God of Cooking - Chapter 266 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 266 <Sebuah kejutan (6)>
“Komentarku pemicunya?”
Jo Minjoon bertanya dengan nada bingung. Dia sangat ragu karena dia tidak mengerti bagaimana bisa beberapa baris kata-kata yang baik bisa memperbaiki situasi yang tidak dapat dilakukan oleh hidangan yang baik. Ironi menyedihkan apa yang akan mereka jalani jika realitas industri restoran modern lebih dipengaruhi oleh perkataan orang daripada memasak. Namun, Jo Ara tidak tahu kalau kakaknya tampak dan berkomentar dengan nada bersemangat.
“Oppa, kau itu lebih populer dari yang kau pikirkan. Bagaimana bisa kau tidak tahu?”
“Aku tidak seterkenal itu di Amerika Serikat…”
“Kau mungkin lebih terkenal di Korea daripada di Amerika Serikat. Kau tahu bagaimana para orang Korea mengidolakan orang Korea yang jadi terkenal di luar negeri.”
Bukannya Jo Minjoon tidak paham ucapan adiknya, tetapi dia berhenti memasak lalu mengeluarkan ponselnya untuk mengecek komentar yang dia buat. Itu komentar sederhana tentang restoran mie tradisional Pyeongyang yang mempertahankan citarasa tradisional selama 45 tahun. Dikatakan juga bahwa kebetulan dia bisa bertemu dengan alumninya dari SMP yang membuatnya paham apa itu rasa mie tradisional.
Namun, itu cukup membuat orang-orang tertarik. Beberapa orang menunjukkan fakta bahwa Jo Minjoon mungkin mengiklankan alumninya dari sekolah menengah, tetapi komentar tersebut tidak diterima dengan baik oleh komunitas karena mereka mengerti dan memiliki kepercayaan pada Jo Minjoon, bagaimana dia sangat bersemangat dan jujur tentang masakan.
Hal itu dapat dimaklumi karena Jo Minjoon bahkan merilis resep Joe Regiano yang menyita waktunya secara gratis. Persepsi umum orang Korea terhadap Jo Minjoon, yaitu bahwa dia seorang jenius yang mencurahkan segalanya pada hidangan yang dia sukai terlepas dari segi materi. Jo Ara bertanya.
“Apa restoran itu sebagus itu?”
“Jika tidak, apa aku akan membuat komentar seperti itu? Apa menurtmu aku tipe orang yang seperi itu?”
“Barangkali kakak berpikir ingin membantu teman SMP yang sedang kesusahan.”
“Kau benar. Aku hanya ingin membantu. Tapi aku tidak tahu akan jadi viral seperti ini. Jika makanannya terasa buruk, aku tidak akan merasa sedih jika mereka bangkrut. Wajar untuk berpikir bahwa jika sebuah restoran tidak dapat membuat hidangan yang enak, mereka pantas untuk tutup.”
“Menakutkan. Bagaimana bisa kakak mengatakan hal seperti itu dengan entengnya?”
“Aku hanya mencoba mengatakan bahwa restoran itu bagus. Jika kau punya waktu dan ingin makan mie, kurekomendasikan untuk pergi ke sana bersama temanmu.”
“Well, entahlah. Aku belum pernah ingin makan mie Pyeonyang.”
Jo Min Joon menghela napas mendengar jawaban menyedihkan adiknya. Sungguh memilukan jika banyak orang sepemikiran dengan adiknya yang membuat balasan ringan tentang mie tersebut. Kaya berkata dengan suara tenang.
“Makanan lezat layak dihormati. Terutama chef yang membuat hidangan itu.”
“Tentu, itulah yang kurasakan.”
“Semoga ada jalan terbaik untuk mereka.”
Mendengar suara Kaya yang tenang, Jo Min Joon menatap adiknya saat dia ingin adiknya untuk melihat Kaya sebagai panutan. Saat Jo Ara mengalihkan pandangan dengan ekspresi lembut, Kaya berkata dengan nada nada tenang.
