God of Cooking - Chapter 265 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 265 <Sebuah kejutan (4)>
‘Kurasa tradisi selama 45 tahun sungguh bukan omong kosong.’
Tentunya, jika mereka meletakkan slogan palsu dalam iklan toko mereka, secara teknis itu penipuan, bukan omong kosong. Sementara pandangan Jo Minjoon terpaku ke meja orang lain, Kaya bertopang dagu, memandangi sorot mata Jo Minjoon sambil merenung.
‘Selalu seperti ini.’
Normal bagi Jo Minjoon teralihkan oleh hidangan di meja orang lain, jadi Kaya tidak merasa malu lagi. Justru, dia hanya penasaran. Apa sih yang Minjoon lihat di matanya saat melihat ke hidangan yang yang belum pernah dia rasakan?
Keberadaan Minjoon selalu menjadi katalis bagi Kaya. Andai dia tidak bertemu dengan Jo Minjoon, dia mungkin masih dimabuk oleh bakatnya dan sukses saat ini dengan harga diri yang tiada habisnya. Sekarang pun hampir seperti itu. Dia telah bersaing dan menang melawan ribuan chef dari seluruh Amerika Serikat di saat dirinya belum menginjak 20 tahun. Itu juga, tidak seperti mereka, dia bahkan harus menanggung segala macam komentar yang merendahkan dirinya di lingkungan yang melelahkan itu sebelum dia menang.
Awalnya, Kaya menganggap Jo Minjoon tidak lebih hebat darinya. Ketika dia tahu bahwa Jo Minjoon punya pengecapan mutlak, dia terkejut bahwa ada seseorang yang bisa mengecap lebih sensitif darinya, tetapi hal itu belum memotivasinya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia menyadari. Selain celah lebar antara kesensitifan pengecapan mereka, temperamen bawaan mereka pun berbeda. Kaya berkata,
“Kau tahu?”
“Apa?”
“Saat aku memikirkan masakanmu, aku merasa bahwa ternyata ada orang yang jelas bisa berubah dengan sangat menakutkan.”
“Tentu saja. Lagipula aku mempertaruhkan hidupku.”
Tidak ada keraguan dalam suaranya saat dia mengucapkan itu. Kaya melihatnya dengan penasaran.
“Bagaimana mungkin kau sangat yakin? Kau tak tahu bagaimana kehidupan nanti di masa depan.”
“Aku suka sejak kecil. Memasak. Dan bahkan di saat aku menjadikannya sebagai pekerjaan, anggapanku tidak berubah sama sekali. Aku akan terus merasa seperti itu juga di masa depan. Dan aku tipe orang yang tidak akan merasakan hasrat apapun jika aku tidak melakukan apa yang kusuka. Tentunya, semua orang juga seperti itu. Apa menurutmu juga begitu?”
“Well. Aku jelas suka memasak, tetapi terkadang aku membayangkan diriku melakukan hal lain juga. Misalnya muncul di acara TV, seperti Chloe. Tentunya, saat ini, aku merasa praktis seperti seorang chef TV hiburan,.”
“Jangan menyalahkan diri. Tak perlu terburu-buru juga. Hanya tinggal beberapa bulan lagi sampai kontrak Grand Chef berakhir.”
“Jika kau mengatakannya seperti itu, aku merasa lega tetapi juga sedikit menyesal.”
Kaya menyilangkan kaki dan bersandar untuk meregangkan sandaran. Jo Minjoon melirik ke meja di sebelah mereka. Yang duduk di sebelah mereka adalah pasangan paruh baya yang terlihat kaya saat pertama dilihat. Sesuai dugaan, orang akan penasaran tentang citarasa mie naengmyeon Pyongyang yang sudah berdiri bertahun-tahun. Wanita itu berkata dengan enggan.
“Berapa kali pun aku menyantap mie naengmyeon Pyongyang, aku tidak bisa mengatakan lezat. Kenapa sih kau suka ini?”
“Orang-orang mengatakan bahwa mie naengmyeon Pyongyang terasa membosankan, tetapi aku sungguh tidak mengerti. Bagaimana mungkin ini membosankan? Citarasa kaldunya yang gurih jelas nendang dan sedap.”
