yang mengalir dari jari ke pergelangan tangan, ia jatuh cinta pada gunting itu. Melihat ujungnya yang tajam, ia merasa keberanian mengalir di dalam dirinya.
Matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, ia bisa mengetahui dengan samar isi laci. Ia melanjutkan pencarian di kotak perkakas dari laci atas sampai bawah, mengesampingkan kenyataan jika lacinya sulit dibuka.
Segera, ia menemukan apa yang ia cari. Mengambil sebuah kikir, dengan cekatan ia menajamkan gunting berkarat itu.
Ia punya banyak waktu untuk melakukannya.
Suara goresan pertanda-buruk menggema di dalam kegelapan tengah malam.
Suatu hari, ia bersumpah. Suatu hari aku akan menggunakan ini untuk mengakhiri mereka.
Semua itu tidak lebih hanya perkiraanku. Tetapi gunting itu secara alami membuatku penasaran.
Gadis itu kembali setelah mandi dengan mengenakan pakaian tidur. Gaun putih polos bergaya-one-piece tidak terlihat seperti piama bagiku, lebih seperti seragam perawat atau sesuatu.
Ia selesai menajamkan guntingnya, dan saat ia mengangkatnya dekat dengan mata untuk memeriksanya dengan teliti, aku bertanya , “bolehkah aku melihatnya?”
“…kenapa?”
Pertanyaan bagus. Kalau aku hanya bilang penasaran, aku tahu dia jelas segera menolakku. Aku mencari kalimat yang lebih efektif.
Tepat saat ia akan memasukkan gunting itu kembali ke wadah kulitnya, aku menemukannya.
“Kupikir gunting itu indah.”
Sepertinya respon itu diterima. Ia dengan hati-hati menyerahkannya padaku. Mungkin ia merasa senang alat kesukaannya dipuji.
Duduk berseberangan dengannya, aku memegang gunting dan mendekatkannya di mataku seperti yang ia lakukan. Kupikir mata guntingnya dipoles dengan bersih bagai cermin, tetapi mengejutkannnya, tidak begitu.
Yang penting ujungnya bisa menembus daging; membagi perhatian pada bagian lain hanya akan mengurangi kekuatan mata guntingnya.
Hanya ada sedikit karat yang dibersihkan- tentu saja, aku lalu mengingatnya jika gunting itu telah berkarat dalam cerita menurut teoriku.
“Sangat tajam,” kataku pada diri sendiri.
Saat kau memegang alat, kau tidak bisa berhenti membayangkan dirimu menggunakannya. Memandang gunting ini sebagai alat yang khusus untuk membunuh, aku tiba-tiba mendapat dorongan untuk segera menggunakannya untuk menusuk seseorang.
Mata gunting yang tajam ini bisa dengan mudah menembus daging semudah buah matang.
Aku membayangkannya. Aku ingin menusuk seseorang dengan gunting ini; jadi, siapa yang harus kutusuk?
Kandidat yang segera melewati otakku, tentu saja, gadis yang duduk dengan gelisah di tempat tidur seberangku, memandang gunting yang kini tidak ada di tangannya.
Seperti boneka beruangnya, gunting itu sepertinya membantunya memberi rasa aman. Ia mungkin tidak menyadarinya hingga baru saja ketika ia merelakannya, dan walau digoyahkan oleh ketidak mampuannya, ia mencoba bertingkah baik-baik saja. Sepertinya begitu.
Tanpa senjatanya, gadis itu hampir tidak berdaya. Aku memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika aku menusukknya disini.
Jika aku menusuknya di dada, yang menembus dengan pas melalui bagian tidak terkancingi di gaun yang ia kenakan.
Atau jika aku menusuk tenggorokannya, yang membuat suara senayaman harpa gelas.
Atau jika aku menusuk perut lembutnya dengan lemak yang mungkin sedikit di dalamnya. Sepertinya gunting gadis itu memberiku dorongan yang sama untuk membunuh.
Aku meletakkan jari telunjukku di salah satu lubang dan memutar gunting itu.
Ia segera menggapainya dan berkata “tolong kembalikan guntingnya,” tetapi aku tidak berhenti memutar. Aku menikmati fantasi sadisku.
Jika ia mengatakan hal yang sama padaku dua kali, aku akan mengembalikannya, putusku- waktu berselang dan mata gadis itu telah berubah warna.
Berawan, menurutku.
Ekspresi itu begitu familiar. Ekspresi yang ia gunakan ketika menghadapi target balas dendamnya.
Aku merasakan lemparan yang kuat. Pandanganku kabur, dan aku terjatuh ke tempat tidur. Aku merasakan sakit bagai dahiku dipecah.
Dari bau abu rokok di kepalaku, aku sadar ia melempariku dengan asbak.
Aku merasakan ia mengambil gunting di tangan kiriku. Aku khawatir mata guntingnya diarahkan padaku, tetapi beruntung, ia tidak melakukannya.
Aku terbaring dalam sakit selama beberapa saat, lalu berdiri dan membersihkan abu dari bajuku.
Aku menyentuh dahiku untuk memastikan kondisinya dan menemukan sedikit darah di jariku, tetapi tidak memikirkan apapun, karena melihat darah sudah membuatku bosan selama dua hari ini.
Aku lebih tidak senang lagi karena darahnya mengenai tanganku. Mengendusnya, baunya seperti besi yang berkarat.
Aku mengambil asbak dari lantai dan meletakkannya kembali ke meja.
Gadis itu duduk di tempat tidurnya, tidak menghadap padaku.
