Pain, Pain, Go Away - Chapter 4 Vol 1 Bahasa Indonesia
Bab 4: Pembunuh Pengecut
Translator: Kaon Nekono
Gadis itu dibangunkan oleh bau kopi. Melihat irisan tebal roti bakar oles madu, setengah potong telur rebus-setengah matang, dan salad hijau tersedia di meja, ia duduk setengah mengantuk dan perlahan menghabiskannya.
Apapun yang ia lakukan, ia tidak melihatku.
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”, tanyaku.
Ia menunjukkan sayatan di telapak tangannya. “Kupikir selanjutnya aku akan balas dendam untuk ini.”
“Kalau begitu, sepertinya kali ini bukan ayahmu pelakunya.”
“Ya. Ayah biasanya hati-hati dalam melakukan kekerasannya. Ia jarang meninggalkan bekas yang tidak bisa ditutupi.”
“Selain ayahmu, kira-kira berapa orang lagi target balas dendammu?”
“Aku sudah mengurutkannya hingga lima. Lima orang yang meninggalkan luka permanen padaku.”
Jadi ada lima luka lebih yang masih ia tunda?
Sebenarnya, bisa jadi satu orang meninggalkan lebih dari satu luka. Setidaknya aku mengira ada lima luka lebih.
Ini membuatku sadar. “Jangan-jangan aku juga satu dari lima target balas dendam?”
“Tentu saja,” jawabnya yakin. “Setelah aku membalaskan dendam pada empat lainnya, aku akan memberimu takdir yang cocok juga.”
“… Ya, memang cocok untukku.” Walau begitu, aku menggaruk wajahku.
“Tapi tidak perlu khawatir. Tidak peduli apa yang kulakukan padamu, ketika penundaan kecelakaan – maksudku, penundaan kematianku – berakhir, segala yang kulakukan setelah kematianku tak ada artinya.”
“Aku tidak tahu, apa aku mengerti bagian itu,” responku, menyuarakan rasa khawatirku beberapa waktu terakhir.”Apa itu artinya saat kau memukul ayahmu dengan palu, lalu setelah penundaan kecelakaan itu berakhir, semuanya tidak pernah terjadi?”
“Tentu saja. Karena sebelum aku bisa membalaskan dendam, kau menabrakku dan aku meninggal.”
Itulah saat ia menceritakan tentang penundaan pertamanya, dengan kucing abu-abu. Setelah menemukan bangkai kucing yang ia sukai, pergi melihatnya lagi malam itu, melihat bangkai dan darah menghilang, dicakar oleh kucing itu dan demam, lalu tiba-tiba sembuh dari luka dan demam, dan mendapat ingatan yang berlawanan.
“Jadi jika diibaratkan dengan balas dendam pada ayahmu, kau adalah kucingnya, dan palu itu adalah cakarnya.”
“Ya, rupanya kau mengerti.”
Kalau begitu, tidak peduli berapa banyak luka yang gadis itu torehkan pada orang lain dari sekarang, semuanya akan hilang saat efek penundaan itu berakhir.
“Apa ada gunanya balas dendam seperti itu?”, gumamku keras, melayangkan beberapa keraguan jujurku. “Sudah pasti semua yang kau lakukan akhirnya tidak akan terjadi. Dan “akhir semua ini” tinggal sepuluh.. em, sembilan hari lagi.”
“Bayangkan jika kau bermimpi, dan sadar bahwa kau ada di dalam mimpi,” jelas gadis itu. “Apa kau tidak berpikir, “Apapun yang kulakukan takkan berpengaruh pada kenyataan, jadi kenapa aku harus terbebani?”, atau kau tidak berpikir “Apapun yang kulakukan takkan berpengaruh pada kenyataan, jadi aku akan melakukan apapun yang kumau”?”
“Aku tidak tahu. Aku tak pernah bermimpi seperti itu,” kataku mengangkat bahu.
“Aku hanya memikirkan apa yang terbaik untukmu. Menyakiti orang yang merebut kebahagiaanmu takkan mengembalikan kebahagiaannu yang hilang. Aku tidak mencoba menginjak kemarahan atau dendammu, tapi sungguh, balas dendam itu tak berarti.”
“Memikirkan apa yang terbaik untukku?” Ulang gadis itu, menekan setiap kata. “Kalau begitu, jika bukan balas dendam, apa menurutmu yang terbaik untukku?”
“Ya, pasti ada banyak hal yang bisa dilakukan di waktu berhargamu ini. Pergi menemui teman dan orang yang sudah membantumu, menyatakan perasaan pada orang yang kau suka, atau mungkin menyukai…”
“Tidak ada orang seperti itu,”selanya dengan tajam. “Tak ada seorangpun yang membantuku, tak ada laki-laki yang kusuka, tak satupun. Apa yang baru kau katakan tak mungkin lebih ironis lagi bagiku.”
Apa kau yakin kau tidak dibutakan oleh kemarahanmu? Kalau dipikir, aku yakin kau akan ingat seseorang yang baik…
Aku ingin mengatakan hal itu, namun aku tak bisa menyangkal kemungkinan jika yang ia katakan 100% benar, jadi aku menelan kalimatku.
“Maaf,” kataku. “Aku tidak memikirkannya.”
“Ya, kau harus lebih hati-hati.”
“…Jadi, siapa target selanjutnya?”
“Kakak perempuanku.”
Pertama ayahnya, lalu kakak perempuannya. Apa selanjutnya ibunya?
“Sepertinya kau tinggal di keluarga yang tidak menyenangkan.”
“diamlah dan ayo berangkat,”jawab gadis itu.
———-
Hingga saat aku meletakkan tangan di gagang pintu, aku yakin jika aku sudah sembuh dari penyakitku. Namun saat aku mengenakan sepatu dan bersiap keluar, aku merasa seluruh energi meninggalkan tubuhku, dan aku terdiam di tempat.
Jika ada seseorang lewat dan tak tahu keadaan, mereka mungkin berpikir ada aliran listrik di gagang pintunya.
Aku berdiri di tempat. Detak jantungku semakin kencang, dan dadaku sesak dan sakit. Terlebih lagi, perut dan lengan dan kakiku yang kaku dan benar-benar kekurangan kekuatan.
