God of Cooking - Chapter 264 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 264 <Sebuah kejutan (3)>
Tidak ada apa pun atau tidak berarti dan juga kosong jika berbicara tentang keterampilan dengan tanpa menguasai dasar-dasarnya. Kaya menghela napas sebelum melihat Minjoon. Dia membawanya ke sini untuk beristirahat, tetapi matanya menyala-nyala lagi.
‘…tetapi aku juga suka mata itu.’
Ada banyak orang lain di Grand Chef yang sama bersemangatnya, tetapi tidak ada yang lebih dari Minjoon. Apa yang sungguh membuat Minjoon berbeda saat itu adalah rasa haus di matanya. Rasa haus yang terkubur jauh di dalam.
Kaya menyukai itu. Dia ambisius, tetapi dia tahu bagaimana menyembunyikannya. Itu membuatnya tampak seperti seorang bangsawan yang budiman baginya. Kaya menoleh ke kaca samping. Di bagian atas dari kaca yang belum tercuci itu terlihat wajahnya, masih tampak seperti anak-anak.
“Kenapa aku terlihat seperti ini?”
“Hm?”
“Hanya ngobrol sendiri. Lupakan.”
Kaya merespon dengan nada bosan. Tidak banyak mobil di atas jalan layang, dan mereka tiba di rumah Minjoon di Bundang lebih cepat dari yang mereka kira. Kaya mendongak melihat apartemen dengan tatapan terkejut.
“Ini benar-benar tinggi. Apa ini kondo?”
“Kami menyebut semua hunian bertingkat seperti ini sebagai apartemen.”
“Apa? Kau tidak bisa membeli rumah dalam bangunan besar di negara ini?”
“Tidak, bisa kok.”
Kebingungan Kaya bisa dimengerti. Lagipula, semua orang Amerika menyebut kondo sebagai tempat yang dibeli dan apartemen untuk tempat yang disewa. Kaya tampak sedikit bingung bahkan setelah penjelasan Minjoon, tetapi itu tidak penting sekarang.
Tidak butuh lama bagi mereka untuk membongkar koper. Mereka tidak perlu banyak mengingat mereka hanya akan berada di sini selama seminggu. Kaya duduk di sofa di ruang tamu lalu menghela napas.
“Aku lelah.”
“Kau sebaiknya tidur.”
“Mungkin. Tetapi aku belum terlalu mengantuk karena sudah banyak tidur di pesawat.”
“Perbedaan waktunya tujuh jam. Ritme sirkadianmu mungkin akan kacau.”
“Kau tahu kan aku sudah lebih banyak naik pesawat dari pada dirimu? Jangan coba-coba menasihatiku dengan hal seperti itu.”
“Poin yang adil.”
Minjoon mengangguk tanda mengerti. Kaya melihat ke sekeliling dengan santai. Unit apartemen itu memiliki tiga buah kamar yang agak sempit, tetapi nyaman. Hampir sama nyamannya dengan rumah mereka sekarang yang di Los Angeles. Kaya perlahan berkata.
“Berapa harga rumah ini?”
“Entahlah.”
“Kau bahkan hidup dengan baik, punya rumah cadangan. Kami bahkan tidak punya rumah cadangan.”
“…Ayolah, apa kau sungguh ingin membahas itu?”
“Mau tak mau. Rasanya seperti kau tinggal di dunia yang berbeda denganku.”
“Kita tinggal di dunia yang sama sekarang.”
Minjoon duduk di sofa di sebelah Kaya sambil merespon dengan santai. Kaya bergumam, ‘Itu benar’ dibalik napasnya. Dia bersandar di sebelah Minjoon. Kemudian, Bruce melangkah ke depan mereka dengan sedikit batuk.
“Apa kau punya rencana hari ini?”
“Minjoon butuh istirahat sekarang. Dia pasien.”
“…Tidak.”
“Kau jangan berlebihan bekerja. Aku tidak mau kau pingsan saat berlibur. Mau camilan? Oh, kulkasnya tidak ada makanan, ya.”
“Jangan coba-coba membuat sesuatu. Kita bisa memilih makanan pesan-antar saja untuk makan malam.”
“Pesan antar…?”
Kaya melihat Minjoon dengan tatapan terkejut. Kaya pemilih soal makanannya, tetapi Minjoon bahkan lebih buruk darinya. Dia tipe orang yang lebih baik lapar jika tidak ada makanan yang enak. Itulah sebabnya, dia biasanya mengabaikan semua makanan pesan-antar. Makanannya banyak mengandung MSG, dan sudah dingin ketika sampai.
Minjoon punya alasan tersendiri untuk menyarankan itu, tentunya. Dia perlahan berkata,
“Kau tidak boleh melewatkan makanan pesan-antar jika kau sedang menjelajahi masakan di sini.”
“Kudengar makanan pesan-antar sangat berkembang… tapi apa sampai setingkat itu?”
