God of Cooking - Chapter 260 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 260 <Cita Rasa Sehat (4)>
‘Korea, hah.’
Baru setahun yang lalu, negara itu dia sebut rumah. Lalu sejak kapan tempat itu terasa sangat asing baginya? Apa dia sesibuk itu selama setahun terakhir? Apa cukup untuk merasa lebih lama dari tiga puluh tahun hidupnya?
Dia bukan orang yang pernah merindukan rumah atau apa pun, tetapi melihat tiket itu membuat jantungnya berdebar. Memang sudah lama. Baru kemudian, rasa penasaran muncul dalam diri Minjoon.
“Tunggu, lalu kenapa kau perlu empat tiket? Apa itu dua tiket pulang?”
“Tidak, Aku membelikan tiket untuk Mom dan Jemma juga.”
“Mereka, juga?”
“Jemma akan segera masuk sekolah, dan ibu juga akan segera bekerja. Ini satu-satunya kesempatan kita untuk bisa bepergian dalam waktu yang sangat lama.”
“Aku paham, tapi… seharusnya kau memberitahuku.”
“Maka ini bukan kejutan namanya!”
Itu tidak mengejutkan sebagai sebuah “hadiah kejutan”, sejujurnya. Minjoon meraih tiket dari tangan Kaya. Mereka akan pergi dalam empat hari ke depan. Mungkin karena dia ingin Minjoon beristirahat sedikit lebih lama lagi?
‘Keluarga….’
Seseorang muncul dalam kepalanya sesaat. Bruce. Ayah Kaya. Kaya membeli empat tiket, dan bahkan tidak membicarakan tentang Bruce. Mereka mungkin sudah saling memahami, tetapi mungkin masih terlalu dini bagi mereka untuk bepergian bersama.
Mungkin benar bagi Bruce untuk mengalami sejumlah luka, lagipula, dia membuat Kaya mengalaminya. Namun, bukan berarti dia tidak menjalani waktu yang berat sejauh ini, tetapi… Kaya tidak tahu.
Kaya tersenyum seolah dia lebih gembira daripada Minjoon soal perjalanannya itu.
“Ini akan menjadi perjalanan yang asyik.”
“Bukankah ini perjalanan pertamamu?”
“Entahlah. Tergantung bagaimana kau mengartikannya.”
Meski jika dia mengatakan itu, ini mungkin perjalanan pertamanya. Lagipula, keluarganya tidak pernah bisa meluangkan waktu atau punya uang untuk itu. Mungkin merantau ke LA bisa disebut sebagai sebuah perjalanan, tetapi itu sungguh tidak tepat.
“Pastikan kau beristirahat sebelum kita pergi. Siapkan beberapa pakaian juga.”
“…Mungkin Korea masih dingin.”
Bulan Maret merupakan permulaan musim semi, tetapi nyatanya itu adalah masa-masa akhir musim dingin. Kaya mengangkat bahu.
“Tidak apa-apa. Aku masih punya mantel dari New York.”
“Bagaimana denganku?”
“Apa kau tidak punya baju di Korea? Pakai yang ada saja.”
“Entahlah… mungkin mereka membuangnya.”
Ini sudah setahun penuh. Dia tinggal di Korea sebentar setelah Grand Chef berakhir, tetapi dia tidak memeriksa apakah mereka masih menyimpan baju musim dinginnya. Kaya membusungkan dadanya dengan percaya diri.
“Aku akan membelikanmu pakaian jika kau tidak punya.”
“Kau bertingkah percaya diri dengan anehnya akhir-akhir ini, hanya karena kau mendapat banyak uang.”
“Aku tidak bersikap begini di depan orang lain. Hanya padamu.”
“Kenapa aku?”
“Karena kau tidak akan salah paham, tidak peduli apa yang kukatakan.”
Mungkin Kaya lebih yakin pada Minjoon ketimbang dirinya sendiri. Jo Minjoon menggaruk hidungnya malu-malu.
