Pain, Pain, Go Away - Chapter 3 Vol 1 Bahasa Indonesia
Bab 3: Mencetak Poin
Translator: Kaon Nekono
Kupikir siapapun yang mengalami situasi seperti ini tidak bisa tidur.
Tetapi setelah mandi air panas, berganti baju, dan merebahkan diri di kasur, kelopak mataku mendadak terasa begitu berat, dan aku tidur bagai orang mati selama enam jam penuh.
Saat aku bangun, anehnya tubuhku tidak sakit. Malah, tekanan selama beberapa bulan terakhir itu hilang.
Aku duduk untuk memeriksa handphone dan sadar jika tidak ada pesan masuk. Gadis itu masih belum membutuhkanku, pikirku. Aku berbaring lagi dan menatap langit-langit.
Kenapa aku merasa lega walau kemarin malam sudah menabrak seseorang?
Berbeda total dari penyesalan berat kemarin, pikiranku lebih jernih dari yang pernah kuingat.
Memikirkan hal itu sembari mendengar suara tetesan hujan dari atap, aku membuat sebuah kesimpulan.
Mungkin aku terbebas dari rasa takutku akan jatuh lebih dalam dan dalam. Di tengah keadaanku yang sengsara, aku merasa membusuk. Jadi aku dipenuhi rasa khawatir akan seberapa dalam aku terjatuh dan seberapa buruknya hal itu.
Tetapi kejadian kemarin malam menjatuhkanku langsung ke dasar. Karena terjatuh pada titik dasarku, aku merasakan kenyamanan yang begitu besar di dalam kegelapan itu. Bagaimanapun, aku tidak bisa jatuh lebih dalam lagi. Dibanding rasa takut jatuh tanpa dasar, rasa sakit terjatuh di tanah jauh lebih nyata dan dapat kutahan.
Tidak ada lagi yang akan hilang dariku. Aku tidak punya harapan untuk dikhianati, jadi aku tidak punya rasa putus asa. Jadi aku merasa tentram. Tidak ada yang bisa diandalkan selain kepasrahan.
Aku pergi ke beranda untuk merokok. Beberapa kawanan gagak hinggap di tiang listrik di kejauhan, dan beberapa terbang berkeliling bersuara begitu keras. Waktu berlalu dan aku mengubah kira-kira satu sentimeter rokok menjadi abu, aku mendengar suara perempuan dari beranda sebelah.
“Selamat sore, Tuan Pengurung Diri”
Aku menengok ke sisi kiriku dan melihat seorang perempuan dengan lembut melambaikan tangan padaku. Ia mengenakan kaca mata, dengan potongan rambut bob, dan mengenakan piama.
Dia gadis yang tinggal di kamar sebelah, seorang mahasiswi jurusan seni. Aku tidak ingat namanya. Tapi bukan karena aku tak peduli padanya atau apalah. Aku hanya buruk dalam mengingat nama, hanya itu yang cocok dengan sifat introvert-ku.
“Selamat sore, Nona pengurung diri,”balasku.
“Kau bangun pagi hari ini.”
“Beri aku itu,” minta mahasiswi seni itu. “sesuatu di mulutmu.”
“Ini?”, aku bertanya, sembari menunjuk rokok.
“Ya. Itu.”
Aku mengambil dan memberi rokok yang terhisap-sebagian. Seperti biasa, berandanya dipenuhi tanaman dekorasi, seperti miniatur hutan.
Dia punya tangga kecil yang menggantung di ujung kiri hingga kanan untuk tempat bunga, dan kursi taman merah diletakkan di tengah. Tanamannya juga dirawat dengan hati-hati dan terlihat berwarna dan hidup, tidak seperti pemiliknya.
“Jadi kau pergi keluar kemarin?,” katanya mengamati, sembari meghisap rokok ke paru-parunya. “Tidak kusangka kau melakukannya.”
“Hebatkan aku?”, balasku. “Oh ya, aku ingin minta sesuatu padamu. Kau mendapat kiriman koran tiap hari, kan?”
“Ya, tapi aku hanya membaca halaman depannya saja. Lalu kenapa?”
