Pain, Pain, Go Away - Chapter 1 Vol 1 Bahasa Indonesia
Bab 1: Perpisahan Pertama
Translator: Kaon Nekono
Kiriko dan aku menjadi sahabat pena ketika aku berusia 12 tahun, di musim gugur. Kurang lebih enam bulan sebelum kelulusan, aku harus meninggalkan sekolah dasar yang kuhadiri karena pekerjaan ayahku. Kesempatan pindah sekolah itu berubah menjadi kesempatan yang membuatku dan Kiriko bersama.
Hari terakhirku di sekolah adalah saat penghujung Bulan Oktober. Aku akan meninggalkan kota di malam yang sama.
Seharusnya hari itu adalah hari yang penting. Tapi aku hanya punya dua teman yang bisa benar-benar kupanggil teman, dan salah satunya terlalu sakit untuk datang, sementara yang lain pergi untuk rekreasi keluarga. Jadi aku menghabiskan waktu sendiri.
Pada pesta perpisahan empat hari sebelumnya, aku sudah mendapat sebuah buket bunga yang layu dengan pesan yang sama isinya. Dan setiap kali teman sekelas melihatku, mereka akan memberiku tatapan seperti.
“Ehh? Kau masih di sini?”
Kelas menjadi tempat yang tidak betah untuk kutempati. Aku sudah tahu jika aku tidak sepantasnya berada di sini.
Kepindahan sekolahku bukan hal yang bisa diratapi. Kenyataan itu hanya ada satu, tapi itu juga yang menyemangatiku.
Aku tidak akan kalah hanya karena hal semacam ini. Nyatanya, hal itu hanya memberiku pengalaman baru dan orang-orang baru untuk ditemui.
Aku akan berlaku lebih baik di sekolah selanjutnya, pikirku. Jika aku harus pindah sekolah lagi, dua atau tiga orang harusnya merasa sedih.
Lalu, di suatu waktu.
Kelas terakhirku tiba pada akhirnya. Setelah meletakkan kertas jauh dari bangkuku, dan dengan perasaan seperti laki-laki yang ditinggalkan sendiri di kelas saat Hari Valentine, aku meraba tas punggungku dan tentu saja sia-sia. Aku masih belum cukup dewasa untuk menahan harapanku akan mendapat tanda perpisahan dari seseorang.
Saat aku hampir menyerah mendapat kenangan yang indah di hari terakhir ini, aku sadar ada seseorang berdiri di depanku.
Ia mengenakan rok biru berkerut dan memiliki kaki yang ramping. Aku melihat ke atas, mencoba menahan rasa gugupku.
Ia bukanlah Aoyama Sachi, yang secara diam-diam kusuka sejak kelas tiga. Ia bukanlah Mochizuki Saya, yang memiringkan kepalanya dan tersenyum padaku kapanpun kami bertemu di perpustakaan.
Saling memandang dengan begitu serius, ia adalah Hizumi Kiriko, yang bertanya“Kau mau pulang bersama?”
Kiriko adalah gadis yang begitu berkesan, dengan poni yang dipotong dengan panjang yang menggantung di atas alisnya.
Dia pemalu, hanya pernah berbicara dengan suara berbisik, ia terlihat malu-malu dengan senyum canggungnya. Nilainya juga rata-rata, jadi ia benar-benar tidak menarik bagi siapapun.
Benar-benar sebuah misteri mengapa ia, yang hampir tidak pernah berbicara apalagi mengajak bicara, datang untuk berbicara padaku hari ini. Aku diam-diam kecewa karena ia bukanlah Aoyama Sachi atau Mochizuki Saya.
Tapi aku tidak punya alasan untuk menolaknya, juga. “Tentu saja, kukira,” kataku padanya, dan ia tersenyum. “terima kasih,” jawabnya, kepalanya masih ditundukkan.
Kiriko tidak mengatakan sepatah kata apapun selama perjalanan pulang. Dia berjalan di sampingku terlihat begitu gugup, dan beberapa kali memandangku bagai ingin mengatakan sesuatu.
Aku juga tidak tahu apa yang mungkin bisa dijadikan bahan pembicaraan. Apa seorang yang akan pindah dari sini besok harus katakan pada orang lain yang bahkan bukan kenalannya? Tapi nyatanya, aku tidak pernah berjalan pulang bersama dengan gadis seumuranku sebelumnya. Dengan begitu banyak rasa malu di antara kami, kami tiba di rumahku masih belum mengatakan sepatah kata apapun.
