God of Cooking - Chapter 269 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
God of Cooking: Chapter 269 <Minat Spesial (2)>
“… Bagaimana… sebaiknya aku menjawabnya.”
“Maaf. Itu mengerikan.”
“Jadi kau akan seperti itu?”
Saat Jo Minjoon mengangkat kedua tangan untuk menyerah, Kim Minsuk menggelengkan kepala dan tersenyum. Jo Minjoon melihat Kim Minsuk lalu bertanya dengan suara tenang.
“Apa yang akan kau lakukan dengan restoranmu?”
“Well. Kami mungkin punya banyak pelanggan saat ini, tapi…” kata Kim Minsuk dengan nada malu-malu.
Keputusan untuk tetap buka atau menutup toko bukan perkara sederhana dan tidak bisa diputuskan dalam sehari. Jadi, Jo Minjoon sengaja membuatnya sederhana karena mengetahui bahwa kepala Kim Minsuk dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang rumit. Jo Minjoon tidak ingin membebani Kim Minsuk dengan kata-kata yang rumit.
“Aku harap kau tetap buka.”
Jo Minjoon tidak bisa mengatakan kalau bisnisnya akan berjalan dengan baik. Yang bisa dia katakan hanyalah memintanya untuk tetap buka. Karena Jo Minjoon tidak bisa melihat tatapan Kim Minsuk, dia lanjut dengan nada meminta maaf.
“Aku tahu ini tidak bertanggung jawab bagi pihak ketiga mengatakan sesuatu tanpa sebuah jawaban. Sejujurnya, ini bukan hanya untuk dirimu. Ini juga untuk pelanggan yang mungkin merindukan tempat itu. Jika restoran mie seperti milikmu tutup, itu sangat disayangkan.”
“Kau terdengar seperti pelanggan tetap.”
“Jika aku terus tinggal di Korea, aku bisa menjadi pelanggan tetap.”
Mendengarkan kata-kata bijak Jo Minjoon, Kim Minsuk yang berekspresi kompleks kemudian tersenyum lebar pada Jo Minjoon. Kemudin, dia menyedot gelas es Americano yang sudah kosong. Saat dia melihat gelasnya, suara air dari lelehan es batu yang naik ke dalam sedotan bisa terdengar.
“Kakakku menangis.”
“…Apa? Kakakmu?”
“Sudah kubilang, kan? Dia mendedikasikan dirinya pada mie sepanjang hidupnya. Jika aku orang yang bisa membuat tiruan mienya, maka kakakku adalah orang yang benar-benar tahu bagaimana membuat cita rasa mie bisa hidup. Dia telah mendengar semua kritikan yang menyebutnya palsu lalu diabaikan oleh orang-orang. Namun, perkataanmu mengubah segalanya.” kata Kim Minsuk dengan suara mengalah.
Hal ini sudah diduga karena sepanjang hidupnya dan kakaknya yang tercurah pada mie, tidak bisa mendapat pengakuan. Akan tetapi, sebuah ucapan dari teman jauh yang sukses bisa menghasilkan pengakuan terhadap mienya secara instan. Meskipun realita ini menyakitkan, tidak ada yang aneh. Kim Minsuk meremukkan gelas kopi plastik di tangannya.
“Bukankah aneh? Jika dihitung berapa tahun kakakku dan aku bekerja pada saat kami masih kecil, dia mendedikasikan hampir dua puluh tahun untuk mie. Kakaku juga seorang master. Seorang master pembuat mie. Seorang master yang mendedikasikan seluruh hidupnya mengatakan mienya enak… tetapi seorang pelanggan yang berkunjung mengatakan ‘Mie nya tidak seenak sebelumnya.’ Bagaimana kita menghadapi ini? Juga … Bagaimana mungkin usaha seumur hidup kami tidak sebanding dengan komentar yang kau buat …”
Kim Minsuk menatap Jo Minjoon dengan meminta maaf lalu berkata.
“Maaf. Aku tidak marah padamu. Aku marah pada realita yang terjadi pada hidup kami.”
“Aku paham. Jika aku ada di posisimu, aku juga akan marah.”
“Di Korea, jika kau bekerja di restoran kelas atas selama setahun kau menjadi juru masak. Seorang chef. Tetapi untuk bisnis seperti milik kami… Mie, gamjatang, chueotang, kimbap… Kita tidak dipanggil sebagai chef atau juru masak, tetapi pebisnis. Apa kau tahu ketika aku bertemu teman-temanku, mereka tidak menanyakan bagaimana masakanmu. Mereka bertanya bagaimana bisnisku apakah lancar.”
Alih-alih menjawabnya Jo Minjoon meletakkan tangannya di bahu Kim Minsuk. Kim Minsuk lanjut dengan nada marah.
“Kau tahu Minjoon. Aku tidak pernah menjalankan bisnis.”