Jo Minjoon langsung tertawa mendengar kata-kata pria itu. Kaya bertanya dengan ekspresi penasaran.
“Kenapa kau tertawa?”
“Ketika membahas soal hidangan ini, perbedaan preferensi orang-orang sangat besar di Korea. Menurutku, kau mungkin bisa merasakan rasa tersembunyi mie naengmyeon Pyongyang …… tetapi pendapat pasangan itu berbeda.”
“Coba kutebak. Suaminya suka, sedangkan istrinya tidak?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Itu jelas dari ekspresi mereka. Selain itu, wanita itu memilah-milah makanan dengan sumpitnya sejak awal.”
Mendengar ucapan Kaya, Jo Minjoon mengangguk. Jelas, tidak perlu kata-kata untuk memberi tahu bagaimana kesan seseorang tentang suatu masakan. Hal itu bisa dimengerti hanya dengan melihat mangkuk pelanggan dan ekspresi mereka. Jo Minjoon menghela napas dalam hati saat memikirkan tentang itu. Dia merasa sulit untuk percaya bahkan hidangan yang dibuat dengan hati-hati tidak akan mampu mengatasi hambatan rasa.
Dia menyadari betapa kejammnya jalan yang ditempuh mie naengmyeon Pyongyang . Jika dia memasak hidangan lezat lainnya, orang-orang akan suka kecuali mereka alergi dengan itu atau punya trauma yang berkaitan dengan itu. Namun, tidak peduli seberapa banyak telah disempurnakan, mie naengmyeon Pyongyang akan tetap gagal karena selera orang itu tidak cocok. Tepatnya, itu masalah preferensi. Bagi orang-orang yang terbiasa dengan stimulasi garam dan bumbu, mau tidak mau, naengmyeon Pyongyang yang sedikit asin akan terasa seperti segumpal soba cincang encer.
‘Tapi melihat bagaimana dia tidak menyerah apapun yang terjadi, harus dikatakan bahwa pengrajin bukanlah pengrajin tanpa alasan.’
Jo Minjoon berpikir tentang bagaimana dirinya apabila ada dalam situasi seperti ini. Dia sudah akan depresi, padahal dirinya mengatakan tidak bisa melihat apapun di masa depan, meskipun dia jatuh saat masih muda. Jika dia benar-benar mendedikasikan 45 tahun hidupnya untuk ini, hanya untuk menimbulkan reaksi seperti ini…
“Ini menakutkan.”
“Apa itu?”
“Mendedikasikan hidupmu untuk hidangan yang tidak disukai kebanyakan orang, itu bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan dengan keuletan dalam jumlah yang biasa.”
“Itu kebodohan.”
Dan subyek dari dedikasi bodoh menghampiri mereka. Kim Minseok tersenyum dengan gugup saat membawakan mie naengmyeon mereka. Tepatnya, itu bukan hanya mie naengmyeon. Di letakkan di depan mereka hidangan pyeonyuk daging babi dan suyuk daging sapi di sisi mie naengmyeon. Jo Minjoon melihat Kim Minseok dengan ekspresi bertanya-tanya. Kim Minseok menjawab sambil tersenyum malu-malu.
“Gratis untuk alumni. Silahkan menikmati.”
“Oh, terima kasih. Anda tidak perlu melakukan ini…”
“Ini servis untuk alumni, tetapi juga karena saya penasaran. Bukankah Anda mengatakan bahwa Anda punya pengecapan mutlak? Peluang untuk dievaluasi secara ketat oleh seorang ahli kuliner yang luar biasa tidak datang setiap hari. Mungkin ini yang terakhir…”
Saat Kim Minseok mengatakan kalimat terakhir, ekspresinya terlihat muram sejenak. Namun, Jo Minjoon tidak memikirkannya. Dia berpikir bahwa Kim Minseok mungkin mengatakan itu karena dirinya akan segera kembali ke Amerika. Minjoon tertawa lalu mengangguk.
“Terima kasih atas hidangannya. Kaya, sapalah. Ini gratis Anda bilang?”
“Ah, kansahamnida*.”
“······kau salah mengucapkan.”
“Bagaimana seharusnya mengucapkannya?”
“Kamsahamnida.”
“Kaeum…?”
