God of Cooking - Chapter 268 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
God of Cooking: Chapter 268 <Minat spesial (1)>
Begitu makan malam selesai, Jemma menuju ke dapur untuk mencuci piring. Grace mengikutinya, tetapi dihentikan oleh Jo Ara.
“Aku akan mengerjakannya. Bersantailah saja.”
“Jangan. Karena aku yang diundang, sebaiknya aku yang membereskan.”
“Aku tidak bisa membiarkan orang yang jetlag bekerja. Itu membuat kami terlihat buruk. Jadi, biar aku saja yang mencuci piring-piring ini.”
Mendengar ucapan Jo Ara, Grace menyerah. Jo Ara tersenyum sambil berdiri di samping Jemma.
“Aku tidak bisa mengobrol denganmu karena suasananya canggung. Apa kabar, Jemma?”
“Aku sudah… belajar.”
“Kau belajar apa?”
“Banyak hal…”
Jemma membalas dengan senyum di wajahnya. Melihat meja tempat Jo Minjoon dan Kaya sedang duduk, Jo Ara berkata pelan.
“Ini sangat menyenangkan kita bisa menjadi keluarga seperti ini. Setahun yang lalu, kita tinggal di belahan dunia yang berbeda dan tidak saling kenal.”
“Minjoon orang yang baik. Aku senang kakakku bertemu dengannya.”
“Kau tidak perlu memuji kakakku di depanku. Ada banyak sekali orang yang melakukannya.”
Jo Ara menggelengkan kepala seolah lelah mendengar hal itu. Itu bukan omong kosong. Setiap kali ada orang bertemu dengannya, mereka akan mengatakan sesuatu yang dimulai dengan ‘aku lihat kakakmu di internet’, ‘kakakmu muncul di koran.’, ‘impianku adalah menjadi seorang chef, bisakah aku bertemu dengannya?’, dll… Hingga kadang-kadang dia merasa bahwa dirinya hanya hidup sebagai adiknya Jo Min Joon, bukan sebagai Jo Ara.
Bukan berarti dia membenci hal itu. Rasanya sangat ambigu mengatakan bahwa itu menyenangkan, tetapi fakta bahwa perhatian orang-orang terhadap Jo Ara adalah bukti bahwa Jo Min Joon telah sukses. Namun meski demikian…
“Apa kau merasa terjebak kadang-kadang? Meskipun aku tidak bisa melampauinya, aku hanya ingin sama sukses dengannya. Tapi sepertinya, aku bahkan tidak bisa meraih itu.”
Kaya, yang lebih muda dari Jo Minjoon, sama suksesnya dengan dia. Maka dari itu, Jo Ara penasaran apakah Jemma merasakan hal yang sama seperti dirinya. Berpikir dia akan memiliki teman sepenanggungan, seperti Jemma, Jo Ara melihat ekspresi Jemma.
Jo Ara terkejut. Ekspresi dan perasaan Jemma lebih kompleks dari yang pernah dilihat Jo Ara. Ada banyak emosi di wajahnya yang mana butuh waktu sepanjang hidup untuk hanya membacanya satu per satu.
“Aku…”
Di saat Jemma hendak mengatakan sesuatu, dia menutup mulutnya. Jadi, Jo Ara bahkan tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Jemma dalam benaknya. Maka dari itu, dia tidak bisa menghiburnya atau bahkan bertanya kenapa.
Jo Ara tidak tahu apapun tentang Jemma. Bagaimana hidupnya sebagai adik Kaya. Bagaimana rasanya saat ayah kakaknya kembali sedangkan ayahnya sendiri entah di mana. Bagaimana dia menghadapi tantangan setiap hari sebagai seorang penyandang disabilitas.
Jemma mempertimbangkan ekspresi Jo Ara yang bingung lalu tersenyum. Senyumnya jauh dari cantik yang alami karena di akhir, senyumnya bergetar.
“Aku tidak akan serakah.”
“Iya. Jika kita serakah itu hanya akan membuat kita lelah. Ya kan?”
Jo Ara segera menyetujui tetapi atmosfer di balik senyumsamar Jemma tidak segera meghilang. Atmosfer suram yang tercipta bukan karena ucapan Jo Ara melainkan karena beban masa depan yang harus dipikulnya nanti. Mau tak mau, dia merasa terbebani.