“Itu sampai pada titik di mana makanan di sini dikembangkan hanya untuk pengiriman yang baik. Juga ada banyak orang yang berjualan makanan pesan-antar selama satu dekade di sini. Ini mungkin makanan sederhana yang bisa dibuat semua orang, tetapi itu tidak berarti kau bisa menganggap enteng pengalaman mereka.”
Berbicara dengan sedikit dilebih-lebihkan, orang yang membuat ayam goreng selama beberapa dekade juga ahli dalam beberapa hal. Sama seperti pembuat mie yang terampil. Tentunya, tidak semua orang menjadi mahir dalam waktu singkat. Sama seperti bagaimana kau tidak bisa belajar lebih baik dari yang lain hanya karena kau duduk di kursi lebih lama.
Jika kau ingin mahir, kau perlu menggali lebih dalam pada topik itu. Kau juga butuh bakat. Dan mentor yang baik. Ada beberapa yang berhasil menjadi master sendirian, tetapi mereka harus bekerja dua kali lebih keras dari orang lain untuk menjadi master.
“Jadi? Apa yang akan kau pesan?”
“Bukan apa pun dari franchise/waralaba. Aku tidak bisa mendapatkan apa-apa tentang keterampilan atau hasrat pemilik makanan waralaba. Aku mau dari bisnis lokal yang sudah mapan saja…”
“Aku tidak tahu orang Korea. Kau saja yang mencarinya.”
“Aku tahu, aku tahu.”
Minjoon mengambil ponselnya. Jarak antara rumah ini dan rumah orang tuanya tidak terlalu jauh, tetapi restoran tempat dia bisa mendapatkan pengiriman sama sekali berbeda. Awalnya, tempat orang tuanya itu terkenal dengan makanan yang tidak enak di seluruh Bundang.
Dia mencari-cari beberapa tempat, tapi semuanya jelas-jelas hanya merupakan iklan saja. Minjoon dengan cepat menyadari betapa bodohnya usahanya ketika dia menyadari betapa sulitnya menemukan tempat makanan pesan-antar yang terkenal.
“…Ayo pergi saja.”
“Sudah kubilang kau perlu beristirahat.”
“Ayolah, Kita hanya pergi sebentar. Aku bukan kakek yang sakit, kau tahu. Bruce, Grace, ayo. Kita bisa makan sesuatu yang enak.”
“Oh, aku baik-baik saja. Aku tidak begitu lapar saat ini. Jemma tampaknya juga lelah. Bagaimana kalau kalian berdua berkencan saja?”
“Tapi aku lap-”
Bruce langsung terdiam melihat mata Grace yang melotot padanya. Grace melirik mereka.
“Pergilah. Kami akan menjaga rumah.”
“…Oke. Apa kau mau sesuatu?”
“Oh, ya. Bisakah kau membelikan kami camilan? Atau kue Korea?”
“Baiklah, tentu.”
Syukurlah, Minjoon tahu sebuah toko kue yang enak dekat situ. Harganya mahal, tetapi uang memang diperuntukkan untuk urusan seperti ini. Minjoon dan Kaya keluar rumah dengan hati-hati. Bulan Maret di Korea sangat dingin, apalagi untuk mantel mereka yang tipis. Kaya berhenti tepat di depan Minjoon saat dia melihat Minjoon sedikit gemetar.
“Bukankah kau bilang orang dewasa di Korea tidak suka melihat pasangan berpelukan seperti ini?”
“Entahlah. Sepuluh tahun yang lalu, iya, tapi menurutku sekarang bukan masalah.”
“Aku gugup. Rasanya orang-orang sedang melihat kita .”
Minjoon melihat ke sekitar sejenak. Tidak banyak orang di sekitar mereka, tetapi dia menyadari bahwa orang-orang meliriknya. Mereka berdua memakai masker, tetapi masker itu tidak menyembunyikan fakta bahwa Kaya orang bule. Sayangnya, orang bule masih jarang terlihat di negara ini.
“Kemana kita sebaiknya pergi?”
“Entahlah. Aku sedang berpikir mau ke restoran China, tetapi kita bisa ke tempat lain… Apa kau mau sesuatu?”
“Makanan China? Di Korea? Sungguh?”
“Oh, maaf. Makanan China-Korea. Mm, makanan Korea ala China? Makanan China di sini telah menjelma menjadi sesuatu yang hampir berbeda selama bertahun-tahun. Oh, benar. Kau juga harus mencoba pizza kita. Luar biasa.”
Bagaimana perasaan mereka setelah melihat beberapa topping yang luar biasa di sini? Amerika memiliki pizza-pizza luar biasa untuk berbagi makanan, seperti pizza gaya Chicago, tetapi itu lebih ke jumlah bahan yang gila daripada bahan-bahan yang aneh.
“Jadi, kita akan pergi ke mana? Aku lapar.”
“Tunggu, apa ada tempat yang terkenal di sini?”