Aku mencoba menunggu di tempat itu beberapa saat, tetapi sepertinya tak menunjukkan tanda kembali normal. Inilah gejalanya. Kupikir rasa shock dari kecelakaan mobil itu segera menyembuhkannya, tapi aku masih tak bisa melawan rasa takutku akan dunia luar.
Gadis itu menyadariku terdiam bagai kehabisan baterai dan mengerutkan alisnya. “Apa-apaan ini, kau bercanda?”
Kutebak aku terlihat seperti bermain-main di matanya.
Perlahan, rasa mual memenuhi perutku bagai diisi dengan batu. Keringat dingin mengucur dari tubuhku.
“Maaf, bisa kau beri sedikit waktu untukku?”
“Jangan bilang, kau sakit?”
“Bukan, aku tidak biasa pergi ke luar. Aku hidup hanya keluar pada malam hari selama enam bulan penuh.”
“Tapi dua hari lalu, bukankah kau di luar?”
“Ya. Dan mungkin itu alasanku takut.”
“Pertama terjadi hal itu setelah kecelakaan, sekarang ini? Betapa lemahnya mentalmu itu?”, kata gadis itu tak percaya. “Cepat sembuhkan dirimu, entah bagaimana caranya. Jika dua puluh menit sudah lewat dan kau masih tidak berguna, aku pergi tanpamu. Tak ada yang bisa menghentikanku menjalankan rencanaku sendiri.”
“Baiklah. Aku akan menyembuhkannya.”
Aku terbaring menghadap kasur. Detak jantungku yang semakin kencang dan rasa kaku-ku masih belum hilang.
Terbaring, aku menyadari bau sepreiku berubah, sepertinya karena gadis itu tidur di sini. Aku merasa daerahku diinvasi.
Ingin sendiri bahkan walau terpisah satu tembok, aku bersembunyi di kamar mandi yang remang, meletakkan wajahku di tempat duduk toilet dan menutupnya dengan kedua tanganku.
Aku mengambil nafas panjang di udara yang berbau wangi, menahannya beberapa detik, melepaskannya, dan mengulangnya. Melakukan ini cukup melegakanku. Tapi masih butuh beberapa waktu lagi untuk bisa pulih sepenuhnya agar bisa keluar.
Aku meninggalkan kamar mandi dan mengambil beberapa kaca mata flip-up dari laci lemari. Shindo membelinya sebagai candaan dan meninggalkannya denganku. Siapapun yang memakainya langsung terlihat seperti orang konyol. Aku membersihkan lensanya dan memakainya, lalu berdiri di depan kaca. Aku bahkan terlihat lebih konyol dari yang kukira. Aku merasa pundakku lebih ringan.
“Kaca mata jelek apa itu?”, tanya gadis itu “Kaca mata itu takkan cocok denganmu.”
“Karena itu aku menyukainya,” tawaku. Dengan kaca mata ini, aku bisa tertawa seperti biasa. Aku masih mual, tapi aku yakin akan sembuh perlahan. “Maaf penundaannya. Ayo berangkat.”
Aku membuka pintu dengan kekuatan lebih dan menuruni tangga. Masuk ke dalam mobilku yang selamanya-berbau rokok, aku memutar kuncinya. Gadis itu memberiku peta yang sudah ia tulisi rute dan keterangan detail dengan pulpen merah.
“Dengan semua persiapan ini, kutebak kau sudah merencanakan balas dendam ini cukup lama.”
Ia terus melihat peta. “aku hidup tanpa memikirkan yang lain.”
———-
Jalanan sesak di pagi hari. Penuh dengan mobil dari kedua arah, dan para siswa yang turun dari komuter memenuhi trotoar. Semua orang membawa payung warna-warni persiapan jika hujan turun.
Ketika mobil berhenti di lampu merah, beberapa siswa menyebrangi zebra cross memandangi kami, dan aku merasa tak nyaman.
Bagaimana kami terlihat di mata mereka? kuharap mungkin aku terlihat seperti mahasiswa yang berangkat kuliah, mengantar saudaranya ke SMA. Gadis itu merosot di tempat duduknya agar tidak terlihat.
Aku mengalihkan pandangan ke jendela di sebelahku, kulihat sebuah toko bunga kecil dikelilingi bunga warna-warni , dan dengan empat jack-o’-lantern yang diukir di bagian luar labu.
Di atas keempat labu itu terdapat bunga cerah yang mekar, sehingga berfungsi sebagai pot bunga yang bergaya.
Aku ingat sekarang, setelah selama ini, jika halloween dirayakan di akhir oktober. Berdekatan dengan festival budaya sekolah lokal, juga. Musim yang menyenangkan bagi banyak orang, pastinya.
“Aku baru berpikir,”kataku. “Apa kau yakin kakakmu di rumah? Aku sadar kalau sepertinya ayahmu belum memberitahu kakakmu tentang penganiayaanmu padanya. Dan jika kakakmu sadar kau punya dendam padanya, ia mungkin lari entah kemana.” Gadis itu sepertinya terganggu. “Aku tak yakin jika ayah akan menghubungi kakakku. Ayah tidak mengakui kakakku. Bahkan jika ia ingin menelfon kakakku, aku ragu ayah tahu nomernya.”
“Oh begitu,”anggukku. “Seberapa jauh tujuan kita?”
“Sekitar tiga jam.”
Ini akan jadi perjalanan panjang. Semua stasiun radio membosankan, dan tak ada satupun CD di tempat kaset yang menurutku bisa digandrungi gadis SMA.
“… aku tahu kalau bukan hanya aku yang terkejut karena turunnya suhu akhir-akhir ini,”kata seorang penyiar radio.”Ada apa dengan suhu dingin tahun ini? Pagi ini aku melihat seseorang mengenakan jaket musim dingin, dan harus kukatakan, memang pas mengenakannya di musim ini. Kau tahu, aku tak cocok dengan dingin, jadi tak hanya mengenakan syal dan sarung tangan, aku harus mengenakan rangkapan. Bisa kau percaya? Tapi sudah cukup masuk akal juga…”
Sementara kami masih terjebak kemacetan, aku bertanya pada gadis itu jika aku boleh merokok.