Pada saat disonansi yang diciptakan oleh suara canggung Jemma dan suara ceria Jo Ara yang berlebihan berakhir, baik Jemma dan Jo Ara tampak sedih. Akan tetapi, mereka bukan satu-satunya yang terlihat sedih. Bruce juga merasa sedih karena gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali Jo Soohyup bertanya dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah, Bruce menjawab dengan suara yang penuh energi, seperti sekarang.
“Ya, aku punya bisnis dalam bidang pendistribusian.”
“Kudengar sulit untuk menjadi sukses dalam bisnis distribusi. Aku kagum.”
“Bukan apa-apa. Aku tidak keren, aku hanya beruntung dan semuanya jatuh pada tempatnya. Akulebih kagum pada anak-anak kita yang menggunakan bakat mereka hingga berada di puncak. Karena sudah membesarkan putra yang cemerlang, aku kagum padamu Mr. Jo.”
Terasa sedih tapi juga menggemaskan menonton keduanya terlihat berusaha untuk tidak menyinggung satu sama lain. Niat mereka tulus. Karena alasan itu, perbincangan mereka dengan mulus beralih ke topik yang ringan dan penting.
“Apa anak-anak sudah mengatur tanggal pernikahan?”
“…Kenapa kau bertanya pada Bruce? Tanyakan saja pada kami.”
“Kami belum punya rencana pernikahan.”
Jo Minjoon menjawab dengan suara tenang. Dia tahu bahwa begitu dia sampai rumah, dia harus membicarakan topik ini. Karena Lee Haesoo dan Jo Soohyup punya pemikiran yang masih konservatif, maka jika mereka berdua tidak menolak pernikahan, itu merupakan sebuah langkah kemajuan.
Jo Minjoon tidak bingung karena Grace dan Bruce juga ada di sana. Karena alasan itu, tidak mudah bagi Jo Soohyup dan Lee Haesoo merengek tentang pernikahan. Pernikahan ini bukan hanya tentang mereka tetapi tentang Jo Minjoon dan Kaya.
Ketika Jo Soohyup mendengar ucapan itu, dia berhenti sejenak.
“Bagaimana dengan pertunangan?”
Seberapa banyak Jo Soohyup berlatih untuk momen ini bahwa Bahasa Inggris yang keluar dari mulutnya sangat lancar dibandingkan sebelumnya? Dia terdengar seperti orang yang sama sekali berbeda.
Baik Jo Minjoon maupun Kaya tidak memprediksi penawaran semacam itu akan mucul. Bruce menyimpan ucapannya karena dia tidak ingin mengintervensi Jo Minjoon dan Kaya, sedangan Lee Haesoon tidak bisa berbahasa Inggris. Pada akhirnya, satu-satunya yang bisa menjawab itu adalah Grace.
“Pertunangan?”
“Tentu, kita tidak bisa memutuskan. Keputusan terserah pada anak-anak. Meskipun aku menghormati keputusan Kaya dan juga Minjoon, tetapi mereka masih muda. Dan darah muda selalu memuculkan kecelakaan yang tidak terduga. Jadi, aku ingin menciptakan sebuah jaring keselamatan di antara mereka berdua… semacam sabuk keselamatan.”
“…Bisakah kita saja yang memutuskan?”
“Aku tidak melarangmu untuk memutuskan. Aku hanya membuat penawaran sehingga kau bisa memikirkan dengan serius tentang itu. Kau bahkan tak perlu memutuskannya hari ini. Kau punya banyak waktu.”
Segera setelah Jo Soohyup selesai berbicara, Lee Haesun berbisik dalam Bahasa Korea, ‘Apa kau sudah mengatakan semua yang kau siapkan?’ Jo Soohyup mengangguk dengan ekspresi bangga. Ini menempatkan Jo Minjoon di posisi karena ada lebih banyak hal yang perlu dipertimbangkan sekarang. Dia tahu bahwa pembicaraan tentang pernikahan ada di atas meja di antara calon mertua.
Akan tetapi dia tidak menduga soal pertunangan. Beruntung Jo Soohyup tidak meminta jawaban segera. Saat Jo Minjoon melihat Kaya, dia dengan canggung memalingkan kepalanya untuk menghindari tatapan Jo Minjoon. Pada saat itu, Lee Haesun berbisik ke Jo Minjoon dalam Bahasa Korea.