“Aku ingin membaca koran pagi ini.”
“Hmm. Oke, kalau begitu kemarilah,” kata Mahasiswi seni itu. “Aku juga akan memintamu, untuk ikut jalan-jalan malam ini.”
Aku keluar ke koridor dan masuk ke kamarnya. Ini saat kedua dia membiarkanku masuk. Yang pertama saat ia memintaku menemaninya minum untuk menghapus kesedihannya, dan jujur saja, aku tidak pernah melihat seseorang tinggal di tempat yang seberantakan ini seumur hidupku.
Maksudku, bukan tentang kotornya. Kamarnya cukup tertata. Hanya saja ukuran kamar dan jumlah barangnya yang tidak pas. Dia pasti tipe orang yang tidak akan membuang-sesuatu dan benar-benar berkebalikan denganku, yang hanya punya mebel dasar dan sejenisnya.
Kamar mahasiswi seni itu tidak lebih bersih dari sebelumnya. Malah, lebih banyak barang memenuhinya.
Ruang tamunya difungsikan sebagai ruang kerjanya, jadi ada rak besar sepanjang dinding dengan koleksi seni dan foto album yang begitu banyak, begitu juga koleksi rekaman yang penuh sesak mengisi ruang seadanya.
Di atas rak, kotak kardus ditumpuk hingga ke langit-langit, dan aku hanya bisa membayangkan bencana yang bisa terjadi kalau sampai gempa bumi mengguncang.
Salah satu dindingnya ditempeli poster Film Prancis dan kalender tiga tahun lalu. Di salah satu sudutnya terdapat papan gabus, dengan foto artistik yang ditancapkan dengan sembarang menutupi seluruh permukaannya.
Di atas satu dari dua meja terdapat sebuah komputer besar, dengan pulpen dan pensil yang habis dipakai berserakan di depannya. Meja lainnya bersih dan tertata, hanya ada sebuah recorder player di kabinet kayunya.
Sembari duduk di kursi beranda, aku melihat tiap baris di koran itu disinari matahari tebenam. Seperti dugaanku, tidak ada satupun berita tentang kecelakaan itu. Mahasiswi seni itu melihat koran dari sampingku. “Sudah lama aku tidak membaca koran.. tapi aku juga tidak terlalu rindu,” gumamnya keras.
“Terima kasih,”kataku, dan mengembalikan koran itu.
“Sama-sama. Sudah menemukan artikel yang kau cari?”
“Tidak, tidak ada.”
“hee, sayang sekali.”
“Tidak, malah sebaliknya. Aku lega tidak ada artikel itu. Emm, bisa kumelihat TV mu, juga?”
“Kau bahkan tidak punya TV di kamarmu?” Mahasiswi seni itu bertanya, dengan heran. “Kupikir aku tidak akan sering melihatnya, jadi sejujurnya itu bukan hal yang kubutuhkan, tapi…”
Ia merogoh kolong kasurnya, menarik sebuah remot, dan menyalakan TV-nya.
“Omong-omong, kapan berita lokal mulai?”
“Sebentar lagi, mungkin. Aneh mendengar seorang pengurung-diri tertarik dengan berita. Penasaran dengan dunia luar?”
“Bukan, aku membunuh seseorang,” kataku. “aku tidak bisa berhenti membayangkan jika kejadian itu akan masuk berita.”
Dia berkedip, masih melihat padaku.
“Tunggu. Apa?”
“aku menabrak seorang gadis kemarin malam. Aku menyetir cukup cepat untuk membunuhnya, Aku yakin itu.”
“Emm… kau tidak bercanda, kan?”
“Tidak.” Kataku menggeleng. Karena dia orang yang sama sepertiku, aku merasa nyaman memberitahunya. “Dan saat menabraknya, aku benar-benar mabuk whiskey. Bahkan aku tidak punya secuil pun alasan melakukannya.”
Diapun melihat koran di tangannya.
“Kalau itu benar, aneh sekali kalau tidak ada berita tentangmu. Apa menurutmu mereka belum menemukan jasadnya?”