“Kalau begitu, selamat tinggal.”
Aku dengan malu melambai pada Kiriko dan berbalik untuk memegang gagang pintu. Akhirnya, ia terlihat mengumpulkan beberapa tekad dan menggenggam tanganku.
“Tunggu.”
Dilempar oleh sentuhan dari jari dinginnya, aku bertanya dengan kasar, “Apa?”
“Emm, Mizuho, aku punya permintaan. Apa kau mau mendengarkannya?”
Aku menggaruk punggung leherku, saat tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatku tidak nyaman.
“Begini, aku akan mendengarnya, tapi… Aku akan pindah sekolah besok. Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu?”
“Ya. Sebenarnya, itulah kenapa hanya kau yang bisa melakukannya.”
Setelah memandang dalam tangannya yang masih menggenggamku, ia melanjutkan.
“Aku akan menuliskan surat untukmu, dan aku ingin kau membalasnya. Dan lalu, emm, aku akan membalas balasan darimu.”
Aku memikirkan tentang apa yang ia katakan. “Maksudmu, kau ingin kita menjadi sahabat pena?”
“Y-Ya. Itu maksudku,” Kiriko memastikan dengan penuh malu.
“Kalau begitu, kenapa aku? Bukankah lebih menyenangkan jika melakukannya dengan orang yang lebih dekat denganmu?”
“Ya, kau tidak bisa mengirim surat pada teman yang tinggal dekat denganmu, kan? Akan membosankan rasanya. Aku selalu ingin mengirim surat pada seseorang yang tinggal jauh.”
“Tapi aku tidak pernah menulis sepucuk suratpun dalam hidupku.”
“Kalau begitu kita sama. Semoga beruntung untuk kita berdua,”katanya, menggoyangkan tanganku naik turun.
“Hei, tunggu dulu, kau tidak bisa memintaku melakukan hal ini tiba-tiba….”
Akhirnya, walau begitu, aku menerima permintaan Kiriko. Karena tidak pernah menulis surat selain surat Tahun Baru, ide bergaya lawas ini seperti menjadi suatu hal yang segar dan menarik bagiku. Selain itu, aku mendapat permintaan yang begitu serius dari gadis seumuran membuatku begitu gembira hingga aku tidak berniat menolaknya. Ia menghela nafas lega. “Aku senang. Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan kulakukan jika kau menolaknya.”
Setelah memberikannya catatan berisi alamat baruku, ia tersenyum, dan berkata “tunggulah surat pertamaku,” dan berlari dengan derap kaki yang cepat. Bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal. Jelas sekali, minatnya ada pada surat yang kutulis, bukan pada fisik maupun jiwaku.
Segera setelah aku pindah ke sekolah baruku, suratnya tiba. “Lebih dari apapun, aku pikir kita harus tahu lebih banyak tentang satu sama lain,” tulisnya. “Jadi sebagai permulaan, Ayo memperkenalkan diri masing-masing.” Itu adalah hal yang aneh –mantan teman sekelas –yang terpisah baru sekarang memperkenalkan diri. Tapi tidak seperti ada hal lain yang bisa kutulis, jadi aku mengikuti sarannya.
Setelah beberapa waktu menjadi sahabat pena Kiriko, aku membuat sebuah penemuan. Kita tidak pernah berbicara dengan sewajarnya sebelum aku pindah sekolah, tetapi melihat dari apa yang ia tulis di suratnya, Kiriko Hizumi sepertinya memiliki nilai kesamaan yang menarik sepertiku.
“mengapa aku harus belajar?” “mengapa salah membunuh orang lain?” “apa itu “bakat”?”
Pada awal pembelajaran kami, kami berdua menikmati berpikir ulang tentang segalanya dari dasar seperti mencoba membuat jeda sebelum menjadi orang dewasa.
Kami juga berdiskusi serius tapi memalukan tentang “cinta,” yang berlanjut seperti berikut.
“Mizuho, apa menurutmu “cinta” itu? Temanku membicarakan tentang hal itu dari waktu ke waktu, tapi aku masih belum mengerti benar apa artinya.”