“Kaya itu cantik.”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu kau harus mengambilnya. Klaim dia milikmu sebelum dia pergi.”
“Apa menurutmu itu akan mencegahnya pergi?”
“Maka cobalah.”
Lee Haesun menjawab dengan suara suram. Jo Minjoon menghela napas dan memalingkan muka. Pada saat itu, teleponnya berdiring. Nomor tidak dikenal. Biasanya, dia tidak akan menjawab telepon dari nomor tak dikenal, tetapi dia butuh pengalihan.
“Tunggu yaa, biarkan aku menjawab telepon ini.”
Kaya memelototinya dengan ekspresi kesal seolah dia ingin mengatakan bagaimana dia bisa meninggalkannya sendirian di tempat itu. Dengan mengalihkan matanya, Jo Minjoon memasuki sebuah ruangan dan meletakkan ponsel di telinganya.
“Halo?”
<<Oh, Minjoon. Ini Kim Minsuk>>
“Oh, ya. Ada apa?”
<<Maaf menelponmu tiba-tiba, tapi aku ingin berterima kasih atas komentar yang kau buat di Starbook.>>
“Itu bukan apa-apa. Aku menulis komentar tentang hidangan enak yang kumakan. Tidak perlu berterima kasih.”
Tidak ada suara dari seberang seolah teredam oleh ucapan Jo Minjoon. Namun, dia menunggu dengan sabar dalam diam. Segera setelah itu, Kim Minsuk berkata dengan suara yang sedikit menangis.
<<Aku tahu mungkin aku terdengar konyol dan mengganggu… tapi bolehkah aku mentraktirmu minum?>>
Jo Minjoon berhenti sejenak. Jika seorang teman alumni SMP yang tidak ditemui Jo Minjoon selama beberapa tahun mengajaknya minum, maka seberapa besar rasa sakit dan kesepian yang akan dirasakan teman alumni itu saat ini. Jo Minjoon tidak bisa menolak tawaran itu.
“Jangan. Aku tidak bisa.”
<<…Tentu, aku mengerti. Maaf.>>
Kim Minsuk menjawab dengan suara tertekan. Jo Minjoon melihat ke ruang tamu. Itu adalah pertemuan keluarga yang telah lama ditunggu-tunggu, tetapi dia tidak bisa meninggalkan Kim Minsuk sendirian. Bukan karena mereka alumni.
Itu karena mereka berdua adalah koki. Dia ingin mendengar cerita tentang koki yang tidak dapat dikenali bahkan setelah membuat hidangan yang enak. Meskipun dia mungkin tidak bisa menyelesaikan masalah, dia ingin berada di sana sebagai pendukungnya.
Jadi, dia berkata.
“Aku hanya mengatakan aku tidak bisa minum. Bagaimana dengan kopi? Apa ada kafe yang bagus di dekat sini?”
**********************
“Mr. Jo.”
Kim Minsuk tersenyum dan melambaikan tangan pada Jo Minjoon. Jo Minjoon mempercepat langkahnya dan memasuki kafe. Ada beberapa orang yang menatapnya seolah-olah mereka tidak bisa mempercayai mata mereka. Dengan cepat mengerti, Kim Minsuk meminta maaf.
“Maaf. Aku lupa kau sangat populer.”
“Tak apa. Mereka akan menyadarinya pada akhirnya. Bagaimanapun, bukankah kita mengatakan bahwa kita akan bersikap informal saat kita bertemu lagi?”
“Ya, betul Mr. Jo. Tidak, maksudku, iya Minjoon.”
“Ini aneh.”
“Aku tahu.”
Untuk sesaat, keduanya saling memandang dengan ekspresi malu dan tertawa. Jo Minjoon bertanya dengan tenang
“Ada apa kau menelponku?”
“Maaf. Aku tahu kita tidak begitu dekat, tapi aku ingin mengobrol dengan seseorang. Dan ketika aku memikirkan seseorang yang dapat berhubungan denganku dan memahamiku, satu-satunya orang yang bisa kupikirkan adalah kau. Lucu, kan?”
“Aku senang kau menelpon. Itu berarti kau melihatku dengan sudut pandang yang baik.”