“Oke, tapi beri aku satu juga,”katanya.
Aku tak punya alasan menolak. Mencoba berceramah tentang kesehatan pada orang yang telah kubunuh pasti terdengar lucu.
“Pastikan orang luar tak melihatnya,” peringatku, lalu mengambil rokok dari bungkusnya dan memberikannya pada gadis itu setelah menggosok ujungnya.
Melihat gadis berseragaM SMA merokok di mobil sangat aneh bahkan ekstrim. Dengan gerakannya yang tak berpengalaman, ia menyalakan rokoknya dengan korek, menghisapya, dan terbatuk dengan keras.
“Kau bisa menghisap kira-kira sesendok kecil asap,” saranku.
“Mungkin sebaiknya sejak awal aku melakukannya.”
Ia mengubah cara merokoknya sesuai saranku, tapi ia masih tersedak setelah menghisap rokok itu.
Aku bersikeras mengatakan ia mungkin tak diciptakan untuk merokok, tapi melihatnya mencoba lagi dan lagi, aku memutuskan untuk membiarkannya melakukan yang ia mau.
“Kau tak harus menjawabnya kalau kau tak mau,” kataku mengawali, “tapi, apa yang kakakmu lakukan padamu?”
“Aku tak ingin menjawabnya.”
“Oke.”
Sembari meletakkan putung rokok di asbak, ia berkata “itu bukan hal yang bisa kukatakan dengan singkat. Intinya, ia seseorang yang membawaku ke titik dimana aku tak bisa sembuh lagi. Cukup ingat saja itu saat ini.”
“Apa maksudmu selamanya tak bisa sembuh?”
“Ada kesalahan yang tak bisa diubah di sifatku. Kau tahu, kan?”
“Entahlah. Kau terlihat cukup normal bagiku.”
“Kau coba mencetak poin denganku? Merayu takkan membawamu kemanapun.”
“Bukan itu maksudku.” Kataku, walau kuberharap kalimat itu menyemangatinya.
“Kau bilang aku normal? Lalu akan kubuktikan sebaliknya.”
Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan boneka beruang. Boneka itu mengenakan seragam militer merah dan rompi hitam. Boneka itu terlihat bagus, dan lembut.
“Tak peduli berapa tua umurku , aku tak bisa lepas dari ini. Kalau aku tidak memegangnya, aku akan merasa gelisah. …Apa kau sudah takut?”, katanya. Ia sepertinya memikirkan tentang kenyataan di lapangan.
“Seperti linus dann selimutnya? Selalu ada yang seperti itu, kau tak harus malu,” sisipku. “aku dulu pernah mengenal pria yang memberi nama boneka dan berbicara dengan boneka itu sepanjang waktu. Benar-benar menakutkan. Dibanding denganmu, yang hanya menyentuhnya…”
“Oh, maaf menbuatmu takut.” Ia menatapku dan menyingkirkan bonekanya.
Seharusnya aku diam, gumamku terlambat. Aku hanya membodohinya dengan cara yang paling efektif. Tapi sungguh, siapa bisa membayangkan gadis dengan tatapan dingin itu memberi nama dan berbicara dengan boneka beruang…
Keheningan yang canggungpun memenuhi mobil.
“…Di catatan itu, tertulis, tema hari ini adalah “Saat yang membuatku bahagia telah hidup! ”,” kata penyiar radio. “Surat pertama dari nona Ibu Dua Anak. “Anak perempuanku yang berusia enam dan delapan tahun sangat akrab hingga membuatku heran. Tetapi, di hari ibu tahun ini, mereka menyiapkan hadiah kejutan… ” ”
Gadis itu mengulurkan tangan dan mengecilkan volume radio mobil sebelum aku melakukannya.
Karena itu hanya akan jadi pengganggu kami sekarang.
———-
Kami lolos dari kemacetan, menghabiskan dua jam menuruni jalanan gunung yang di tumbuhi pohon berdaun-musim gugur di tepinya, dan tiba di kota dimana kakak gadis itu tinggal.
Setelah makan ringan di sebuah restoran burger dan berkendara selama beberapa menit lagi, kami tiba di rumahnya.
Rumahnya sangat rapi. Di balik pagar bata, ada taman mawar segala musim yang dirawat-baik, dan di sudutnya ada ayunan dengan atap dari batu.
Dinding luarnya berwarna biru bagai melelah dengan langit, dan ada tiga jendela di lantai dua dengan bagian atas berbentuk bundar.
Rumah yang terlihat-menyenangkan. Disinilah kakak tiri gadis itu tinggal, katanya.
Tak seperti rumah orang tuaku, pikirku.
Tentu saja rumah yang biasa kutinggali tak memakan biaya, tapi penampilan luarnya menggambarkan kerusakan mental pemiliknya.
Dindingnya ditutupi lumut, dan di antara dindingnya banyak barang tak terpakai berserakan: sepeda roda tiga, sepatu roda, troli bayi, tatakan drum. Halaman depannya luas, tapi ditumbuhi rumput liar bagai menunjukkan rumah itu kosong, menjadi tempat berkumpulnya kucing liar.
Mungkin sesaat setelah aku lahir, rumah itu cukup membahagiakan untukku. Namun, setelah aku punya kesadaran-diri, orang tuaku memutuskan jika rumah itu tak layak. Walau aku hanya seorang anak kecil, mereka menganggapku sebagai beban berat. Lalu sejak awal kenapa orang-orang ini memutuskan untuk berkeluarga?, itu yang selalu kupikirkan.
Ketika ibuku pergi, saat itu begitu melegakan. Karena itulah yang sudah sewajarnya terjadi.
“Rumah yang bagus,” kataku.
“Kau berjaga di luar pagar. Kemungkinan 80, 90% aku tidak butuh bantuanmu. Kau cukup bersiap untuk langsung kabur.”
Gadis itu melepas jaketnya dan meninggalkannya denganku, berjalan melewati pagar dan masuk hingga ke pintu depan, lalu membunyikan bel di dinding. Suara jelas bel menggema.
Pintu kayu itu dibuka perlahan. Dari baliknya, keluarlah seorang wanita berusia sekitar 25 tahun.