“Ya, ada beberapa insiden, dan aku masih bisa menghindarinya selama sembilan hari. Dalam batas waktu itu, aku yakin kejahatanku tidak akan pernah terbongkar. Aku yakin setelah membaca koran itu.”
“Ya, aku tidak paham.” Ia menyilangkan tangannya. “Apa kau punya waktu bicara denganku? Bukankah seharusnya kau menghapus bukti, kabur entah kemana, melakukan hal yang seperti itu?”
“Kau benar, ada hal yang harus kulakukan. Tapi aku tidak melakukannya sendiri. Aku harus menunggu telfon.”
“…Baiklah. Ya, aku masih punya banyak keraguan, tapi yang kumengerti adalah kau melakukan kejahatan yang serius.”
“Ya, benar sekali.”
Saat itu, ekspresi mahasiswi seni itu semakin cerah. Ia mencengkram bahuku dan menggoyangkan tubuhku, wajahnya berseri lebih dari sekedar “bahagia”.
“Dengar, aku seperti, sangat bahagia saat ini,” katanya. “Aku merasa jauh lebih baik.” “Kau bahagia di atas penderitaanku?”, tanyaku dengan senyum pahit.
“Ya. Aku senang karena tahu kalau kau adalah pecundang yang tidak tertolong.”
Tidak benar juga kalau aku menyebut mahasiswi seni itu berpikiran pendek, senyum mahasiswi seni itu melebar karena perhatiannya pada kesialanku. Yang membuatku merasa sedikit lebih baik.
Reaksi seperti ini yang membuatku jauh lebih nyaman daripada rasa simpati dan rasa khawatir. Bagaimanapun perasaannya menjadi lebih positif berkatku.
“Jadi kau sudah lulus dari pengurung-diri menjadi pembunuh.”
“Bukankah itu langkah mundur?”
“Itu langkah maju di bukuku. …Hei, ayo jalan-jalan malam ini. Kita akan menghabiskan penundaan terbatasmu itu. Bagaimana? Lega sekali memilikimu.”
“Aku merasa terhormat”
“Bagus. Bagaimana kalau seteguk?” Ia menunjukkan sebotol bir di depan rak. “Bukankah ada banyak hal yang ingin kau lupakan, dan tidak ingin kau pikirkan?”
“Aku menahan diri untuk minum. Aku ingin mengemudi dengan baik saat ada telfon.”
“Oh begitu. Ya, kalau begitu air untukmu, tuan pembunuh. Karena, emm, hanya air dan bir yang kupunya.”
Melihatnya menjatuhkan es ke gelasnya dan menuangkan whiskey, tiba-tiba aku merasakan kesedihan yang nostalgia. Sensinya aneh; aku merasa kami seperti ada di dalam buku atau lukisan.
“Maaf, bisakah aku mendapat segelas juga?.”
“Itu yang akan kuberi padamu.”
Dia segera menuangkan whiskey ke gelas lainnya.
“Kalau begitu, bersulang.”
“Bersulang.”
Bibir gelas kami bersentuhan dan menciptakan suara dentingan sepi.
“Aku tidak pernah minum dengan pembunuh sebelumnya,” katanya sembari memeras air lemon ke gelasnya.
“Ini adalah kesempatan sekali-seumur hidup. Pastikan kau menikmatinya.”
“Tentu saja,” ia tersenyum lebar, dan dengan perlahan menyipitkan matanya.
———-
Mahasiswi seni tetanggaku dan aku berkenalan beberapa waktu setelah aku mengurung diri.
Suatu hari, aku berbaring di kasur dan mendengarkan musik. Memainkannya dengan volume keras tanpa memedulikan siapapun, tidak lama kemudian ketukan pintu terdengar keras.
Apakah itu pendeta pintu-ke-pintu? Pengantar koran? Aku memutuskan untuk mengabaikannya, tetapi ia terus mengetuk. Merasa terganggu, aku menaikkan volume, dan pintupun dibuka paksa. Aku lupa menguncinya.
Pengganggu berkaca mata itu entah kenapa tidak asing bagiku. Kurasa dia adalah tetanggaku, datang untuk mengeluh tentang kebisingan itu.