Aku tentu sadar dari rasa mabuk apapun. Aku tidak bisa percaya pada diriku sendiri. Aku mencoba untuk tenang, tetapi dengan semua kejadian selama beberapa hari lalu, aku merasa seperti aku sudah kehilangan pikiranku.
Aku sadar aku membuatnya marah. Tetapi ketika aku menyentuh bahu gadis itu untuk minta maaf atas kelakukanku, tubuhnya dipenuhi ketakutan.
Saat ia berbalik, air mata mengalir hingga pipinya.
Ia lebih rapuh dari yang selama ini aku pikirkan. Aku memegang gunting dengan senyum menakutkan pasti mengingatkannya akan penganiayaan yang ia rasakan.
Setelah ia paham aku tidak akan menyerang balik, gadis itu menundukkan kepalanya dan bergumam.
“…Tolong jangan lakukan hal seperti itu lagi.”
“Maaf,”kataku.
———-
Saat aku mandi air panas, dahiku yang dilempari-asbak bercedut sakit. Mengeramasi rambutku, samponya merembes ke lukaku.
Sudah lama sejak aku mendapat luka yang pantas disebut luka. Kapan terakhir kali aku terluka? Setelah mematikan pancuran, aku mencari di ingatanku.
Iya, tiga tahun lalu – Aku berkeliling sepanjang hari mengenakan sepatu yang tidak pas, dan kuku jempol kakiku lepas; kupikir itu yang terakhir kali.
Tetapi aku tidak terkejut akan apa yang terjadi tadi. Bagaimana jika ia tidak melempariku dengan asbak? Untuk alasan apapun, ide “aku akan membunuhnya” datang dengan alami ke pikiranku. Aku bahkan, merasakannya sebagai tugasku. Aku percaya bahwa diriku adalah orang yang lembut dan sangat tidak-kasar, tapi mungkin aku menutupi kecenderungan kekerasan bahkan lebih besar dari orang normal, dan kecenderungan itu tidak punya banyak kesempatan untuk muncul ke permukaan.
Saat aku berganti dengan piama dan mengeringkan rambut, handphone ku berdering di dalam kantung jeans yang tadi kugunakan. Aku tidak perlu mengecek siapa.
Duduk di bak mandi, aku menjawabnya.
“Aku berpikir kalau mungkin kau ingin mendapat telfon dariku segera atau nanti,”jelas mahasiswi seni.
“Aku benci mengakuinya, tapi kau benar,”kataku. “aku benar-benar menderita.”
“Dengar, aku menelfonmu dari telfon umum sekarang,”katanya ragu. “Ini pojok telfon di ujung jalan. Tapi ada banyak sarang laba-laba di atas kepalaku, dan benar-benar membuatku jijik.”
“Kau akan menggunakan handphone ketika kita tepat bersebelahan, tetapi kau akan menelfonku dengan telfon umum ketika aku jauh?”
“Aku pergi sendiri dan hujan turun. Pojok telfon ini yang pertama kali kusadari ketika aku mencari tempat berteduh. Kau tidak punya banyak kesempatan menggunakan telfon umum sekarang, kan? Tapi aku tidak punya koin-sepuluh yen, jadi aku memasukkan seratus. Jadi ayo mengobrol selama beberapa waktu, oke? …Hei, apa baru saja kau bilang kalau kau “jauh”?”
“Ya.” Kupikir aku tidak butuh menjelaskan tentang diriku, tapi aku melanjutkan. “aku menginap di hotel, sekitar lima-jam mengemudi dari rumah.”
“Hmm. Aku tidak bisa memanggilmu tuan pengurung-diri lagi, ya?”, ia bertanya dengan khawatir. “bagaimana dengan gadis itu? Berjalan baik?”
“Tidak, aku membuatnya menangis. Ia melemparku dengan asbak. Dahiku berdarah.”
Mahasiswi seni itu berceramah. “apa kau mencoba melakukan hal yang cabul?”
“Bahkan kalau aku orang yang seperti itu, kau pasti orang yang lebih awal jadi korbanku daripada dia.”
“Oh, aku tidak tahu. Tapi kau sepertinya menyukai gadis suram itu.”
Kami terus mengobrol dengan penuh kemalasan selama durasi panggilan seratus-yen. Setelah terputus, aku selesai mengeringkan rambutku dan meninggalkan kamar mandi. Pembunuh yang menangis itu tidur membelakangi tempat tidurku. Rambut panjang dan basah hitamnya diurai sepanjang bantal dan seprei. Pundaknya dengan tenang naik dan turun.
Aku harap dia mendapat mimpi buruk dan terjungkat, pikirku. Lalu saat ia bergemetar, aku bisa memberinya saran bijak seperti “apa
kau ingin minuman?”, atau “mungkin AC nya terlalu dingin. Aku akan sedikit menaikkannya,” menambah poinku di matanya.
Lalu kejahatanku akan sedikit tertebus.
Aku berpikir tentang bagaimana jika aku menyalakan TV, aku mungkin mendengar tentang pembunuhan hari ini, tetapi tidak ada gunanya memastikan.
Aku menarik asbak keramik dengan sedikit darahku itu mendekat, mengambil rokok dari laci, dan menyalakannya dengan korek api minyak. Menghisap banyak asap, aku menahannya sekitar sepuluh detik sebelum mengembuskannya.
Menyentuh luka di dahiku sepertinya memicu rasa sakit bagi dibakar, tetapi itu membuatku nyaman karena itu menjadi bukti keberadaanku.
———-