“Tidak apa-apa. Saya sudah paham. Ttaeng-kyu, Kaya. Silahkan menikmati.”
Kim Minseok tersenyum lalu pergi. Jo Minjoon melihat hidangan itu lagi. Skor masakan untuk daging irisnya 6 dan skor untuk daging yang dimasak 8. Kaya melihat hidangan di meja dengan ragu.
“Ini masalah yang ada di restoran Korea. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Akan bagus bila ada semacam paket panduan.”
“Kau bisa memulainya dari mana saja yang kau suka. Kau hanya ragu-ragu.”
“Tolong pilihkan.”
“Untuk ini, lebih baik makan sesuatu yang panas dulu. Suyuk. Pyeonyuk. Kemudian naengmyeon. Urut seperti itu.” kata Jo Minjoon lalu mengambil seiris suyuk.
Apakah bagian yang berbeda dari daging direbus bersamaan? Di antara bagian-bagian daging, lidah sapi juga dimasukkan. Dia mengambil daging itu dengan hati-hati. Rasanya seolah daging yang telah direbus sampai empuk itu akan hancur jika dia terlalu bertenaga mengambilnya. Pada saat inilah dia sedikit merendam ujung daging dalam campuran kecap mustard lalu memasukkannya ke dalam mulut. Senyuman merekah di wajah Jo Minjoon.
“Ini lezat.”
Cita rasanya luar biasa. Dia bisa merasakan kualitas inggi dari daging dari caranya hancur seperti krim di bawah giginya. Dagingnya, yang meleleh seketika di dalam mulutnya, terasa menstimulasi hingga tidak perlu menambahkan lagi kecap mustard ke daging itu.
Namun, Kaya terlihat tidak bisa bersimpati dengan emosi Minjoon. Apa boleh buat. Saat ini, dia masih berjuang memakai sumpit. Bahkan mengambil sesuatu yang biasa menggunakan sumpit itu sulit, apalagi irisan daging suyuk yang empuk. Kaya melihat Jo Minjoon hampir menangis.
“Aku tidak bisa memegangnya.”
“Sudah kubilang untuk berlatih seperti ini. Sumpit.”
Jo Minjoon mendecakkan lidahnya lalu mengambil daging menyuapi Kaya. Tak lama kemudian, bibir Kaya mengembang membuat senyum bahagia juga.
“Ini sangat menarik. Apa mungkin bisa mendapat tekstur ini hanya dengan merebus daging dalam waktu lama? Tidak, bukan? Ada juga rasa daging babi yang lembut. Apa dia merebusnya bersamaan?”
“Kau benar lagi. Itu benar. Daging sapi dan daging babi yang digunakan untuk merebus kaldu disajikan terpisah seperti ini.”
“Ini lezat. Kau sungguh menyantap makanan seperti ini sehari-hari?”
Kaya mengangguk terpukau. Faktanya, mengingat harganya, suyuk daging sapi bukanlah hidangan yang bisa dimakan sehari-hari, tetapi Jo Minjoon tidak ingin membuat gelembung Kaya pecah. Minjoon tersenyum lalu menyantap seiris pyeonyuk. Mungkin ini dibuat menggunakan daging bagian kepala, kekenyalan pyeonyuk ini tidak buruk, tetapi juga tidak luar biasa enak. Biasa saja.
“Yang ini biasa saja. Oh, ini terasa agak aneh mengomentari hidangan yang kita dapat secara gratis.”
Kaya bergumam seperti itu saat tiba-tiba dia terkejut melihat Kim Minseok berdiri di depan dapur. Jo Minjoon mengangkat mie naengmyeon sambil menyeringai. Daging yang sesungguhnya dimulai sekarang.
Tidak perlu kata-kata. Jo Minjoon mengambil sumpitnya lalu mencelupkan mie ke dalam kaldu. Dalam kasus mul naengmyeon biasa, jika kita memasukkan terlalu banyak mie ke dalam kaldu, gigi kita akan mati rasa dan kemungkinan besar kita tidak akan bisa merasakan citarasanya. Namun, tidak perlu cemas tentang itu bila dengan mie naengmyeon Pyongyang. Citarasanya pada dasarnya tidak senendang itu.