Aku mempersiapkan diri menghadapi caciannya, tetapi ia hanya pergi ke CD Player di sebelah kasurku, mengeluarkan CD nya, menukarnya dengan yang lain, dan kembali ke kamarnya tanpa mengatakan apapun.
Rasa kesalnya bukan pada volume, tapi pada selera musikku.
Aku menekan play tanpa memeriksa apa yang ia masukkan dan ternyata adalah instrumental gitar pop yang semanis jus jeruk, yang membuatku sedikit kecewa. Aku sempat berharap ia merekomendasikan padaku sesuatu yang sangat bagus, tetapi tidak.
Jadi itulah saat pertama aku bertenu dengan mahasiswi seni. Walau aku belum sadar jika ia adalah Mahasiswi seni hingga beberapa saat kemudian.
Dia dan aku sama-sama benci keluar, tapi pergi ke beranda cukup sering. Bedanya adalah dia menyiram bunga dan aku merokok, tapi tetap, kami sadar jika kami semakin dekat tiap kali bertemu. Tidak ada sesuatu yang menghalangi kami, jadi ketika aku melihatnya, aku menundukkan kepalaku karena tidak terlalu kenal. Aku menyapanya, dan dengan mata mengawasiku, ia membalas sapaanku.
Lalu, suatu hari di akhir musim panas, dia keluar menyirami tanamannya, dan aku menengok ke samping kiri dan bicara padanya.
“Kau cukup menakjubkan, merawat tanaman itu sendiri.”
“Tidak juga,”gumamnya dengan suara yang hampir tidak bisa didengar. “Tidak sesulit itu.”
“Boleh aku bertanya?” Masih mengamati tanaman, ia menjawab,
“Tentu, tapi mungkin aku tidak akan menjawabnya.”
“Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, tapi apa kau tidak keluar kamar sama sekali selama seminggu ini?”
“…Dan bagaimana jika iya?”
“Entah. Kukira aku senang.”
“Kenapa?”
“Karena aku juga.”
Aku mengambil bagian belakang rokok dari meja, menyalakannya, dan mengisapnya sekali.
Mata mahasiswi seni itu membuka dan melihat ke arahku.
“Oh, begitu. Jadi kau tahu aku tidak keluar seminggu karena kau juga tidak keluar.”
“Benar. Menakutkan di luar. Pasti karena musim panas.”
“Apa maksudmu?”
“Berjalan di bawah sinar matahari benar-benar menyiksaku hingga butuh waktu dua sampai tiga hari untuk sembuh. Bukan, mungkin rasa bersalah, atau kasihan…”
“Hmm,” jawab mahasiswi seni itu, membenarkan letak gagang kaca matanya. “Aku belum melihat temanmu akhir-akhir ini. Apa yang terjadi padanya? Yang terlihat seperti pecandu narkoba itu. Dia pasti datang hampir tiap hari.”
Maksudnya pasti Shindo. Benar, ada beberapa hari matanya terlihat tidak fokus, dan dia terkadang tertawa menyeramkan, dan biasanya datang seperti pecandu narkoba, tapi menyenangkan mendengarkan gadis itu berterus terang.
Aku menahan senyumanku. “Maksudmu Shindo. Ya, dia meninggal. Baru dua bulan lalu.”
“Dia meninggal?”
“Sepertinya, bunuh diri. Dia jatuh dari tebing dengan sepeda motornya.”
“… Ahh. Maaf menanyakannya,” dia meminta maaf dengan nada bersalah.
“Tidak apa. Ini kisah menyenangkan, kau tahu. Mimpi pria itu akhirnya jadi kenyataan.”
“…Oh begitu. Kukira pasti ada orang seperti itu,” pikirnya dengan lembut.
“Jadi kau tak bisa keluar rumah karena sedih atas kematian temanmu?”
“Aku tidak bisa mengatakannya semudah itu, tapi…” aku menggaruk dahiku.
“Mungkin memang begitu. Aku sendiri juga tidak tahu.”
“Sayang sekali,”bisiknya, bagai kakak perempuan 7-tahun yang menasehati adik laki-laki 5-tahunnya. “Apa itu juga yang membuatmu terlihat kurus beberapa bulan ini?”