“Aku juga tidak mengerti. Menurut umat Kristen, satu kata “cinta” bisa memiliki empat jenis arti cinta, dan ada banyak cinta dalam agama yang lain juga, jadi sepertinya percuma saja walau mencoba. Contohnya, apa yang ibuku rasakan pada Ry Cooder itu jelas-jelas cinta, tetapi apa yang ayah rasakan untuk Alden Cordovans itu juga cinta, dan ada sejenis cinta juga padaku saat mengirim surat padamu, Kiriko. Cinta itu memang bermacam-macam bentuknya.”
“Terima kasih untuk kata-kata biasa yang membuatku sangat bahagia. Apa yang kau katakan membuatku sadar jika mungkin cinta yang kubicarakan dengan cinta yang temanku bicarakan adalah pembicaraan yang punya definisi jauh berbeda. Mungkin aku harus waspada dengan para gadis yang mengatakan hal itu dengan ringannya. Apa yang kubicarakan itu lebih emosional, cinta yang romantis. Hal “itu” sering dilihat baik di film maupun di buku, tapi yang tidak pernah kulihat di kenyataan, adalah cinta yang berbeda dari hubungan keluarga ataupun cinta secara seksual.”
“Aku sendiri masih ragu tentang keberadaan sesungguhnya dari hal “itu”. Tapi jika “cinta” yang kau bicarakan itu tidak ada, pasti seseorang akan datang dengan cinta itu, yang kukira sangat normal terjadi. Selama beberapa zaman, cinta telah menjadi alasan banyaknya lukisan yang indah, lagu, dan cerita. Jadi jika memang itu hanya buatan, “cinta” mungkin adalah penemuan umat manusia yang paling besar, atau mungkin kebohongan terbaik di dunia.”
Dan lain-lain.
Dalam segala hal yang kami bicarakan, pendapat kami begitu mirip hingga kami bagaikan kembaran yang lama-hilang. Kiriko menjelaskan keajaiban itu sebagai “Kelas reuni untuk jiwa.”
Deskripsi itu benar-benar melekat padaku. Sebuah kelas reuni untuk jiwa.
———-
Di saat yang sama hubunganku dengan Kiriko semakin dalam, aku menyadari jika diriku tidak bisa terbiasa dengan sekolah dasarku yang baru. Dan ketika aku lulus dari sana dan naik ke bangku SMP, dimulailah perasaan sesungguhnya dari rasa kesepian itu.
Tidak ada satu orangpun yang bisa di ajak bicara di kelas, hanya percakapan minimal dalam klub, dan sudah wajar tidak ada seorangpun yang membicarakan tentang hal pribadi. Aku sebenarnya merasa menjadi lebih baik daripada sebelum aku pindah sekolah, karena bicara seperlunya saja.
Walau begitu, untuk Kiriko, segalanya terlihat lebih baik saat ia masuk SMP, dan suratnya membuktikan hal itu lagi dan lagi. Ia hidup dengan sangat bahagia. Dia memberitahuku bagaimana ia membuat teman-teman menakjubkan yang tidak terhitung jumlahnya. Bagaimana ia begadang setiap hari dengan teman satu klubnya membicarakan tentang sesuatu atau lainnya. Bagaimana ia dipilih menjadi Komite Eksekutif di Festival Budaya dan bisa masuk dengan biasa ke ruang yang tidak bisa di akses di sekolah. Bagaimana ia menyelinap ke atap sekolah dengan teman-temannya dan makan siang, lalu dimarahi oleh guru. Dan lain-lain.
Aku merasa canggung jika aku menjawab suratnya dengan deskripsi polos dari keseharian menyedihkanku. Aku tidak ingin membuatnya khawatir, dan aku juga tidak ingin dianggap lemah. Mungkin jika aku lebih terbuka padanya soal masalahku, dia mungkin akan mendengarkanku dengan baik. Tapi aku tidak menginginkannya. Aku memaksakan diri terlihat baik di depan Kiriko.
Jadi sebaliknya aku menulis kebohongan. Suratku menceritakan tentang kehidupan fiksionalku, begitu sempurna dan sederhana sehingga ia tidak merasa terkekang.
Awalnya, hal itu tidak lebih dari gertakan, tapi suratku bertahap menjadi kebahagiaan terbesarku. Aku menduga bahwa aku memiliki bakat akting yang hanya butuh dibangkitkan.