“Bagaimana kau bisa sangat yakin?”
“Apa aku harus mengatakannya?”
“Kukira jangan.”
Minjoon tersenyum, membuat Kaya berusaha mengejeknya sekali lagi.
“Bukankah aku tampak lebih cerdas darimu?”
Minjoon hanya mengangkat bahu. Kaya lanjut berbicara dengan santai.
“Telepon saja ibumu. Bilang kau akan segera pulang.”
“Waktunya… Well, kurasa ibuku sudah bangun sekarang.”
Minjoon ragu2 sejenak lalu mengambil ponselnya. Telepon berdering selama beberapa detik lalu suara yang sedikit pecah menerima telepon.
<<Apa ini Minjoon?>>
“Ah, ya, ini aku.”
<<Ada apa? Kau menelepon malam sekali. Oh, kurasa pagi ya di sana?>>
“Aku akan segera pulang ke Korea. Karena itulah aku menelpon.”
<<Well, kau mengatakan hal aneh. Untuk apa kau pulang? Apa kau dipecat?>>
“…Mom.”
Minjoon menghela napas frustasi. Ibunya masih tampak sangat bingung. Apa semua ini terdengar tidak nyata baginya? Minjoon berkata lagi dengan nada serius.
“Aku tidak bercanda. Aku akan pergi ke Korea. Aku akan di sana selama sepuluh hari.”
<<…Sungguh?>>
“Kau tahu kan aku tidak suka bercanda untuk hal seperti ini.”
<<AKu tidak yakin. Kukira aku tidak begitu mengenal putraku. Aku tidak tahu kau sangat baik dalam memasak, atau bahwa kau punya lidah yang handal, atau kau sangat baik dalam berbahasa Inggris.>>
“Mom”
<<Baiklah, aku akan berhenti. Jadi kapan kau datang?>>
Dalam empat hari.”
<<Secepat itu?!>>
Ibunya merespons dengan suara terkejut. Minjoon bisa memahami dengan baik perasaan itu. Siapa yang tidak akan terkejut, jika putra mereka yang di luar negeri tiba-tiba mengatakan akan pulang empat hari lagi? Minjoon menoleh ke sebelahnya sejenak. Kaya sedang menyimak obrolan, meski tidak paham sama sekali. Minjoon mengubah panggilan suara menjadi panggilan video dan menunjukkan Kaya di telepon. Gadis itu mulai merapikan rambut sebisanya dengan ekspresi sangat terkejut.
“Kaya memberiku hadiah. Dia ingin bepergian bersama. Oh iya, keluarga Kaya juga datang.”
Kaya tersenyum ke kamera, menyadari Minjoon sedang membicarakan tentang dirinya. Ibu Minjoon menyeringai, seolah Kaya adalah hal yang paling menggemaskan di dunia.
<<Ya Tuhan. Aku masih tidak percaya bagaimana kau bisa menangkap gadis cantik seperti itu. Minjoon, bagaimana berterima kasih dalam bahasa Inggris?>>
“…Sungguh kau menanyakan tentang ‘thank you’?”
<<Oh, benar, itu. Omong-omong, ‘thank you’, Kaya.>>
“Itu karena aku sendiri yang mau. Lagipula aku harus merawat Minjoon.” respon Kaya dengan jantung berdebar. Tentunya, ibu Minjoon tidak memahaminya. Saat mereka berdua saling berpandangan dengan penasaran, Minjoon berkata.
“Dia mengatakan bahwa itu sudah jelas.”
<<Ya Tuhan, itu sama sekali tidak jelas! Omong-omong, kau bilang keluarganya akan datang juga? Bagus. Aku penasaran kapan kita akan bertemu keluarganya untuk membicarakan tentang pernikahan…>>
“Tunggu, mom! Kita pergi hanya untuk berlibur!”