“Apa aku semakin kurus?”
“Ya. Aku tidak melebih-lebihkannya tapi, kau terlihat sangat berbeda. Rambutmu panjang, dan kumismu sungguh sesuatu, dan kau sekurus sebuah tiang, dan matamu terlihat tidak semangat.”
Hal itu sepertinya jelas terjadi, dan memang terjadi.
Tidak meninggalkan apartemenku berarti aku belum makan apapun dan hanya camilan untuk menemani birku. Bahkan aku sempat tidak makan sama sekali selama beberapa hari. Melihat kakiku, aku segera sadar. Karena jarang berjalan kemanapun, kakiku sekurus pasien yang dirawat terbaring di tempat tidur. Dan karena sudah lama tidak bicara dengan orang lain, aku tidak sadar jika minum bir membuat suaraku serak; hingga tidak terdengar seperti suaraku.
“Kau juga sangat pucat. Seperti vampire yang belum meghisap darah selama sebulan.”
“Aku akan mengeceknya di kaca nanti,” kataku.
“Kau mungkin tidak melihat siapapun di sana.”
“Kalau aku vampire, sepertinya iya.”
“Itu maksudku,” dia tersenyum, terima kasih padaku yang mengikuti alur candaannya.
“Jadi omong-omong, bagaimana denganmu? Kenapa kau tidak mau meninggalkan kamarmu?”
Mahasiswi seni itu meletakkan penyiram tanamannya dan memiringkan tubuh ke kanan beranda, ke arahku.
“Aku akan menjawabnya nanti. Sekarang, aku memikirkan sesuatu yang bagus,” katanya dengan senyuman bersahabat.
“Baiklah,” kataku setuju.
Malam itu, sebagai bagian dari ide bagusnya, kami meninggalkan apartemen dengan memakai pakaian terbaik kami. Aku mengenakan jaket dan jeans denim. Mahasiswi seni itu mengenakan gaun sutra one piece biru navy dengan kalung dan sepatu mule, juga mengganti kaca matanya dengan lensa kontak dan merapikan rambutnya.
Jelas sekali bukan dandanan yang cocok untuk berkeliaran di malam hari.
Sebelum ini, ada beberapa kesempatan saat aku dipaksa keluar, seperti berbelanja atau pergi ke bank. Dan tiap kali aku dibawa keluar seperti ini, ketakutanku akan dunia luar semakin menjadi.
Mahasiswi seni itu beralasan jika itu terjadi karena aku hanya pergi dengan rasa malas dan pasif, dan mulai benci pergi ke luar secara umum.
“Pertama kita perlu aktif pergi ke luar dan mengajarkan diri sendiri jika dunia luar itu tempat yang menyenangkan,” katanya. “Segala rasa tidak mampu beradaptasi itu hasil dari ajaran yang salah, penyesuaian diri itu bisa didapat dengan menghapus dan mengembangkan ajaran itu.”
“Darimana kau dapat kutipan itu?”
“Kupikir Hans Eysnck mengatakan sesuatu seperti itu. Cukup menakjubkan, bukan?”
“Ya, ide yang jelas seperti itu menempel lebih baik daripada diberi tahu soal hal tidak masuk akal tentang patah hati atau kontak atau apalah. Tapi apa alasan mengenakan pakaian bagus? Toh tidak ada yang melihat.”
Mahasiswi seni itu memegang lengan one piece nya dan membenarkannya.
“Kita terasa formal, kan? Mungkin itu cukup jadi alasannya, tapi kupikir ini yang terpenting untuk kita saat ini.”
Kami berjalan di kota tanpa tujuan, tapi berpakaian bak akan pergi ke pesta. Akhir-akhir ini, panas matahari begitu menyengat, tetapi angin mulai bertiup di malam hari, membuatnya terasa dingin dan terasa seperti-musim gugur. Beberapa serangga mengerubungi lampu jalan, dan yang mati terjatuh di tanah.
Setelah berjalan mengelilingi bangkai serangga, mahasiswi seni itu berdiri di bawah temaram cahaya. Seekor ngengat besar melewati kepalanya.