Aku mengamati dari balik pohon. Ia mengenakan pullover rajutan hijau tua dengan motif abu-abu. Ia mengenakan sebuah alat pengeriting di rambut cat-coklatnya.
Matanya terlihat berwibawa, dan gerakannya ketika membuka pintu begitu anggun.
Jadi ia saudara gadis itu, gumamku. Mereka punya beberapa ciri wajah yang mirip, seperti mata yang entah kenapa-tidak berwarna dan bibir tipis.
Tetapi aku merasa usia mereka terpaut jauh untuk saudara, dan aku tak bisa membayangkan ia pelaku yang menyayat tangan gadis itu dengan pisau.
Aku tidak bisa mendengar perbincangan mereka, tetapi sepertinya tidak terlihat akan menjadi debat. Aku menyandar di pagar dan merogoh saku mencari rokok, tetapi aku meninggalkannya di mobil.
Tapi, aku penasaran. Dengan cara apa gadis itu membalaskan dendamnya?
Tepat sebelum tiba, aku melihat tasnya dan yakin ia tidak menyembunyikan senjata berbahaya apapun.
Ia menyerang ayahnya dengan palu, jadi apa ia akan melakukan hal yang sama pada kakaknya? Atau ia sudah menyiapkan senjata yang lain?
Meski, aku juga tak pernah memikirkannya. Pertanyaanku segera terjawab.
Hampir tepat ketika aku selesai dan melihat ke pintu depan lagi, aku melihat gadis itu terjatuh di atas Kakak perempuannya.
Kakak perempuannya segera mencoba menangkapnya, tapi tak bisa memegangnya, dan mereka terjatuh bersama. Dan begitulah.
Sementara si gadis berdiri, kakak perempuannya tidak menunjukkan tanda akan bangun lagi. Dan ia takkan pernah bangun lagi.
Aku berlari ke arah gadis itu, dan kejadian itu membuatku meragukan mataku. Sebuah gunting jahit besar ditusukkan tepat di dada kakak perempuannya. Satu mata gunting tajam menancap begitu dalam.
Gadis itu melakukan pekerjaan yang sangat bagus. Bahkan tidak ada teriakan.
Darah memenuhi jalan masuk, mengalir melewati celah di lantai.
Ia memeroleh yang ia inginkan dengan kecepatan mengejutkan.
Keheningan yang memaku itu mengingatkanku pada insiden pribadiku.
Ketika aku kelas 4 SD, dan jam olahraga hanya tersisa 30 menit lagi, guruku berkata kami boleh menghabiskan waktu dengan bermain dodgeball, dan anak-anakpun senang.
Pertandingan inipun menjadi acara yang agak-umum. Aku berbelok-belok untuk sampai ke ujung gedung olahraga dan berbaur dengan siswa lain yang menonton pertandingan.
Hampir setengah dari tiap tim sudah terkena bola, beberapa anak yang keluar mulai terlihat bosan. Mengabaikan hasil pertandingannya, mereka malah bermain sendiri.
Seseorang melakukan putaran ke depan dengan sempurna di bagian lantai tanpa alas, dan tak hanya itu, lima atau enam yang lain mencoba melakukan hal yang sama.
Hal ini menjadi lebih menarik dilihat daripada pertandingan, jadi mataku mengikuti lompatan dan putaran anak-anak itu.
Seorang anak gagal mendarat dan kepalanya terbentur lantai. Cukup keras hingga aku bisa mendengarnya dari jarak beberapa meter.
Semua orang behenti bergerak. Anak yang kepalanya terbentur lantai tak bangun selama beberapa saat.
Setelah sekitar sepuluh detik, ia memegang kepalanya dan merintih kesakitan –tetapi ia hanya membuat keributan untuk mengalihkan rasa malunya, bagai tidak terjadi sesuatu yang serius. Mereka yang mengelilinginya, juga, menyingkirkan rasa khawatir di kepala, menertawai anak yang terjatuh itu, lalu memukul dan menendangnya.
Aku yang pertama menyadari seorang anak yang bukan bagian dari gerombolan itu, dan ia terbaring dengan posisi yang aneh. Perhatian semua orang tertuju pada anak yang kepalanya terbentur lantai, jadi tidak ada satupun yang melihat ketika anak dengan reflek yang lambat itu mematahkan lehernya.
Satu persatu, orang-orang mulai menyadari anak itu tidak menggerakkan satu ototpun dan melihat ke arahnya. Akhirnya, guru olahraga menyadari ada yang salah dan berlari ke arahnya.
Sembari berbicara dengan nada yang tenang bahkan terlalu tenang, guru itu menyuruh para murid untuk tidak menyentuhnya atau menggerakkannya, dan berlarian di koridor.
Seseorang mengatakan “Tentu saja para guru yang berlarian di koridor,”
tetapi tidak ada satupun yang merespon.
Anak itu tidak pernah kembali ke sekolah. Kami diberitahu jika anak itu mematahkan saraf tulang belakangnya, tetapi sebagai siswa kelas empat, kami hanya bisa mengira “mungkin urat tendonnya yang sakit atau semacamnya.”
Tetapi untuk menyederhanakan seriusnya keadaan itu, guru kami menjelaskan bahwa “Ia akan menggunakan kursi roda seumur hidup” (Penjelasan yang diperhalus, sekarang kalau aku pikir –ia sudah benar-benar lumpuh dan harus menggunakan alat bantu pernafasan), dan beberapa anak perempuan mulai menangis.
Sungguh menyedihkan. Kami harusnya memerhatikannya. Lainnya mulai menangis juga, dan ada yang menyarankan “Ayo kita jenguk ia,” “Ayo membuat seribu bangau kertas untuknya.”. Anak sekelas berduka, dipenuhi niat baik dan tidak ada yang memikirkan diri sendiri.
Bulan depannya, guru memberitahu kami saat jam wali kelas jika ia meninggal. Anak yang terluka dan terbaring dengan tidak nyaman di lantai gedung olahraga dan wanita yang roboh di depan kami sekarang bertumpuk di pikiranku.
Terkadang, hidup bisa hilang dengan mudahnya, bagai tersapu oleh angin.
Gadis itu meletakkan jarinya di pegangan gunting, menarik nafas, dan membuka lukanya lebih dalam. Ia jelas memiliki niat membunuh. Dengan erangan seliar binatang, tubuh yang terjatuh itu bergemetar dan gaduh.