<<Kenapa, kau sangat tiba-tiba soal ini, kenapa aku tidak boleh membuat keputusan yang cepat juga?>>
“Skalanya kan berbeda, mom. Selain itu, kita masih terlalu muda untuk menikah sekarang, dan di sisi mereka, mereka belum kepikiran soal…”
Marriage. Dia selalu memikirkan tentang itu, tetapi ini terasa seperti hal yang masih sangat jauh. Ketika Minjoon merespon dengan terkejut, Kaya menatapnya dengan aneh. Di telepon, ibunya masih berbicara dengan kaku.
<<Well, kalau begitu, mereka mungkin akan mulai memikirkan soal itu sekarang. Mereka punya empat hari. Cukup lama. Plus, pada kecepatan ini, kau mungkin akan berakhir terlalu tua untuk menikah malahan. Dapatkan dia selagi kau bisa. Percaya ibu. Aku menikah tepat setelah lulus, dan aku hidup dengan sangat bahagia.>>
“…Apa kau menikah karena kau sudah hamil aku?”
<<Siapa bilang?>>
“Paman…”
<<Bocanh iseng itu… Omong-omong, kalian berdua sudah tinggal bersama. Mungkin lebih baik kalian menikah sekalian. Pertama, kami hanya menyetujui kalian tinggal bersama karena kami berasumsi kalian akan menikah.>>
Sayangnya, Minjoon sungguh tidak bisa menolaknya. Ketika dia menutup mulutnya, ibunya akhirnya mulai berbicara dengan lebih lembut.
<<Aku tidak menyuruhmu menikah sekarang. Tetapi kau harus mulai mempersiapkan diri. Lagipula, keluarga kita harus bertemu pada titik ini.>>
“Tapi tidak ada yang perlu difinalisasi kan… Aagh, baiklah. Tetapi kalian tidak akan bisa saling berbicara meski kalian bertemu, kan?”
<<Jangan khawatir soal itu. Ibu telah berlatih bahasa Inggris akhir-akhir ini hanya untuk ini. Ayahmu juga bagus dalam bahasa Inggris, pengucapannya sangat mahir. Bawa keluarga Kaya ke sini dengan selamat, kau dengar? Sudah ya.>>
“Mom. Mom! Ah…”
Ibunya segera menutup telepon, membuat Minjoon menatap layar gelap dengan kesal. Kaya melihatnya dengan penasaran lagi.
“Apa yang ibumu katakan? Kalian berbicara banyak hal.”
“Dia menyukai berita ini. Dan…”
Minjoon ragu-ragu. Dia belum ingin membicarakan tentang pernikahan, tetapi mereka harus membicarakannya dalam empat hari ini. Setelah beberapa detik, dia membuka mulut.
“Dia ingin keluarga kita bertemu, karena kita akan menikah nantinya.”
“…Apa?”
Kaya melongo melihat Minjoon lalu wajahnya sedikit merona. Minjoon lanjut berbicara sesantai mungkin.
“Jangan khawatir. Tidak sekarang. Hanya… persiapan? Mempersiapkan diri kita sendiri? Ah, aku sama sekali tidak menemukan kata yang tepat untuk ini.”
“Aku tidak pernah berpikir akan melihatmu begitu susah mencari kata dalam bahasa Inggris. Aku tidak khawatir. Aku hanya terkejut. Dan senang.”
“Senang?”
“Kukira ibumu tidak akan mendukung hubungan kita… Kau tahu kan, aku memikirkan ini sepanjang waktu bahwa keluarga Asia tidak suka wanita asing. Aku mengkhawatirkan soal itu…”
“Kenapa kau khawatir soal itu?”
“Maksudku, keadaan kita sangat tidak normal. Aku juga bukan orang biasa. Itu saja sudah membuatku khawatir.”
Minjoon diam memeluk Kaya. Dia sering lupa bahwa gadis ini sangat kecil setiap kali dia memeluknya. Bagaimana dia bisa membawa semua koper itu masih menjadi misteri baginya.