Dia memiringkan kepalanya dan bertanya padaku. “Apa aku cantik?”
Mendapat angin segar malam hari sepertinya membuatnya senang. Ia mengingatkanku pada anak kecil saat ulang tahun.
“Tentu saja,” jawabku. Aku jujur mengatakan jika ia cantik. Dihadapkan dengan pemandangan bagai lukisan ini, aku bisa mengerti arti kata “cantik”. Jadi aku mengatakan jika ia cantik.
“Baguslah,” Ia memberi senyum lebar dan polos.
Jangkrik setengah-mati menbrakkan sayapnya ke aspal.
Tujuan kami malam itu adalah sebuah stasiun kosong di daerah situ. Stasiun itu, tersembunyi di antara rumah warga, menghubungkan segala penjuru bagai jaring laba-laba.
Aku duduk, menyalakan rokok dan melihat mahasiswi seni itu berjalan tidak seimbang di atas rel. Ada seekor kucing besar di pagar samping rel, duduk bagai mengawasi kami.
Itulah bagaimana kami mulai melakukan jalan malam. Setiap rabu, kami berdandan dan keluar.
Secara bertahap, kami pulih di titik hingga kami bisa keluar sendiri selama matahari terbenam. Idenya, terasa aneh, tetapi malah sangat efektif.
———-
Aku tentu saja sangat mengantuk, tapi sebuah pemberitahuan di handphone membangunkanku.
Aku segera mengumpulkan kesadaranku. Aku hanya ingat sejauh minum dengan mahasiswi seni dan mandi. Mungkin aku segera tidur setelahnya.
Saat itu masih jam 11 malam. Aku mengambil handphone dan mendengarkannya. Panggilan itu dari telfon umum, tapi aku yakin jika itu adalah gadis yang kutabrak.
“Jadi kau tidak menyobek kertas terakhir itu,” kataku.
Sepi senyap selama beberapa detik adalah cara gadis itu menunjukkan harga dirinya. Dia sepertinya tidak ingin bergantung padaku.
“Kau memanggil nomor ini karena ada yang ingin kau minta dariku, kan?”, tanyaku.
Akhirnya, gadis itu bicara. “Aku akan memberimu kesempatan mencetak poin.
“… datanglah ke pemberhentian bus kemarin.”
“Dimengerti,”kataku memastikan. “Aku akan langsung ke sana. Ada yang lain?”
“Aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskannya. Kemarilah.”
Aku mengambil jaket sepeda motor dan dompetku, dan pergi bahkan tanpa mengunci pintu.
Ada sekitar sepuluh lampu lalu lintas di jalan, tetapi semuanya berubah hijau untukku. Aku tiba di tempat tujuan lebih cepat dari yang kuperkirakan.
Di pemberhentian bus, dimana tugas pertamaku dilaksanakan, aku bertemu gadis itu. Ia mengenakan seragam, memendam wajahnya dengan syal merah-tua dan menyeruput sekaleng teh susu sembari melihat bintang.
Aku memutuskan untuk melihat ke atas juga, dan melihat bulan mengintip di antara dua awan. Bentuk bayangannya yang jelas mengingatkanku pada kulit putih manusia di bulan, dan dinodai oleh kulit orang tua yang menghabiskan terlalu banyak waktu berjemur semasa muda.
“Maaf membuatmu menunggu.”
Aku keluar mobil dan pergi ke sisi lain untuk membuka pintu penumpang. Tapi gadis itu mengabaikanku, sebaliknya ia duduk di kursi belakang, melempar tasnya, dan dengan jengkel menutup pintunya.
“Kemana kita harus pergi?”, tanyaku.
“Ke tempat tinggalmu.” Gadis itu melepas blazernya dan mengencangkan dasinya.
“Baiklah, tidak apa. Tapi boleh kutanya kenapa?”
“Bukan hal besar. Aku menyerang ayahku, jadi aku tidak bisa tinggal di rumah lagi.”
“Apa kalian bertengkar?”
“Bukan, aku hanya memutuskan untuk melukainya. …Lihat ini?”
Gadis itu menggulung lengan blousenya.