“Aku tahu. Kau adalah seorang juru masak. Dan kakakmu juga seorang juru masak.”
“Aku tidak suka kata ‘kelas atas’. Hanya karena restoran kami tidak semahal mereka, makanan kami tidak lebih buruk dari makanan mereka.”
“…Ya. Kau benar.”
Sejujurnya, itu topik yang tidak sering dipikirkan oleh Jo Minjoon. Karena dia bekerja di restoran kelas atas. Dia tidak tahu kekhawatiran semacam itu dari chef restoran lain. Dia tidak punya waktu dan alasan untuk khawatir soal itu.
“Maaf. Aku mengeluh pada orang yang baru saja kembali ke Korea dan sudah membantuku. Namun, kaulah satu-satunya yang memahamiku. Karena kau juru masak, seorang juru masak yang bagus.”
“Terima kasih telah memandangku tinggi seperti itu. Tapi yang bisa kulakukan untukmu hanyalah mendengarkan. Jadi, menurutmu apa yang akan terjadi pada restoran?”
“Jika bisa kami akan terus membuka restoran. Aku yakin kakakku punya niat yang sama. Tapi… Aku tidak tahu apakah kami bisa melakukannya.”
“Pikiran orang-orang telah berubah. Jika kau dan kakakmu terus membuat mie yang enak. Aku yakin orang-orang akan mengakuinya. Karena orang yang mengerti makanan enak itu lebih banyak dari yang kau pikirkan. Jika tidak…”
Jo Minjoon mengaburkan ucapannya. Dia melirik tangan Kim Minsuk. Seorang tangan chef, yang penuh luka. Dia kembali menatapnya.
“…maka dunia ini yang salah.”
**********
“Minjoon pulang telat.”
Bruce menghampiri Jemma yang sedang berdiri di beranda. Jemma mengangguk saat dia melihat Bruce dengan ekspresi malu-malu.
“Dia pasti punya banyak hal untuk dibicarakan.”
“Minjoon adalah orang baik. Dia adalah orang yang selalu membantu orang lain yang sedang membutuhkan.”
“Aku tahu.”
Jemma mengangguk. Meskipun dia tidakmenghabiskan banyak waktu dengan Jo Minjoon, dia bisa merasakan kalau Jo Minjoon adalah orang yang baik. Dia juga banyak mendengar cerita dari Kaya.
Bruce dengan hati-hati meletakkan tangannya di samping Jemma. Pemandangan jalan dari lantai atas apartemen tampak menenangkan.
“Meskipun sedikit telat, aku juga ingin menjadi orang yang baik. Untuk keluargaku.”
“…Aku turut bahagia untukmu.”
“Aku ingin menjadi suami yang baik. Orang tua yang baik. Untuk Kaya, juga untukmu.”
Mendengar ucapan Bruce, Jemma terperangah. Bruce berbicara dengan nada serius.
“Aku tahu kau punya banyak pikiran yang rumit di kepalamu. Tapi jika kau mengizinkannya… Aku siap menjadi ayahmu.”
“…Kenapa?”
“Apa?”
“Kenapa kau ingin menjadi ayahku?”
Mendengar pertanyaan Jemma, Bruce panik. Jemma mencengkeram pagar dengan ekspresi suram.
“Jika karena Kaya, maka aku tidak membutuhkannya. Aku tidak bodoh. Aku tidak mau dikasihi karena aku bodoh.”
“Jemma, aku tahu kau tidak bodoh. Aku bertemu kau berkat Kaya. Tetapi aku tetap menganggapmu sebagai putriku. Dan aku menganggapmu sebagai bagian dari tanggung jawabku.”
“Sayang tidak datang dari tanggung jawab. Sayang datang dari hati.”
Mendengar ucapan Jemma, Bruce tidak bisa berkata apa-apa. Jemma melihat Bruce dengan ekspresi rumit dan menundukkan kepalanya.
“Maaf. Aku tidak ingin memiliki perasaan bahagia yang palsu. Karena aku bukan orang palsu.”
Ini adalah satu-satunya kebanggaan yang bisa ditunjukkan Jemma. Sesaat kemudian, Jemma meninggalkan beranda, jendela di samping beranda terbuka. Bruce menoleh lalu tertawa malu-malu.
“Kau pasti mendengar semuanya.”
“Iya.” jawab Kaya santai. Karena Bruce tidak bisa menatap wajah Kaya, dia melihat ke jalanan lagi.
“Ini sulit. Aku tahu bahwa masalah yang aku kumpulkan tidak akan bisa dibereskan sekaligus, tetapi ini tetaplah sulit.”
“Jangan mengeluh. Aku tidak akan menerimanya.”
“…Kau dingin sepertiku.”
Bruce tersenyum kecut lalu menggelengkan kepala. Kaya bersandar lagi ke jendela lalu berkata.