“Kau tidak perlu khawatir. Aku akan pastikan itu. Dan…”
Minjoon tidak menyelesaikan kata-katanya. Dia tidak merasa perlu mengatakan bahwa dia akan mendukungnya sebanyak Kaya mendukung dirinya.
€
“Korea…”
Ayah Kaya, Bruce, berkata dengan sedikit terkejut. Minjoon merespon dengan tersenyum pada pria itu.
“Aku tahu kau sibuk. Tetapi menurutku akan bagus jika kau bisa bergabung dengan kami. Kaya tidak menjauhkan diri darimu karena dia membencimu. Dia hanya marah setelah apa yang terjadi setelah sekian lama.”
“Terima kasih telah menjelaskan itu padaku. Tetapi seperti yang kau bilang, aku telah membuat terlalu banyak kesalahan muncul dalam hidupnya lalu haruskah aku bersikap seolah tidak ada yang terjadi?”
“Aku tidak menyuruhmu untuk berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi. Aku menyarankan untuk kau bertobat perlahan. Menurutku, ini tempat yang baik untuk memulai. Tentunya, kukira kita tidak bisa membantu jika kau sibuk, tetapi…”
“Tidak, tidak sama sekali. Aku selalu bisa mengubah jadwalku. Aku tidak bisa bersama kalian selama sepuluh hari penuh, tetapi…”
Bruce mulai memeriksa jadwalnya. Sementara itu, Minjoon memperhatikan pria itu dalam diam. Sama seperti Kaya yang memberikannya sebuah hadiah, dia pun juga ingin memberi Kaya hadiah kejutan. Mungkin dia sedang ikut campur terlalu banyak dalam kehidupan Kaya dengan melakukan ini, tetapi ini untuknya. Privasi telah dibuang jauh keluar jendela di antara mereka.
Ini bukan sebuah campur tangan. Lagipula, dia hanya memberi Bruce sedikit tips. Bruce berbicara pada sekretarisnya selama beberapa detik sebelum menghela napas dengan lelah.
“Kupikir aku bisa meluangkan waktu selama beberapa hari.”
“Itu bagus.”
“Kaya yang membelikan tiketnya, kan? Aku bisa mengubahnya tiketnya menjadi kelas pertama. Bagaimana dengan itu?”
Itu mungkin tidak begitu sulit bagi Bruce. Minjoon berpikir sejenak, tetapi pada akhirnya, dia hanya bisa mengatakan satu hal.
“Dia tidak akan suka.”
“….Begitukah? Lagipula, kurasa Kaya tidak suka menikmati kemewahan. Aku punya banyak hal untuknya juga.”
“Kau ada di tempat lain selama ini, sementara Kaya, Jemma, dan Grace berjuang hidup. Tentu, kau juga berjuang, tetapi.. Yang penting adalah kau seharusnya ada di samping mereka.”
“…Benar.”
“Sekarang kau berada di pantai berpasir saat ini, Bruce. Alih-alih berusaha memberi isyarat kepada mereka untuk datang ke tempat kau berada, menurutku, mungkin lebih baik kau yang menyelam ke laut gelap tempat mereka berada, lalu menyeret sendiri mereka agar bisa keluar.”
Bruce terdiam. Minjoon mengamati dengan seksama. Dia menunggu pria itu untuk berpikir, dan sampai pada kesimpulannya sendiri. Pada akhirnya, Bruce tersenyum masam.
“Kaya bilang dia bertemu dengan seorang pria yang sangat mirip denganku, tetapi aku tahu dia salah. Kau baik, Minjoon.”
“Terima kasih.”
“Itu metafora yang bagus. laut gelap, itu… benar, aku akan dengan senang hati mengeluarkan mereka jika itu diperlukan.”
Jo Minjoon tersenyum dengan lembut.
“Itu juga akan sulit. Sedikit.”
Bruce membalas dengan senyuman.
“Aku sangat terbiasa dengan hal semacam itu sekarang.”
<Cita rasa sehat (4)> Selesai.