Saat memotong apa yang kuduga sebagai aorta perut, percikan darah memancar, mencapai kakiku yang dua meter jauhnya.
Gadis itu berbalik, dan blus putihnya terwarnai dengan darah yang merah.
“…Kau tidak bilang akan melakukannya sejauh ini,”kataku pada akhirnya. Aku bermaksud terdengar tidak terpengaruh, tetapi suaraku bergemetar pelan.
“Memang tidak. Tapi aku tidak ingat berkata tidak akan membunuhnya.”
Mengelap beberapa bercak darah di pipinya, ia terduduk di lantai.
Aku melepas kaca mata hitamku dan melihat kakak gadis itu. Wajahnya tak karuan dalam penderitaan bagai tak melihat apa yang terjadi sebelumnya.
Suara seperti-seruling terdengar dari tenggorokannya, dan ia terbatuk darah.
Sekarang, tak mungkin mengetahui apa warna asli pullovernya.
Bau busuk melekat begitu jelas dengan bau darah; seperti tumpukan sampah, atau bak mandi dipenuhi muntah. Apapaun itu, bau itu adalah bau kematian yang tidak akan pernah kulupa setelah sekali hirup.
Aku bergemetar hebat, dan mencoba bernafas dengan tenang agar tidak muntah. Penglihatanku meluas, dan aku melihat bagaimana jalan masuk berubah menjadi lautan darah. Jika ini adalah adegan dalam acara TV, darah ini cukup untuk membuat reaksi yang berlebihan.
Manusia pasti bukan apa-apa kecuali kantung darah, simpulku, karena ada darah sebanyak ini. Aku tahu kalau aku hanya akan membuat diriku merasa semakin tidak enak, tetapi mataku tak bisa lepas dari perut yang tersobek.
Warna darah itu lebih gelap dari yang kupikir, walau yang memancar jelas-jelas berwarna terang. Warna yang sungguh mirip dengan bunga geranium yang mekar dari vas di atas kotak sepatu.
Hal itu mengingatkanku pada korban malang yang meninggal di jalan ketika aku menyetir di pagi hari.
Tidak peduli indah atau buruk rupa, tidak peduli binatang atau manusia, mereka akan terlihat sama, sekali kau menyobek lapisan kulitnya.
Ya, anehnya aku memikirkannya dengan begitu tenang. Inilah yang disebut kematian. Apa yang aku lakukan pada gadis itu dasarnya sama dengan tragedi di depan mataku saat ini.
Walau hal itu belum terasa atau bahkan belum menjadi kenyataan karena penundaan gadis itu, aku telah merubahnya menjadi onggokan daging tidak bernyawa.
Mungkin mayatnya bahkan lebih tragis dari ini.
Setelah mundur untuk menjauhkan sepatuku dari darah, aku bicara.
“Dengar, aku mengikuti semua ini untuk memerbaiki kejahatanku telah menabrakmu. …Tetapi membantumu membunuh orang itu benar-benar berbeda. Aku tidak ingin mencuci darah dengan darah.”
“Kau tidak harus ikut kalau tidak ingin. Aku tidak ingat memaksamu membantuku,” perjelas gadis itu. “Dan sekali penundaanku
berakhir, segala tindakanku tidak akan pernah terjadi. Sekeras apapun usahaku, aku hanya bisa memberikan seseorang kematian sementara. Jadi apapun yang aku lakukan bukankah akhirnya juga tidak apa-apa?”
Jadi begitulah. Gadis ini sudah meninggal. Tidak peduli apapun yang ia lakukan setelah 27 Oktober, hari kecelakaan itu, ia tidak akan ada selama itu.
Gadis yang tidak ada takkan bisa membunuh siapapun. Ia bisa membunuh ratusan orang setelah 27 Oktober, karena setelah penundaan berakhir, semua tidak akan terhitung.
Seperti seorang pemain yang masih ada di lapangan setelah didiskualifikasi. Mereka bisa menghasilkan poin, tetapi di akhir permainan, mereka hanya kalah tanpa menghasilkan apapun.
Seperti yang gadis itu katakan, ia merasa bisa melakukan apapun yang ia inginkan.
Akhirnya, hal itu tidak akan menghasilkan apapun kecuali kepuasan-diri tanpa melukai siapapun. Tidak ada bedanya dengan menjadi pembunuh murni dalam imajinasimu.
Kalau begitu, bukankah tak apa punya satu kesempatan melakukan sesuatu sesukamu sebelum meninggal? Tidak, walau hanya sementara, kau menusuk seseorang, membuat mereka berdarah dan menderita. Pembunuh tetaplah pembunuh. Perbuatan itu takkan pernah dimaafkan, kan?
Saat ini bukan waktunya memperdebatkan hal tanpa akhir itu, pikirku. Prioritas utama kita adalah melarikan diri dari mayat itu secepat mungkin; diskusi seperti itu tidak pas di tempat ini.
“Sementara ini kita harus pergi dari sini. Bahaya jika seseorang melihat ada darah padamu.”
Gadis itu mengangguk. Aku melepas jaketku dan meletakkannya di pundaknya. Meritsleting kerah-berdiri jaket nilon, kau tidak bisa mengetahui bercak darah di baliknya dari kejauhan.
Jaket itu cukup mahal dan bagus, tapi aku tidak perlu mengkhawatirkannya, karena semua akan kembali normal setelah penundaan itu berakhir.
Aku melihat sekeliling di pagar memastikan tidak ada orang di sekitar dan memberi sinyal pada gadis itu.
Tetapi ia hanya duduk di lantai, tidak bergerak.
“Ayo, apa yang menghentikanmu? Cepatlah.” Aku segera kembali padanya dan memegang tangannya untuk mengangkatnya.
Tetapi ia terjatuh ke tanah bagai boneka yang putus benangnya.
“Oh begitu. Jadi ini yang dimaksud dengan kaki yang lemas,” gumamnya bagai mengamati orang asing. “Aku kira aku tidak bisa lagi menertawakanmu karena hal ini. Menyedihkan…” gadis itu terduduk. Dengan kaki tanpa energi, gadis itu merangkak di tanah dengan tangannya. Ia terlihat seperti putri duyung yang berjuang keras naik ke pantai. Walau ia berusaha tenang, tetapi ia terlihat cukup panik.