“Sudah yaa. Bergegaslah dan bantu kakak di dapur.”
“Mmm, apa aku harus membantu juga?”
“Tidak. Amatir seperti dirimu akan menciptakan lebih banyak masalah.”
Pada penolakan tegas Kaya, Jo Ara menundukkan kepalanya dengan ekspresi muram, tapi begitu dia melihat pasangan itu memasak bersama, dia terpesona. Dia tahu bahwa kakaknya dan Kaya adalah chef yang profesional dengan banyak keahlian dan pengakuan, tetapi dia akhirnya paham kenapa chef yang mahir sering disebut master atau ahli masak.
Dia tidak percaya bahwa kehadiran mereka yang luar biasa akan memenuhi seluruh dapur. Dia selalu yakin bahwa Jo Minjoon adalah kakaknya dan Kaya adalah pacar kakaknya. Alih-alih menjadi seorang idol, dia selalu berpikir bahwa mereka adalah orang-orang terkenal yang dekat dengannya.
Karena alasan itu, dia merasa canggung setiap kali yang lain membahas tentang kakaknya. Dia selalu penasaran seberapa menakjubkan kakaknya dan pacarnya hingga mereka membuat orang-orang sangat antusias terhadap mereka.
Namun sekarang, dia paham alasan kepopuleran mereka.
“…Menakjubkan.”
Jo Ara berguman sambil menatap kosong ke arah mereka. Kehadiran mereka yang menakjubkan membuat dapur yang luas terasa sempit. Biasanya, di TV, momen terindah yang mengabadikan keahlian chefnya adalah saat mereka memotong. Namun, melihat chef mahir dari samping seperti ini, dia paham bahwa keahlian chef dapat diekspresikan tidak hanya saat memotong tetapi saat lainnya juga.
Semuanya sempurna. Tidak hanya keahlian memegang pisau, tetapi gerakan pergelangan tangan saat menggoyang wajan juga sempurna Setiap kali menggerakkan wajan untuk membalik mie, tidak ada satu helai mie pun yang terlempar keluar. Hal yang sama juga terjadi saat memasak ikan.
Tidak terbatas pada wajan. Sama seperti kata orang-orang bahwa mencuci alat masak adalah dasar dari memasak. Setiap kalidicuci, bagian atas papan talenan bersih, dan mejanya teratur. Hal ini membuat dapur tampak rapi untuk melakukan banyak kegiatan memasak. Jo Ara melihat ibunya. Lalu Lee Hae Sun Sun menghindari tatapan putrinya dengan rasa malu.
“Bu. Tidakkah menurut Ibu, Ibu perlu mengubah sesuatu?”
“Apa?”
“Lihatlah mereka. Meski memasak dengan sangat hati-hati, mereka tetap mencuci peralatan masaknya. Sedangkan ibu menyuruh kami mencucinya, dan mengeluh capek. Apa itu masuk akal? Jika ibu adalah ibu rumah tangga penuh waktu, bukankan ibu sebaiknya profesional mulai dari sekarang?”
“Tampaknya aku memberi putriku terlalu banyak uang saku. Apa kau mau mencari kerja sambilan?”
“Karena itulah! Apa yang ingin kukatakan adalah… aku akan mulai memasak. Ibu pasti lelah, kan?”
“Putriku pengertian sekali, dan tahu ibunya sudah lelah.”
Mendengar perbincangan mereka, Jo Minjoon tersenyum. Kaya melirik Jo Minjoon lalu bertanya.
“Apa? Apa kau teringat sesuatu yang lucu?”
“Tidak, bukan apa-apa. Bagaimana dengan kembang kol dan pure bawang bombaynya?”
“Ini sempurna. Jangan khawatir.”