Melepaskan hal apapun yang terdengar tidak masuk akal, aku menulis tentang kehidupan sekolah terbaik yang bisa kubayangkan, mengumpulkan mereka tanpa menyimpang dari kenyataan bahwa aku adalah Mizuho Yugami. Hidup kedua yang diciptakan hanya untuk surat ini. Ketika aku menulis surat untuk Kiriko, itulah saat aku menjadi diriku yang ideal.
Baik musim panas dan gugur dan dingin, di hari yang cerah dan berawan dan hujan dan bersalju, aku akan menulis surat dan mengirimnya ke kotak surat di ujung jalan.
Ketika surat dari Kiriko tiba, aku dengan hati-hati akan membuka amplopnya, membawanya mendekat ke wajahku, berbaring di kasur, dan menikmati kata-kata itu sembari menyeruput kopi.
———-
Sebuah situasi menakutkan tiba lima tahun setelah kami menjadi sahabat pena,
Musim gugur ketika aku berusia 17 tahun.
“Aku ingin berbicara empat mata,”tulis Kiriko
“Ada beberapa hal, yang tidak bisa kutulis dengan kata-kata di surat. Aku ingin kita saling menatap mata satu sama lain dan mendengar pembicaraan satu sama lain.”
Surat ini membebaniku. Tentu saja, aku memiliki keinginan sama yang terlintas di pikiranku untuk bertemu langsung dengannya. Aku akan dengan senang hati melihat bagaimana ia berubah dalam lima tahun ini.
Tapi sudah jelas jika hal itu sampai terjadi, maka segala yang telah kutulis di surat akan terbongkar sebagai kebohongan belaka. Kiriko yang baik tidak akan mengutukku karena hal itu, tentunya. Tapi aku yakin jika hal itu akan mengecewakannya.
Aku merencakan entah bagaimana caranya menjadi Mizuho Yugami fiksional itu hanya untuk sehari, tetapi bahkan jika aku bisa meringkas dan memadatkan seluruh kebohongan itu, aku tahu aku tidak akan bisa menyembunyikan mata suram dan tindakanku yang terpengaruhi oleh rasa kesepian selama beberapa tahun, tidak juga rasa percaya diriku yang kurang. Aku menyesal, segalanya sudah terlambat, karena tidak memiliki kehidupan yang layak selama ini.
Dalam percobaan untuk memikirkan alasan cerdik menolaknya, minggu berlalu, lalu bulan. Suatu hari, aku berpikir akan jadi yang terbaik jika kami membiarkan hubungan kami memudar seperti ini. Mengatakan yang sejujurnya akan mengakhiri hubungan nyaman kami, dan akan menyakitkan jika terus mengiriminya surat sembari takut jika kebohonganku akan ketahuan.
Sebulan setelah surat yang memintaku untuk bertemu langsung dengannya datang, surat lain dari Kiriko tiba. Itu adalah saat pertama aku tidak menepati perjanjian rahasia jika kami akan menjawab dalam lima hari setelah menerima surat. Dia pasti khawatir dengan responku yang berkurang. Tapi aku bahkan tidak membuka surat itu. Seperti dugaanku, surat lainnya tiba sebulan setelahnya, dan aku mengabaikannya juga. Itu menyakitiku, pasti, tetapi itu adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan.
Seminggu setelah aku menyerah pada surat-menyurat kami, aku memiliki teman. Mungkin aku tumbuh terlalu bergantung pada Kiriko dan hal itu menghalangiku membentuk hubungan yang normal, pikirku.
Waktu berlalu, dan aku meninggalkan kebiasaanku mengecek kiriman surat darinya.
Dan itulah bagaimana hubunganku dengan Kiriko berakhir.
———-
Kematian temankulah yang menuntutku menulis untuk Kiriko lagi.
Pada musim panas tahun keempatku, Haruhiko Shindo, yang menghabiskan banyak waktu kuliah denganku, memutuskan untuk bunuh diri. Aku mengunci diri di apartemenku. Aku tahu aku melewatkan mata ujian penting semester itu dan harus mengulang tahun depan, tapi aku tidak peduli. Aku bahkan tidak merasa jika itu urusanku.
Aku merasakan sedikit kesedihan dari kematiannya. Ada begitu banyak tanda. Bahkan sejak aku bertemu dengannya, Shindo begitu merindukan kematian. Ia merokok tiga bungkus sehari, meneguk begitu banyak whiskey, dan pergi ke luar malam demi malam dengan sepeda motornya. Ia melihat film Hollywood Baru dan berulang kali mengulang kematian tokoh protagonis yang begitu-cepat, menghela nafas bagai tidak sadarkan diri.