“Tidak bisa segera bangun?”
“Tidak. …Ada baiknya juga aku membawamu. Sekarang gendong aku kembali ke mobil.”
Ia memasrahkan kedua tangannya padaku dengan rasa angkuhnya yang begitu jauh dari rasa malu akan keadaan menyedihkannya saat ini. Tetapi tangannya bergemetar seperti anak kecil yang di lempar ke salju yang membeku.
Aku dengan lembut mengangkatnya. Ia lebih berat dari kelihatannya, tetapi cukup ringan sehingga aku bisa berlari dengan menggendongnya di punggungku jika perlu.
Ia bermandikan keringat dingin.
Memastikan kembali tidak ada orang di sekitar, aku membawanya ke kursi penumpang.
Dengan hati-hati memeriksa batas kecepatan, aku sebisa mungkin memilih jalan yang tidak banyak orang. Tanganku berkeringat di kemudi.
Menyadari seberapa seringnya ku melihat spion, gadis itu memberitahuku “kau tidak perlu khawatir. Bahkan walau kita dipenjara karena hal tadi, aku yakin bisa mengembalikan semua seperti semula. Aku bisa menyingkirkan hal buruk dengan cara itu.”
Aku tetap terdiam, bahkan tidak menjawab pertanyaannya.
“Apa ada yang ingin kau katakan?”, tanya gadis itu.
“…Apa kau benar-benar harus membunuhnya?”, aku gelisah, melupakan penilaian baikku di depanya. “Aku tahu kau bilang kakakmu melakukan hal yang buruk paamu. Tapi apa ia sebegitu jahatnya hingga harus dibunuh? Apa kau tidak bisa memberi luka yang sama di telapak tangannya? Apa yang ia lakukan? Aku hanya ingin penjelasan yang jelas.”
“Biar aku tanya padamu. Apa kau akan mengizinkan pembunuhan jika punya alasan yang jelas?,” tekannya. “Misalnya, saat mencoba menghentikan pertengkaran antara ibu dan kakakku, aku harus
disayat pisau, membuatku tidak bisa memainkan piano, hal yang membuatku hidup. Atau saat orang yang kakakku bawa pulang setiap minggu memaksaku minum alkohol kuat, dan ketika aku memuntahkannya, mereka menggunakan kejut listrik padaku. Atau saat ayah mabukku menyolokkan rokoknya di rambutku, mengatakan padaku kalau aku hanya menghabiskan ruang dan harusnya membunuh diriku sendiri. Atau saat di sekolah, aku dipaksa dan diharuskan meminum air got, dicekik hanya untuk bercanda, dipotong rambut dan bajunya dengan sebutan “pembedahan”, didorong ke kolam beku di musim dingin dengan kaki ditali… jika aku menceritakan semua situasi itu, apa kau butuh alasan lagi untuk balas dendam?”
Jika ia memberitahuku semua ini sebelumnya, aku mungkin sulit untuk percaya. Aku mungkin mencernanya sebagai kebohongan kosong, atau setidaknya melebih-lebihkan.
Tetapi beberapa saat lalu setelah melihatnya membunuh kakaknya, aku dengan mudah menerimanya sebagai kenyataan.
“…Aku menarik kata-kataku. Aku minta maaf. Aku pikir aku membawa kembali ingatan burukmu,” kataku meminta maaf.
“aku tidak bilang kalau itu aku.”
“Baiklah. Itu hanya hipotesisku.”
“Aku bukan balas dendam hanya karena ingin menghukum mereka. Rasa takut yang mereka tinggalkan hanya bisa pergi jika mereka sepenuhnya hilang dari dunia ini. Seperti kutukan. Aku tidak akan pernah tidur dengan tenang selama mereka masih ada, dan aku tidak bisa benar-benar menikmati sesuatu. Aku membalaskan dendam untuk menguasai rasa takutku. Setidaknya sekali sebelum aku meinggal, aku hanya ingin tidur nyenyak di dunia tanpa mereka.”
“Kurasa aku mengerti,” anggukku. “omong-omong, apa kau juga membunuh ayahmu?”
“entahlah.” Ia menggelengkan kepala, dan bagai untuk menjernihkan pikirannya, ia mengambil rokok dari bungkusnya di dasbor, menyalakannya, dan terbatuk.
Ia bilang ia memakai palu ketika membalaskan dendam pada ayahnya. Tergantung dari bagian mana yang kau pukul, kau bisa dengan mudah membunuh orang dengan palu.
Aku tidak ingat entah di belakang kepala atau di leher, tapi jika kau memukul di daerah itu, bahkan gadis belia bisa membunuh pria dewasa, aku pernah mendengarnya.
“apa kakimu sudah baikan?”
“…Aku kira masih sulit untuk berjalan,” katanya sambil mengembuskan asap rokok, dan mengerutkan alisnya. “Rencananya adalah langsung pergi ke target balas dendam selanjutnya, tapi aku cukup menyedihkan sekarang. Memang tidak efisien, tapi ayo kembali ke apartemen.”
Aku tiba-tiba tersadar. “Apa kau tidak bisa menunda hal kecil seperti itu?”
Gadis itu menutup mata untuk memilih kalimatnya dengan hati-hati. “Kalau ini luka atau penyakit yang parah, aku bisa melakukannya. Tapi sulit menunda sesuatu yang akan sembuh sendirinya. Dalam kasus itu, keinginanku terlalu lemah. Jiwaku harus berteriak “Aku tidak terima ini terjadi.””
Aku menerima penjelasannya. Teriakan jiwa, kah.
Butuh waktu beberapa saat untuk menyadari bau darah memenuhi bagian dalam mobil. Darah yang terpercik ke gadis itu.
Aku membuka jendela untuk mengeluarkannya, tetapi bau seperti senar gitar berkarat yang direbus dengan ikan busuk menyebar di mobil dan tidak bisa hilang.
Gadis itu telah menyobek perut kakaknya. Mungkin itu bukan hanya bau darah, tapi juga bercampur dengan lemak dan cairan saraf dan getah pencernaan.