Kaya membungkus japchae dengan kulit lumpia beras yang disaput dengan minyak zaitun dan diikat dengan daun lokio. Kemudian dia menggorengnya seperti dumpling goreng. Begitu kulit lumpia beras sudah cukup renyah, dia meniriskannya lalu meletakkannya di atas piring dengan puree di atasnya. Ketika dia mengusap bulir keringat di dahinya dengan handuk dan meilhat Jo Minjoon..
“Kapan semuanya sampai?”
“Ayahku akan segera pulang.. dan keluargamu juga akan segera datang katanya. Mereka bilang bahwa mereka hampir tiba.”
Seolah diberi aba-aba, pintu depan terbuka. Ketika semua orang menoleh untuk melihat Jo Soo Hyup kembali dari kerja, ada orang lain di belakangnya. Grace, Bruce, dan Jemma juga sudah tiba. Dengan masih memakai apron, Jo Min Joon menuju pintu untuk menyambut para tamu dengan senyum.
“Selamat datang, Ayah. Lama tak jumpa.”
“Memang. Apa kabarmu baik?”
“Aku merasa malu untuk mengatakan kabarku baik padahal aku pingsan karena kelelahan minggu lalu. Tetapi, semuanya memang baik.”
“Kemarilah, biarkan aku memelukmu.”
Jo Soohyup menjatuhkan tasnya ke samping lalu merentangkan tangannya. Dengan ekspresi canggung, Jo Min Joon mendekap ayahnya, lalu Jo Soohyup menepuk-nepuk punggung putranya dengan lembut.
“Kau sudah berhasil.”
“…Ayah juga.”
“Ayo masuk.”
Tidak perlu ada perbincangan lama antara ayah dan anak. Ketika Jo Soohyup melihat apa yang tertata di ruang tamu, dia tersenyum.
“Apa ini semua? Jamuan yaa.. Tampaknya kau tidak memasak hari ini, Sayang.”
“…Apa itu pertanyaan yang bagus untuk diajukan?”
“Jika kau yang memasak, tidak akan tampak sebagus ini. Jadi, wanita ini adalah …”
Jo Soohyup berhenti sejenak lalu melihat Kaya. Ini adalah pertemuan pertama mereka berdua karena Jo Soohyup tidak bisa pergi ke AS terkait pekerjaannya. Meskipun dia melihat Kaya melalui Facetime, bertemu secara langsung terasa berbeda.
Apakah itu karena dia bertemu dengan calon menantunya, ada banyak ekspresi di wajah Jo Soo Hyup. Dengan senyuman dia menyodorkan tangan dan berbicara dengan bahasa Inggris yang kental dengan aksen Korea yang tidak begitu sulit dimengerti.
“Senang berjumpa denganmu, Kaya. Perkenalkan. Aku ayah Minjoon. Jo Soohyup.”
“Senang berjumpa dengan Anda, Soohyup. Saya Kaya Lotus.”
“Rasanya canggung memperkenalkan diri lagi meski kami saling mengenal.”
Kaya tersenyum mendengar komentar Jo Soo Hyup. Di sisi lain ruangan, karena itu adalah pertemuan pertama dengan para besan, Lee Hae Sun dan Jo Ara melihat dengan aneh terhadap Bruce. Melihat mereka ragu-ragu, Kaya berkata dalam bahasa Inggris yang bisa dimengerti oleh Lee Hae Sun..
“Ini pertama kalinya… Dia adalah ayahku.”
“Senang bertemu dengan Anda. Saya Bruce Crawford.”
Bruce memperkenalkan diri dengan gugup. Seolah ingat dengan budaya Korea, dia membungkuk sedikit. Jo Min Joo tersenyum dan melihat semua orang.
“Ayo semuanya silakan duduk dengan nyaman. Makanannya mungkin dingin.”
“Ya, tentu.”
Begitulah cara kedua keluarga memulai makanan sederhana mereka. Jo Soohyup melihat hidangan-hidangan di meja dengan terpesona. Ada bulgogi yang dipanggang langsung di atas api, lumpia goreng isi japchae dengan berbagai puree dan saus, daging rebus yang ditata apik, dan ikan corvina kuning kukus dengan puree brokoli.