Jadi ketika aku diberitahu soal kematiannya, aku kurang lebih berpikir “syukurlah.” Ia akhirnya menjadi yang ia inginkan. Tidak ada seirispun rasa penyesalan padaku dalam bentuk seperti “aku seharusnya lebih baik padanya,” atau “aku tidak bisa melihatnya menderita.” Shindo, juga, mungkin tidak pernah berfikir untuk membicarakan masalahnya padaku. Tidak diragukan lagi, semua yang ia inginkan adalah memiliki beberapa hari biasa penuh tawa, dan lalu menghilang dari hari-harinya hanya seperti itu.
Masalahnya, saat itu, aku masih ada di sana. Shindo tidak berada di sana adalah pukulan serius bagiku. Untuk yang terbaik atau terburuk, ia yang menopangku. Ia lebih malas, lebih putus asa, lebih pesimis dariku, dan memiliki sedikit tujuan hidup yang sama, jadi memilikinya sebagai teman adalah kelegaan yang cukup besar. Aku bisa melihatnya dan berjalan, “Jika laki-laki sepertinya bisa hidup, aku juga harus hidup.”
Kematiannya menarik fondasi penting keluar dari dalam tubuhku. Aku merasakan ketakutan tidak jelas akan dunia luar, yang membuatku hanya bisa keluar dari jam 2 hingga 4 pagi. Jika aku memaksakan diri keluar, jantungku akan mulai berdegup kencang, dan aku akan pusing dan sesak nafas. Terburuknya, lengan dan wajahku akan mati rasa dan kram.
Setelah bersembunyi di dalam ruanganku dengan tirai tertutup, aku minum dan menonton film yang Shindo kagumi. Ketika aku tidak melakukannya, aku tidur. Aku merindukan hari dimana aku menaiki sepeda gandeng dengan Shindo dan kita mengayuhnya berkeliling kota. Kami melakukan banyak hal bodoh. Melempar koin demi koin di permainan larut malam di arcade berbau nikotin, pergi ke pantai di malam hari dan pulang tanpa menyelesaikan apapun, menghabiskan hari dengan melempar batu ke sungai, mengelilingi kota menyebar asap dari sepeda motor…
Tapi jika memikirkannya lagi, saat-saat konyol yang kami habiskan itulah yang memperdalam pertemanan kami. Jika hubungan itu lebih sehat, kematiannya mungkin tidak banyak memberiku rasa kesepian seperti ini. Jika saja ia tidak melibatkanku, pikirku. Jika Shindo mengajakku, aku akan dengan senang hati melompat ke jurang bersamanya, sembari tertawa. Mungkin ia tahu hal itu, dan karena itu ia meninggal tanpa mengatakan apapun padaku.
———-
Suara tonggeret mulai menghilang, pohon-pohon berubah merah; musim gugur tiba. Saat itu adalah akhir Oktober. Dan aku tiba-tiba teringat percakapan yang cukup mudah dilupakan dengan Shindo.
Saat itu adalah siang cerah di Bulan Juli. Kami berada di ruangan yang lembab, minum dan bicara melantur satu sama lain. Ada tumpukan putung rokok yang menggunung di asbak yang terlihat akan runtuh sekali sentuh, jadi aku meletakkan kaleng kosong di sebelahnya, kaleng itu tertata-rapi bagai pin bowling.
Telinga kami sakit karena suara dengungan tonggeret yang hinggap di tiang telfon dekat jendela. Shindo menggenggam salah satu kaleng itu, pergi ke beranda, dan melemparnya pada tonggeret. Lemparannya itu benar-benar meleset dari targetnya dan jatuh di jalan dengan suara gemerincing. Shindopun mengutuk hewan itu. Dan saat ia kembali untuk mengambil kaleng kedua, tonggeret itu terbang menjauh bagai membodohinya.
“Oh ya,” kata Shindo, berdiri terdiam dengan kaleng di tangan.
“Bukankah seharusnya mereka menerima surat lamaranmu sekarang?”
“Kau kurang lebih tahu jawabannya kan?,” jawabku.
“Ditolak?”
“Ya.”
“Itu melegakan,” hela Shindo, yang tidak sekalipun mendapat tawaran kerja juga. “Melamar di tempat lain sejak itu?”