“Tapi terima kasih telah memikirkan Jemma.”
“Aku masih merasa banyak yang harus kuperbaiki. Seperti yang dia katakan, rasa sayang karena tanggung jawab tidak bisa benar-benar menjadi kasih sayang.”
“Aku bisa menjanjikanmu satu hal.”
“Apa itu?”
“Jika kau sungguh bisa menyayangi Jemma… Dan Jemma memanggilmu ayah dengan terbuka…”
Kaya berhenti sejenak karena ucapannya selanjutnya sangat berat di hatinya.
“Maka sebagai putrimu, aku akan menyayangimu.”
Mendengar ucapan Kaya, Bruce, dengan hampir menangis, menatap kosong pada Kaya. Pada saat itu, saat dia hendak mengatakan sesuatu dengan suara bergetar, Jo Ara masuk ke kamar Kaya.
“Kaya. Kaya.”
“Apa? Apa maumu?”
“Aku mau menunjukkanmu sesuatu. Ini lihat.”
Jo Ara memperlihatkan ponselnya pada Kaya. Kaya mengernyit. Kata-kata di layar ponsel dalam aksara Korea. Meskipun dia mungkin tidak mengertii semua pembicaraan yang terjadi, dia tahu secara umum karena dia mengambil kelas Bahasa Korea dasar. Membaca ekspresi di wajah Kaya, Jo Ara berkata.
“Kau tahu toko mie.”
“Iya. Bagaimana itu.”
“Kau tahulah kritikus makanan yang memberi ulasan buruk. Sepertinya dia mendapat sesuatu. Makanan yang ada di garis konflik, tentang bagaimana dia bisa mengatakan makanan itu buruk sedangkan seseorang dengan pengecapan mutlak mengatakan itu enak. Dan apakah dia tidak tahu arti sebenarnya dari rasa.”
“Tampaknya orang-orang hanya ikut-ikutan. Meskipun mereka tidak benar-benar tahu rasanya.”
“Tapi itu tidak penting. Apa kau tahu apa yang orang ini katakan tentang kakakku?”
“…Apa?”
Ekspresi Kaya yang tadinya tenang berubah dingin. Cukup untuk membuat Jo Ara takut. Dia mendengar cerita tentang Kaya. Bagaimana dia menghajar penguntit lalu mengirimnya ke rumah sakit. Jo Ara berkata dengan nada gugup.
“Dia mengatakan sesuatu tentang, ‘meskipun dia mungkin memiliki pengecapan mutlak, dia masih muda dan bahkan belum tahu cita rasa sebenarnya makanan Korea karena dia berada di luar negeri. Dia juga mengatakan kita perlu melihat keahliannya yang sebenarnya alih-alih tertipu oleh gelembung berlebihan yang diliput oleh media, meskipun dia mungkin terkenal, kita tidak bisa benar-benar mempercayainya.”
“Apa-apaan ini!?”
“Kaya. Kau jadi sedikit agresif…”
“Tidak. Etika negara mana yang menyalak seseorang yang mengoreksi kritik palsu.”
“Tampaknya itu bukan etika negara kami…”
“Bukankah dia cuma idiot? Aku harus mengatakan sesuatu.”
“Kaya. Santailah. Kaya, kumohon. Jika kau melakukan itu Oppa akan berada dalam masalah yang lebih besar.”
Kaya yang tampaknya hendak mengeposkan sesuatu, menatap ke ponselnya sejenak, lalu meletakkan ponselnya sambil menghela napas. Meskipun benar hal itu membuat emosional, dia tidak mau menyebabkan masalah bagi Jo Minjoon. Jo Ara menepuk-nepuk punggung Kaya.
“Jangan khawatir. Lebih banyak orang yang tidak setuju dengannya dari pada yang setuju.
“Tentu saja. Minjoon itu menakjubkan.”
“Jadi tenanglah. Lihat. Aku adiknya dan aku tetap tenang.”
Mendengar ucapan Jo Ara, Kaya mengambil napas untuk menenangkan diri. Kemudian, sebuah dering notifikasi dari ponsel Kaya menyala. Itu adalah pemberitahuan pesan di Starbook. Pesannya dari Jo Minjoon. Mulut Kaya perlahan mengerucut melihat pesan yang ditulis Minjoon.
“Tampaknya Minjoon bersemangat.”
“…Apa?”
“Lihat ini.”
Kaya menunjuk ke layar. Wajah Jo Ara membeku saat dia membaca pesannya. Suara yang bisa dia dengar hanya erangan. Kata orang, pasangan kekasih mirip satu sama lain. Jo Minjoon yang tenang tampaknya mengambil beberapa sifat dari Kaya. Jo Ara bergumam.
“…Ini masalah.”
<Minat spesial (2)>Selesai.