Minjoon melihat ke sekeliling sejenak. Daerah di sekitar stasiun Jeongja tampaknya punya makanan-makanan enak, tetapi dia tidak menemukan apa pun yang sangat spesial. Kemudian, mata Minjoon terpaku melihat sebuah tanda. Mie dingin Pyongyang, sudah berdiri 45 tahun.
‘45 tahun?’
Dia banyak tertipu oleh banyak tanda seperti itu. Tetapi… Minjoon mengangkat ponselnya lalu mencari nama restoran itu. Mie dingin Pyongyang Tuan Kim. Ada banyak review tentang restoran itu. Terbagi menjadi 50:50.
‘Dan lagi, begitulah sifat alami makanan.’
Tidak banyak orang yang menggemari cita rasa jernih makanan. Oleh sebab itu, restoran yang menjual mie dingin Pyongyang sangat jarang. Jo Minjoon menoleh untuk melihat Kaya.
“Mau mencoba mie?”
“Mie?”
“Iya, yang dingin. Mereka merebus tulang dan daging selama beberapa hari untuk membuat kaldu, lalu menyajikannya dingin beserta mie gandum… mau mencobanya? Mereka sudah berdiri 45 tahun.”
“Entah apakah itu waktu yang sangat panjang bagi sebuah restoran, tentunya iya.”
Kaya melangkah maju dengan percaya diri. Meskipun saat ini sedang makan siang, restoran tersebut tidak memiliki banyak orang. Hanya sekitar sepuluh orang, sungguh. Saat Minjoon dan Kaya mengambil tempat duduk mereka, seorang pemuda menghampirinya dengan senyum lelah.
“Selamat datang. Berdua saja?”
“Iya.”
Minjoon melepas maskernya saat merespon. Kaya juga. Mata pemuda itu melebar setelah melihat mereka berdua.
“Mr. Minjoon?”
“Oh, Iya. Kau mengenaliku.”
“Tentu saja. Kau adalah bintang di layar saat ini. Juga…”
Pemuda itu tersenyum canggung.
“Kita pergi ke sekolah yang sama. Aku Kim Minseok… Apa kau ingat? Naejung Middle School, tahun ketiga… kelas satu?”
Wajah Minjoon tampak syok. SMP? Itu hanya 7 atau 8 tahun yang lalu realitanya, tetapi sangat lama di ingatan Minjoon. Minseok menunduk dengan wajah bersalah.
“Ah, maafkan aku. Seharusnya aku tidak menyapamu.”
“Tidak, maafkan aku. Aku hanya tidak dapat mengingat banyak hal dengan baik karena betapa sibuknya aku… Ah, apakah kau ahli dalam sepak bola, barang kali?”
“Maaf, aku tidak bermain sepak bola.”
Dia mencoba yang terbaik untuk memilah-milah ingatannya, tetapi keheningan yang bertahan selama itu hanya membuat segalanya semakin canggung. Kemudian, Kaya bertanya karena penasaran.
“Apa kau kenal dia?”
“Oh, seorang teman kelas SMP… kurasa.”
“Kenapa kau terdengar sangat tidak yakin?”
“Ingatanku kabur.”
“…Makanya aku menyebutmu pasien. Kau sudah lupa tentang SMP-mu?”
“Kenapa? apa kau mengingat semua hari-harimu di SMP?”
Minjoon bergumam kesal.. Minseok melihat mereka berdua dengan ekspresi tertarik. Mereka bukan teman dekat, tetapi dia sangat terkejut saat dia mendengar teman sekelasnya menjadi bintang dunia. Dia mencengkeram dengan erat apronnya. Di sinilah dia, tidak berhasil, namun teman sekelasnya kembali dengan sukses dan punya pacar yang cantik.
“Apa yang ingin kalian pesan?”
“Dua mangkok mie dingin Pyongyang. Oh, apa sebaiknya… kita berbicara dengan lebih akrab?”
“Tidak, tidak perlu. Dua mangkok. Ditunggu yaa.”
Minseok bergegas ke dapur. Dengan seksama, Minjoon melihat ke layar di sebelah pemuda itu.
[Kim Minseok]
Cooking: 6
Memanggang: 3
Mencicipi: 7
Mendekorasi: 4
‘…Tampaknya dia banyak memasak sebelumnya. Jelas bukan seorang penyaji. Apa dia memasak di dapur?’
Itu terasa lancang untuk ditanyakan. Kaya berbicara pada Minjoon dengan nada pelan.
“Bau aneh di sini.”
“Itu bau kaldu.”
“Aku tahu. hanya saja… sangat segar. Seperti rumput?”
Rumput? Dari kaldu daging? Minjoon mendengus dengan ekspresi bingung. Dia tidak memikirkaan apa pun dari bau itu. Kemudian, dia melihat ke mangkok yang ada di depan seorang pelanggan di sampingnya. Dia berseru karena syok.
[Mie dingin Pyongyang]
Kesegaran: 93%
Bahan Asal: (Tersembunyi karena jumlah bahan banyak)
Kualitas: tinggi
Skor: 9/10
<Sebuah kejutan (3)> Selesai.