Bagaimanapun juga, bau itu adalah bau kematian.
“Dingin,” kata gadis itu.
Aku menyerah mengeluarkan bau itu, menutup jendela, dan menyalakan penghangat.
———-
Bintang terlalu indah, di malam ketika aku menjadi saksi mata pembunuhan di depan mataku.
Untungnya, kami berhasil kembali ke apartemen tanpa seorangpun yang menghentikan. Sesegera mungkin menaiki tangga berdebu, aku mencoba membuka pintu kamarku, tetapi kesulitan mencocokkan kunci. Tepat saat itu, aku mendengar seseorang menaiki tangga.
Saat melihat kunci itu, aku sadar aku mencoba memasukkan kunci mobil ke pintu. Aku mendecakkan lidahku, menukar kuncinya untuk membuka pintu, dan mendorong gadis itu masuk.
Orang yang menaiki tangga itu adalah tetanggaku, si mahasiswi seni.
Ketika ia melihatku, dengan lemas ia mengangkat tangan untuk menyapa.
“Pergi keluar sendiri? Tidak biasanya,” kataku dengan santai.
“Siapa gadis itu?”, tanyanya.
Bahkan walau kebohongan bisa membuatku keluar dari situasi ini, hal itu hanya akan memperburuk keadaan nantinya. Menjawab jujur ada pilihan tepat saat ini.
“Gadis yang tak kutahu namanya.” Setelah mengatakannya, aku sepertinya juga mendeskripsikan gadis di depanku itu. Ya, aku pernah mendengarnya sekali dua kali, tapi namanya benar-benar tidak kuingat. Aku selalu buruk dalam mengingat nama. Karena aku jarang punya kesempatan menggunakannya.
“Hmph,” mahasiswi seni itu mendengus penuh ejekan. “Oh begitu. Jadi tuan pengurung-diri membawa seorang yang belum dewasa ke kamarnya?”
“Benar sekali. Em, bagaimana aku harus menjelaskan hal ini…”
“Haus darah gadis muda?”, tebaknya dengan senyum simpul.
“Cukup… dengarkan saja penjelasanku.”
“Baiklah.”
“Sebenarnya cukup rumit. Ia membutuhkan pertolongan saat ini, dan hanya aku yang bisa ia andalkan.”
Setelah diam beberapa detik, ia berbisik. “apa ini ada hubungannya dengan”kecelakaan” itu?”
“Ya. Membantunya akan memerbaiki semuanya. …mungkin.”
“Oh,” gadis itu mengangguk. Ia cukup cepat memahami sesuatu. “Kalau begitu, aku tidak akan menganggu lagi. Tapi beritahu aku kalau kau punya masalah. Walau, aku tidak yakin bisa memberi banyak bantuan.”
“Terima kasih.”
“Omong-omong, noda apa itu?”
Mahasiswi seni itu melihat ke kakiku. Ada noda merah gelap sekitar empat sentimeter di bagian lutut jeans pudarku. Aku tidak sadar sampai ia menunjukkannya.
“Noda apa itu? Kapan kau mendapatkannya?”
Keterjutanku adalah bukti, tetapi aku mencoba pura-pura tidak tahu bagaimana noda itu ada di sana. Walau begitu, aku tahu reaksiku mungkin menjelaskan seluruh cerita.
“Ya, noda apapun itu, kau sebaiknya segera mencucinya. Sampai nanti.”
Setelah mengatakannya, mahasiswi seni itu kembali ke kamarnya.
Aku mengelus dadaku lega dan membuka pintu kamarku.
Lampunya sudah menyala.
Gadis itu memanggil dari ruang cuci. “Dimana kau menyimpan deterjen?”
Ia mencuci blusnya yang terkena darah, sepertinya; aku mendengar suara baskom yang diisi air.
“Seharusnya ada di sekitar kakimu,” kataku cukup keras untuk ia dengar.
“Apa kau bawa baju ganti?”
“Tidak. Pinjamkan aku sesuatu.”
“Ambil saja apapun yang kering. Seharusnya semua sudah kering.”
Aku mendengar suara pintu mesin cuci, dan pintu kamar mandi dibuka.
Sementara gadis itu mandi, aku berbaring di sofa memikirkan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.
Detik-detik ketika gadis itu menusuk kakaknya dengan gunting, batuk lemah wanita yang ditusuk perutnya, blus yang terkena
percikan darah, bau organ dalam kakak gadis itu, kolam darah merah tua di sepanjang lantai, dan malam sunyi yang mencekam.
Semuanya terbakar di balik pikiranku. “Merinding hingga ke sumsum tulang” tidak terlalu benar; mungkin cocok, mungkin juga tidak. Bagaimanapun, pikiranku digoyahkan karena menjadi saksi mata, untuk pertama kali di hidupku, dalam kehidupan pribadi orang asing.
Hal yang aneh adalah, semua itu tidak terlalu bersensasi tidak menyenangkan. Aku menghargai Peckinpah, dan Tarantino dan Takeshi Kitano, dan kupikir jika aku benar-benar berhadapan dengan adegan berdarah seperti salah satu film mereka, aku akan pusing dan pucat.
Tapi nyatanya? Aku tidak terlalu merasa tidak enak, takut, atau menyalahkan-diri; sebaliknya, aku merasakan rasa haru sama seperti saat melihat predator dan mangsanya, atau adegan bencana besar.
Walau, aku sadar jika seharusnya aku merasa bersalah.
Aku tidak tahu cara menenangkan diri selain meminum alkohol. Aku menuangkan segelas whiskey, menambahkannya dengan air dengan jumlah sama, dan meminumnya. Aku tidak melakukan apapun seterusnya, hanya mendengarkan suara detik jam.
Gadis itu kembali setelah mengeringkan rambutnya, mengenakan piamaku dan parka yang terlalu panjang. Parka itu bahkan terlalu besar untukku, tetapi parka itu sepanjang pahanya, sehingga berubah menjadi one-piece baginya.
“Pastikan kau keringkan bajuku,” katanya. “aku akan tidur.”
Ia segera berbaring di kasur, tetapi mengingat sesuatu, duduk, mengambil sesuatu dari tasnya, dan kembali ke kasur menutupi dirinya dan barang itu.