Hasil dari resep dan teknik memasak yang baru membuat makan malam yang biasa terasa seperti karya seni. Hal ini membuat mereka sulit untuk langsung mencabut sumpit dan garpu karena khawatir akan merusak karya seni yang disajikan kepada mereka. Yang pertama menyentuh hidangan adalah Jo Soohyup. Dia mencocolkan ikan corvina kuning ke puree kembang kol.
‘Apa Minjoon… yang sungguh membuat ini?’
Persisnya, itu adalah kolaborasi antara Kaya dan Jo Minjoon. Jo Soohyup menghela napas suka cita. Dia mencicipi hidangan putranya tahun kemarin, yang sangat renyah dan enak. Bahkan waktu itu dia berpikir bahwa putranya bisa membuka restoran kelas atas.
Akan tetapi sekarang sangat berbeda. Dia hanya menatap putranya. Tidak ada ruang untuk kata-kata, dia bisa mengatakan segalanya melalui ekspresinya. Itulah tipe hidangan yang Jo Minjoon buat.
‘Dia disebut-sebut sebagai koki paling populer di dunia.’
Dia pun sering mendengar berita tentang putranya. Bagaimana lingkungan gastronomi Korea memupuk kejeniusan, tetapi dia tidak terlalu memikirkannya karena sudah umum bagi budaya Korea untuk memuji seseorang yang menjadi sukses. Dia percaya saja bahwa putranya adalah seorang bintang baru yang menarik perhatian yang lebih banyak dari yang layak dia dapatkan.
Namun, sekarang berbeda. Dia paham sekarang bahwa persepsi Jo Minjoon tidak hanya bualan. Hidangan yang disiapkan putranya untuk dirinya membuatnya berpikir kembali tentang kehidupannya, terhadap semua hidangan yang dia makan sebelumnya. Dia tidak pernah mencicipi hidangan dengan gelombang rasa yang kuat dan segar yang mengguncang jiwanya.
Itu cita rasa yang sederhana. Ketika dia menyantap japchae goreng yang berbalut kulit lumpia dan dilumuri dengan berbagai pure, dia tidak mempercayainya. Dia tidak tahu bagaimana bisa putranya menguasai semua teknik memasak ini. Ini sangat berbeda dengan yang dia cicipi sebelumnya, itu membuatnya ragu bahwa dirinya mengenal putranya.
Jo Soohyup berkata.
“Dulu ayah bilang agar kau sebaiknya menjadi guru, bukan?”
“Iya, Ayah.”
“…Maaf. Ayah tidak tahu. Ayah tidak tahu kau diberi anugerah.”
Jika Jo Minjoon tidak berpetualang untuk membuktikan dirinya di Grand Chef, jika dia tidak bisa membuktikan bakatnya di Grand Chef, Jo Soohyup akan menentang keputusan putranya untuk menjadi koki. Jika dia menentang keputusan putranya, dia akan menghentikan pertumbuhan putranya dan tidak akan membiarkan dia mencapai potensi maksimalnya
‘Aku mungkin telah menjadi orang tua yang paling buruk.’
Pada saat kepahitan meninggalkan lidahnya, istrinya meletakkan tangannya di pahanya. Jo Soohyup tersenyum dan meraih tangan istrinya dan berkata dengan suara pelan kepada istrinya.
“Putra kita luar biasa. Dia melampaui ekspektasi kita, membuatku merasa malu.”
Lee Haesun tersenyum.
“Tetapi itu rasa malu yang bagus.”
Terkejut mendengar respon istrinya, dia hanya menatap hidangan di depannya. Setelah beberapa menit, dia mengganguk lalu menjawab.
“Iya. Aku senang.. aku merasa malu pada diriku sendiri.”
<Sebuah kejutan (6)> Selesai.