“Tidak. Aku tidak melakukan apapun. Pencarian-pekerjaanku hilang bersama liburan musim panas.”
“Liburan? Kedengarannya menyenangkan. Kupikir aku juga akan melakukannya.”
Ada pertandingan baseball SMA di TV. Pemainnya, empat atau lima tahun lebih muda daripada kami, begitu dibanjiri oleh dukungan. Akhir dari babak ke 7, dan masih belum ada poin untuk kedua tim.
“Ini mungkin pertanyaan aneh,” kataku memulai, “tapi ketika kau kecil, Shindo, kau ingin jadi apa?”
“Guru SMA. Aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali.”
“Oh ya, mungkin kau memang mengatakannya.”
“Kalau, sekarang? Hmm.. Aku bermimpi untuk menjadi guru sama tidak masuk akalnya seperti seorang bertangan satu yang bermimpi menjadi pianis.”
Shindo mengatakan kenyataannya; ia jelas tidak terlihat seperti orang yang cocok menjadi guru. Jangan bertanya padaku pekerjaan macam apa yang cocok untuknya, juga. Menurutku ia sudah menjadi guru dalam hal mengajari orang lain agar tidak berakhir menjadi orang sepertinya, tetapi untuk saat ini, “contoh yang buruk” bukanlah pekerjaan yang jelas.
“Mungkin masih ada pianis bertangan satu, juga,” pikirku.
“Eh, mungkin. Jadi kau ingin jadi apa?”
“Aku tidak ingin menjadi apapun.”
“Pembohong,” selanya, mendorong pundakku. “Bertumbuh itu akan membuat anak berpikir mereka mempunyai mimpi, setidaknya begitu.”
“Walau kau bilang begitu, aku mengatakan apa adanya.”
Suara dukungan berasal dari TV. Pertandingan itu akhirnya menuju ke satu tempat. Bola itu menghantam pagar, dan penjaga luar begitu mati-matian mendapatkannya. Pelari di base kedua sudah sampai di base ketiga, dan pemain bertahan di sekitar base menyerah melemparkan bola itu ke titik home.
“Kita mendapat skor!”, seru komentator.
“Hei, bukankah kau anggota tim baseball saat SMP? Kau cukup-terkenal di daerahmu karena lemparanmu, kan?”, Tanya Shindo. “Aku mendengarnya dari teman SMP. Orang kidal bernama Yugami, hanya anak kelas dua, tapi ia bisa melempar salah satu lemparan berharga…”
“Kurasa itu aku. Ya, aku cukup baik mengontrol lemparanku. Tapi aku keluar dari tim di musim gugur di tahun yang sama.”
“Cedera atau yang lain?”
“Bukan, itu hanya cerita yang aneh… Musim panas di tahun keduaku, di hari ketika kami memenangkan semifinal pada pre-eliminasi prefektur, aku sebenarnya adalah pahlawan. Aku tidak bermaksud sombong, tapi aku seperti membawa tim menuju kemenangan. Semua olehku sendiri dalam permainan. Sungguh jarang bagi tim sekolah kami menang sejauh ini, jadi seluruh sekolah menyemangati kami. Semua orang yang kulewati memujiku.”
“Tidak bisa kubayangkan semua itu, melihat kau yang sekarang,” kata Shindo tidak yakin.
“Ya.” Aku tersenyum pahit. Aku tidak bisa menyalahkannya. Bahkan aku sendiri ragu setiap kali mengingat hal itu.
“Di samping tidak punya banyak teman di sekolah dan sulit untuk menjadi orang yang mencolok, hari itu membuatku bagai pahlawan. Itu terasa begitu menakjubkan. Kecuali… malam itu, ketika aku berbaring di kasur dan memikirkan tentang hal itu, aku merasakan sebuah rasa malu yang begitu hebat.”
“Malu?”
“Ya. Aku malu pada diriku sendiri. Aku seperti, apa yang membuatku begitu bahagia akan hal ini?”
“Tidak ada salahnya dengan hal itu, menurutku. Tentu saja kau akan bahagia karena hal itu.”
“Mungkin.” Dia benar, tidak ada satupun alasan untuk tidak bahagia akan hal itu. Aku seharusnya cukup memeluknya saja. Tetapi sesuatu yang begitu dalam di pikiranku memanjat dan menyangkalnya. Suasana hatiku tiba-tiba tenggelam, seperti balon yang terlalu banyak isi dan meletus.