Jo Minjoon membuka suara. Ujung mie terhisap seluruhnya masuk ke mulut menimbulkan suara sluurp. Kaya mengamati Minjoon lalu dengan hati-hati mengikuti cara Minjoon. Karena terbiasa dengan kebiasaan makan barat yang tanpa mengeluarkan suara apapun, dia menghisap mie dengan sangat kuat meskipun suara isapannya tidak begitu keras.
Dan tidak butuh waktu lama untuk ekspresi wajah itu menjadi samar. Kaya mengecap cita rasa di mulutnya dengan ekspresi tegang. Awalnya, dia merasakan citarasa gurih samar dari kaldu di lidahnya, sementara mie mengeluarkan bau soba saat dia mengunyahnya. Bagian yang paling menarik adalah citarasa kaldu. Awalnya, itu terasa seperti air tawar yang tidak mengandung apa pun, tetapi saat dikecap, citarasa daging babi dan sapi entah bagaimana muncul. Kaya melihat Jo Minjoon dengan ekspresi bingung di wajahnya.
“Apa ini?”
“Mie naengmyeon Pyongyang.”
“Aku tidak menanyakan itu. Bagaimana mungkin citrasa seperti ini ada? Aku tidak bisa memahaminya. Saat aku berpikir citarasanya kuat, lalu berubah samar, dan saat kupikir terasa samar, citarasanya menjadi kuat. Ah, ini benar-benar menyebalkan. Aku sangat frustrasi. Aku tidak tahu apa ini.”
“Selamat. Frustrasi itulah citarasa mie naengmyeon Pyongyang. Jadi, jika kau ingin menikmati citarasa sesungguhnya dari mie Pyongyang dengan benar, kau harus berkonsentrasi tanpa mengatakan apa pun. Dalam mengejar perasaan menakjubkan yang baru saja di luar jangkauan. Omong-omong…”
Jo Minjoon melihat mangkuk Pyongyang naengmyeon miliknya saat dia pergi. Dia sudah mengharapkannya ketika dia melihat skornya, tetapi dia tidak pernah membayangkan bahwa itu akan dapat mengekspresikan rasa seperti ini atau dia akan merasakan rasa seperti ini dari Pyongyang naengmyeon.
“Kurasa aku belum pernah merasakan rasa sejelas ini sebelumnya…’
Dia berpikir rasanya lezat, tetapi dia tidak tahu kenapa. Namun sekarang dia tampak menyadarinya. Dagingnya tampak seolah-olah direbus sembarangan, namun kenyataannya perbandingan antara sapi dan babi terekspresikan dengan tepat pada bau dagingnya. Dan mie soba yang disajikan di dalamnya memiliki tekstur yang kokoh, seperti pasta yang dimasak al dente. Jo Minjoon melihat Kim Minseok lalu Kim Minseok segera menghampiri mereka.
“Apa Anda butuh sesuatu?”
“Tidak, bukan begitu… Saya ingin berterima kasih karena ini sangat enak. Saya senang karena ini adalah hidangan pertama yang saya coba setelah datang ke Korea. Kaya juga berpikir ini sangat enak.”
“Kansahammida.”
“······Tolong abaikan cara pengucapannya. Dia orang asing.”
“Tentu saja.”
Kim Minseok tersenyum dan mengangguk. Jo Minjoon berpikir bahwa senyumnya tampak menyedihkan daripada bahagia. Tepat ketika dia hendak bertanya mengapa, Kim Minseok berkata dengan suara muram,
“Akhir-akhir ini, pikiran saya sangat rumit, tetapi sekarang terasa baik kaena naengmyeon kami diakui oleh orang-orang yang telah dikenal dunia. Meskipun itu tidak ada artinya lagi.”
“Eh? Tidak ada artinya lagi?”
Jo Minjoon bertanya sambil melongo. Kim Minseok menjawab sambil menggaruk-garuk kepalanya, terlihat malu. Perasaan frustrasinya terhadap kenyataan, penyesalan, dan amarah terhadap dirinya yang tidak mampu terlihat jelas dalam suaranya saat dia berkata,
“Tidak lama lagi toko kami akan tutup selamanya.”
<Sebuah kejutan (4)> Selesai.