Tidak perlu diragukan kalau itu adalah boneka beruangnya. Memeluknya erat di bawah dagunya, ia menutup matanya.
Aku mengambil blus dari mesin cuci dan mengeringkannya dengan hair dryer. Aku bisa saja menggunakan pengering di tempat cuci, tapi berkeliling di luar dengan sehelai pakaian yang darahnya masih belum sepenuhnya hilang terlihat… janggal.
Ada baiknya membelikan gadis itu pakaian esok hari, pikirku. Dia mungkin masih belum menghadapi banyak darah lagi.
Balas dendam. Aku jelas tidak bisa memahami perasaan gadis itu. Aku tidak pernah merasakan kemarahan besar hingga ingin membunuh seseorang. Hidupku sudah lama hancur, tapi bukan karena orang lain. Yang menghancurkannya tidak lain adalah aku.
Terlebih lagi, aku sangat buruk dalam mengekspresikan “kemarahan” sejak kecil. Dan aku tidak bisa mengatakan jika hal itu karena rasa pengendalian-diri yang kuat; aku hanya tidak percaya jika kemarahanku akan berdampak pada orang lain.
Kapanpun aku merasa jengkel, aku menyerah lebih dahulu dan meyakinkan diriku jika mengamuk takkan berakhir baik, berkali-kali menghentikanku di situasi dimana aku seharusnya marah.
Walau kebiasaan itu berguna untuk menghindari masalah, dalam jangka panjang, kupikir hal itu ikut membantu turunnya rasa semangat hidupku.
Aku iri pada orang yang bisa menunjukkan kemarahan tanpa ragu. Dalam hal itu, walau hanya sedikit, aku iri pada gadis itu.
Walau jelas sekali, aku juga bersimpati pada keadaan buruknya, dan merasa beruntung tidak hidup seperti itu.
Setelah selesai mengeringkan blus gadis itu, aku melipat dan meletakkannya di samping kasur.
Kembali ke ruang cuci, aku mengganti baju dengan piama, tetapi aku merasa terlalu terjaga untuk tidur. Menggigil kedinginan, aku menunggu mahasiswi seni itu muncul di beranda.
Tapi di hari seperti ini, dia tidak akan muncul. Tidak terlalu jauh, aku mendengar suara sirine ambulan.
Tepat setelah aku memutuskan untuk masuk, telfon genggam di saku-ku bergetar dengan suara yang membosankan.
Gadis itu tertidur di dalam, dan Shindo sudah meninggal, jadi tidak akan ada satu orangpun yang berniat menelfonku.
“Halo?”, jawabku.
“Dimana kau sekarang?”, tanya mahasiswi seni.
“Bukankah kau melihatku di lorong? Aku di apartemen. Kau?”
“Tentu saja, aku juga di apartemen.”
Jadi kami berbicara lewat telfon walau kamar kami bersebelahan.
“Kalau begitu keluarlah ke beranda. Aku baru saja keluar merokok.”
“Tidak terima kasih. Dingin di luar.”
“Tidakkah kau pikir kalau ini hanya menghabiskan pulsa?”
“aku suka berbicara dengan orang lewat telfon. Menenangkan rasanya. Kau bisa menutup mata dan cukup mendengarkan suara mereka. Aku juga suka bagaimana suaramu terdengar lewat telfon.”
“hanya suaraku, kah.”
Mahasiswi seni itupun tertawa.
“Apa semua berjalan lancar dengan gadis yang kau bawa pulang?”
“Kupikir kau sedang salah paham disini, jadi biar kukatakan…”,
Kataku dengan tegas. “Aku jelas-jelas tidak tertarik pada gadis ini. Agar semuanya jelas.”
“Aku hanya menggodamu. Tentu saja aku tahu tidak ada hal semacam itu.”
Aku mengerutkan keningku padanya, walau dia tidak disini.
“Jadi kau menelfon hanya untuk mengerjaiku?”
“Itu juga. Tapi aku juga kepikiran sesuatu.”
“Apa itu?”
“Aku tidak ingin melihat seseorang, tapi aku ingin berbicara dengan seseorang.”
“Repot juga.”
“Walau, aku biasanya akan merepotkanmu. Aku tahu kau sedang sibuk.”
“Maafkan aku.” Aku membungkuk pada dinding. “Maksudku, biasanya aku bosan setengah mati.”
“Ya, emm, aku yang salah karena kesepian di saat yang salah. Tetapi… aku tetap tidak menyukainya.”
“Tidak suka apa?”
“Bagaimana aku harus mengatakannya… Kukira, emm, kau seperti bukan dirimu hari ini.” Ada beberapa detik keheningan. “Ya, begini, biasanya kau punya mata seperti kau tidak ingin pergi kemanapun. Mata yang tidak benar-benar fokus pada sesuatu, yang melihat segalanya tapi tidak melihat apapun, mata orang yang tidak peduli. Itulah kenapa aku bisa tenang di sekitarmu. Tapi… ketika kita bertemu di lorong, matamu tidak seperti itu.”
“Kalau begitu terlihat seperti apa?”
“Aku tidak bisa memberitahumu,” katanya tergesa-gesa. “Gadis itu sudah tidur, kan? Kalau kau terlalu keras, kau mungkin membangunkannya. Jadi kita sudahi disini. Walau aku nanti mungkin akan menelfonmu lagi kalau berubah pikiran. Selamat malam.” Katanya menutup telfon.
Aku tetap di beranda selama sekitar satu jam. Tetapi ketika aku kembali ke kamar, gadis itu masih belum tertidur.
Ia tidak menangis malam ini. Sebaliknya, ia bergemetar. Meringkuk di kasur, menggenggam erat bantal dan bonekanya, bernafas tidak teratur. Dan jelas bukan dinginnya udara penyebabnya.
Kalau akhirnya ketakutan, harusnya sejak awal ia tidak perlu membunuh orang lain, pikirku. Tetapi tidak akan semudah itu. Seperti yang ia katakan, ia hidup tanpa memikirkan yang lain.
Ia membunuh bukan hanya karena ingin balas dendam. Tetapi, karena ia juga tidak punya hal lain untuk dilakukan.
———-