“Omong-omong, segera setelah hal itu terjadi, segala hal mulai terasa konyol bagiku. Dan kupikir, aku tidak ingin membuat diriku lebih malu lagi. Jadi dua hari setelahnya, di babak final, aku naik kereta pagi dan pergi menonton film. Dan aku menonton empat film berturut-turut. Aku ingat pendingin ruangan itu membuatku kedinginan, aku menggosok tanganku sepanjang waktu.”
Shindo tertawa lebar. “Kau bodoh atau apa?”
“Aku orang yang sangat bodoh. Tetapi bahkan jika aku bisa kembali dan memiliki kesempatan itu sekali lagi, kupikir aku tetap akan melakukan hal yang sama. Tentu saja, tim itu berakhir kalah dengan jarak yang begitu jauh. Para staff, pengawas, teman sekelasku, guruku, orang tuaku, mereka semua sangat geram. Mereka memperlakukanku seperti telah membunuh seseorang. Ketika mereka bertanya mengapa aku tidak datang ke final, dan aku berkata aku salah tanggal, rasanya seperti menuang bensin pada api. Pada hari pertama libur musim panas, semua orang itu menarikku dan memukuliku. Mereka mematahkan hidungku, jadi bentuknya sedikit berbeda sekarang.”
“Kau memanen apa yang kau tanam,” kata Shindo.
“Benar sekali,” kataku setuju.
Pertandingan di TV telah selesai. Pertandingan berakhir dengan pemukul terakhir yang memukul bola dengan ceroboh pada penjaga base kedua. Kedua tim berkumpul dan berjabat tangan, tetapi tim yang kalah – mungkin diperintah untuk melakukannya oleh pengawas mereka – menggunakan senyum palsu, senyum yang menyakitkan sepanjang waktu. Bicara tentang keanehan..
“Aku selalu menjadi anak yang tidak menginginkan apapun,” kataku. “Tidak pernah merasa ingin melakukan itu, atau ingin ini. Sulit bagiku untuk memanas tapi mudah bagiku untuk mendingin, jadi aku tidak pernah bisa melakukan sesuatu dengan benar. Harapanku saat Tanabata selalu kertas kosong. Kami tidak melakukan hadiah natal di rumahku, tapi aku juga tidak merasa sedih akan hal itu. Nyatanya, aku merasa kasihan pada anak lain yang harus memutuskan apa yang mereka inginkan setiap tahun. Ketika aku mendapat uang Tahun Baruku, aku memberikannya pada ibu, dan ibu menggunakan uang itu untuk membayar les pianoku. Oh, dan aku mengambil les piano agar aku bisa menghabiskan sedikit waktu di rumah.”
Shindo mematikan TV, memasang CD player, dan menekan tombol play. CD itu adalah lagu Neil Young berjudul “Tonight’s the night,” salah satu kesukaannya. Sekali lagu itu selesai, ia berkata, “kedengaran seperti kau tidak pernah menjadi “anak kecil” sama sekali. Menjijikkan, kawan.”
“Tapi aku merasa biasa saja saat itu,” jelasku. “Orang dewasa akan memarahi anak yang egois, tapi mereka tidak akan memarahi anak yang tidak egois sama sekali, jadi butuh waktu bagiku untuk menyadari keanehannya… mungkin itulah dinding yang sama seperti yang kuhadapi saat ini. Aku bertaruh, bahkan para perekrut pekerjaan bisa tahu. Jika aku tidak benar-benar ingin bekerja, nyatanya, aku bahkan tidak ingin uang, dan bahkan menjadi bahagia itu bukanlah hal yang menarik bagiku…”
Shindo terdiam sesaat. Kutebak aku mengatakan sesuatu yang bodoh. Saat aku memikirkan sesuatu yang lain untuk mengubah topik, ia angkat bicara.
“Tapi kau menikmati saat menulis surat, bukan?”
“…Surat? Ya, ada saat aku melakukannya.” Aku tidak pernah sesaatpun melupakannya, tetapi aku berbicara bagai mengingatnya lagi. Shindo adalah satu-satunya yang tahu, tidak hanya soal aku menjadi sahabat pena dengan Kiriko, tetapi juga soal tidak ada apapun selain kebohongan pada surat yang kutulis untuk Kiriko. Aku tidak sengaja mengatakannya setelah pesta bir tahun lalu, saat aku mabuk dan terganggu oleh terangnya sinar matahari.