“Siapa yang tidak melihatmu dengan sudut pandang yang baik. Kau selalu jadi orang yang baik. Baik sekarang maupun dulu saat SMP.”
“Bagaimana aku saat SMP?”
Jo Minjoon bertanya dengan ekspresi penasaran. Bagi Kim Minsuk, masa SMP adalah 8 tahun yang lalu, tetapi bagi Jo Minjoon itu lima belas tahun yang lalu. Jelas memori Jo Minjoon sedikit kabur. Kim Minsuk melongo seolah sulit menjawab. Kemudian perlahan dia berkata.
“Ada sesuatu yang tidak biasa denganmu. Kau tampak normal, tapi kau selalu tenang dan tidak pernah begitu bersemangat seperti anak lain. Aku bisa katakan kau seperti aristokrat modern. Jadi, ketika kudengar kau sukses, aku tidak terkejut. Aku tahu kau sudah pergi ke mana-mana”
“Terima kasih pujiannya, tetapi menurutku kau berlebihan memujiku.”
“Aku tahu. Tapi kau tahu? Kau jadi sukses. Semua orang di dunia mendengarkan suaramu sekarang. Apa kau tahu berapa banyak orang mengunjungi restoran setelah kau menulis komentar? Restoran kami selalu penuh, dan orang-orang bahkan mengantre untuk bisa mencicipi hidangan.”
“… Miemu memang enak. Orang-orang akhirnya tahu betapa enaknya itu. Itu yang kuyakini.”
“Itu juga yang ingin kupercayai.”
Kim Minsuk bergumam dengan suara parau. Dia memandangi meja sejenak lalu berkata dengan suara sedih dan tak berdaya.
“Namun, aku salah. Orang-orang tidak mengerti citarasa. Bahkan orang-orang yang menganggap dirinya tahu citarasa salah mengerti. Baru beberapa hari yang lalu, kebanyakan orang yang mengunjungi restoran kami akan mengatakan, “Entah rasa apa yang membuat mie ini diidamkan.” Tapi apa kau tahu respons akhir-akhir ini setelah kau menulis komentar? Kebanyakan dari mereka berkata “Lagi-lagi Jo Minjoon menemukan mutiara tersembunyi seperti ini.”, dll.”
“… Tidakkah kau berpikir orang-orang mengatakan itu karena mereka tahu bahwa restoranmu enak?”
“Kita dikunjungi pengkritik makanan sebelumnya.” kata Kim Minsuk dengan suara tenang. Meskipun dia berpura-pura tenang, dia berkata dengan suara pesimis.
“Setelah ibuku meninggal, mereka datang dan berkata, ‘bagaimana mungkin anak muda sepertimu bisa menghidupkan kembali cita rasa mie yang begitu dalam’. Meskipun kita menggunakan metode yang sama dan resep yang yang digunakan ibu kami, setelah orang itu mengunggah komentarnya, semuanya berubah. Orang-orang bekata hal-hal seperti ‘Oh tempat itu, rasanya berubah setelah pemiliknya berubah. Jangan pergi ke sana.’ Kau tahu betapa menyesakkannya itu?”
“Aku tahu. Aku tahu para blogger yang buruk.”
“Aku tidak memiliki kepercayaan diri lagi. Mereka tidak mempercayai mie kami tetapi ucapanmu. Ketika aku memikirkannya, aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan dalam hidupku. Aku mau menjalani ini dengan bangga. Aku terlalu ingin menjadi bangga, tetapi menurutku, aku tidak bisa melakukannya jika tak seorangpun percaya padaku. Apa sih yang sedang kulakukan dengan hidupku?”
Kim Minseok tampak seolah hendak menangis. Jika mereka sedang minum alkohol alih-alih kopi, wajahnya aku memerah dan bersimbah air mata. Jo Minjoon menepuk-nepuk bahu Kim Minsuk pelan.
“Aku tahu.”
“…Tahu apa?”
“Aku tahu nilai sebenarnya dari miemu. Harta karun yang terlalu indah untuk dilepaskan. Aku tahu bahwa itu lebih indah dari pada sebuah lukisan yang bernilai jutaan dolar. Aku tahu.”
Jo Minjoon tersenyumsambil meminta maaf.
“Apa itu belum cukup membuatmu percaya diri?”
<Special Interest (1)> Selesai.