Ada banyak memar di lengannya. Walau hanya luka bakar, aku menduga jika luka itu setidaknya terjadi sekitar setahun lalu.
Dengan delapan luka yang berjajar sepanjang lengannya, aku curiga jika luka itu dibuat dengan cara yang tidak biasa.
Aku mengingat kembali bagaimana setelah kecelakaan ia menujukkan lagi luka di telapak tangannya yang ia “tunda” demi penjelasan, lalu menarik lengan bajunya dan berkata “jika kau tidak percaya, akan kutunjukkan contoh lain.”
Ini bukanlah lengan yang akan ia tunjukkan saat itu. Jadi dia pasti masih menunda luka bakar itu sepanjang waktu. Dan waktu di antara saat itu dan sekarang, ada sesuatu yang membuat luka itu kembali.
“Bekas ini dibuat ayahku dengan menyudu rokok ke tanganku,”jelasnya. “Ada juga di punggungku. Mau lihat?”
“Tidak, tidak apa-apa,”kataku, melambaikan tangan.
“Jadi kau menyerang ayahmu sebagai balasan untuk itu, dan lari dari rumah?”
“Ya. Aku menali tangan dan kakinya dengan perban dan memukulnya sekitar lima puluh kali dengan palu.”
“Palu?” Aku tidak yakin dengan yang kudengar.
“Aku membawanya.”
Gadis itu mengambil sebuah palu berujung dua dari tasnya. Palu itu kecil, seperti yang biasa digunakan untuk memukul paku untuk prakarya di SD. Palu itu terlihat tua; kepalanya berkarat dan pegangannya menghitam. Melihat betapa terganggunya aku, gadis itu tertawa bangga. Ironisnya, itulah senyuman sesuai-umur pertamanya, sebuah senyum tulus yang ia beri padaku.
“Balas dendam itu menakjubkan. Sangat melegakan. Kira-kira siapa selanjutnya? Karena aku tidak akan kehilangan sesuatu lagi. …Oh,ya. Tentu saja, kau akan membantuku juga, tuan pembunuh.”
Setelah itu, gadis itu berbaring sepanjang kursi belakang dan tertidur dengan cepat.
Dia pasti ada di puncak kelelahannya. Setelah balas dendam pada ayahnya, pasti ia hanya membawa barang yang bisa ia bawa lari.
Aku memperlambat kecepatan dan menyetir hati-hati agar tidak membangunkannya.
Dia mungkin sengaja membiarkan luka itu “terjadi” untuk membenarkan tindakannya, kataku menyadari.
Dengan tidak memalingkan mata dari kekerasan sang ayah padanya, sembari menerima luka itu dan penyebabnya, dia juga mendapat hak untuk balas dendam.
Kira-kira siapa selanjutnya?, katanya. Jika ia punya keputusan semacam itu, setidaknya ada dua balas dendam yang pantas ia lakukan, mungkin lebih.
Dia pasti menghadapi kehidupan yang keras, Pikirku.
Kembali ke apartemen, aku membuka pintu, lalu kembali ke kamar untuk membawa gadis itu ke kamarku. Aku mengambil sepatu dan kaus kakinya, meletakkannya di kasur, dan menyelimutinya. Dan dengan gelisah ia menarik selimut hingga ke mulutnya.
Setelah itu, aku mendengar sekitar dua atau tiga senggukan. Ia menangis.
Gadis ini benar-benar sibuk tertawa dan menangis sepanjang waktu, pikirku.
Apa yang membuatnya sedih? Mungkin waktunya yang semakin sedikit? Atau dia menyesal melukai ayahnya? Apa dia mengingat lagi masa lalu kelamnya? Banyak kemungkinan melewati pikiranku.
Mungkin dia sendiri tidak tahu alasannya menangis. Seperti ada banyak emosi melewatinya; merasa kesepian saat seharusnya ia senang, merasa senang saat seharusnya sedih.
Aku berbaring di sofa sembari melamun melihat langit-langit, menunggu pagi. Apa yang harus kukatakan padanya saat ia bangun? Apa yang harus kulakukan? Aku memikirkan hal itu terus menerus.
Dan dimulailah hari-hari balas dendam.
———-