“Ya, aku mungkin bohong jika aku bilang tidak menikmatinya.”
“Siapa nama gadis yang kau bicarakan itu?”
“Kiriko Hizumi.”
“Benar, Kiriko Hizumi. Satu-satunya yang kau putus kontak total. Gadis malang, masih berani mengirim surat bahkan setelah kau memutuskan untuk mengabaikannya.”
Shindo mengunyah sepotong dendeng sapi dan meminum bir. Lalu ia melanjutkan.
“Hei, Mizuho. Kau harus bertemu Kiriko Hizumi.”
Aku mendengus, kupikir ia bercanda. Tetapi matanya menunjukkan keseriusan, menunjukkan seperti ia telah mengeluarkan ide terbaik dalam hidupnya,
“Pergi menemui Kiriko, ya,” aku dengan kasar mengulanginya. “Dan meminta maaf untuk apa yang kulakukan lima tahun lalu? Berkata “maafkan pembohong malang ini”?”
Shindo menggelengkan kepalanya. “Bukan itu yang ingin kukatakan. Tidak peduli jika apa yang kau tulis itu bohong atau tidak. ‘Karena itu, em… “Reuni jiwa” yang kau sebutkan, bukan orang sembarangan bisa melakukannya. Kau dan gadis ini bisa jadi sangat cocok, jadi percaya dirilah. Maksudku, lihat nama kalian, rasanya seperti takdir. Yugami dan Hizumi, keduanya berarti “Kehancuran.””
“Di sisi lain, sudah terlalu terlambat.”
“Aku tidak akan mengatakan hal itu. Apa yang kupikirkan, jika dia adalah seseorang yang bisa menarikmu selama lima-tahun, kekosongan selama sepuluh-tahun itu bukanlah masalah. Kau bisa mengambili segalanya lagi seperti baru kemarin. Aku hanya mengatakan, tidak ada salahnya mencoba, jika hanya untuk untuk melihat Kiriko Hizumi. Bahkan mungkin ia bisa membantu masalah tidak-ingin-apapun padamu.”
Aku tidak ingat bagaimana menjawabnya. Tapi aku yakin itu adalah jawaban samar yang memotong pembicaraan itu dengan singkat.
———-
Aku akan pergi menemui Kiriko, kataku memutuskan. Aku ingin menghargai saran Shindo, dan aku selalu sendiri setelah kehilangan teman terbaik dan satu-satunya. Lebih penting lagi, aku dipaksa untuk maju oleh kenyataan kejam jika orang yang kau pedulikan tidak akan selamanya hidup untukmu.
Mengumpulkan seluruh keberanianku, aku pergi ke luar dan pergi ke rumah orang tuaku. Aku mengambil sebuah kaleng biskuit dari dalam lemari di kamarku, dan mengurut surat dari Kiriko di lantai menurut tanggal. Tetapi berapa kalipun kumelihat surat-surat itu, aku tidak bisa menemukan surat terakhir yang tidak pernah kubuka. Aku mengingat kembali dimanakah aku meletakkan surat itu.
Dibawa oleh aroma nostalgia dari kamarku, aku membaca ulang surat itu satu persatu. Ada sekitar seratus dua kertas selama lima tahun ini, dan aku membacanya terbalik dari yang paling terakhir ia kirim. Waktupun berlalu dan akupun selesai membaca surat pertama yang ia kirim padaku, bersamaan dengan matahari terbenam.
Aku membeli amplop dan perlengkapan menulis, kembali ke apartemenku, dan menulis sepucuk surat. Tanganku bisa menulis alamatnya dari ingatanku. Ada begitu banyak yang ingin kuceritakan padanya, tetapi merasa jika akan jadi yang terbaik jika berbicara langsung dengannya, aku membuat surat itu lebih ringkas.
“Maaf memutuskan kontak lima tahun yang lalu. Aku selama ini menyembunyikan sesuatu darimu. Jika kau ingin memaafkanku, datanglah ke taman – pada 26 Oktober. Tempat itu adalah taman bermain kecil di jalan menuju ke SD ku. Aku akan menunggu di sana sepanjang hari.”
Dengan hanya beberapa kalimat, aku memasukkan surat ke kotak surat.
Aku tidak memiliki ekspetasi apapun. Dan aku bermaksud untuk tetap berpikir seperti itu.
———-
Proyek Halloween Kaon (^w^)/