Baca Light Novel LN dan Web Novel WN,Korea,China,Jepang Terlengkap Dan TerUpdate Bahasa Indonesia
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Advanced
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Prev
Next

God of Cooking - Chapter 256 Bahasa Indonesia

  1. Home
  2. God of Cooking
  3. Chapter 256 Bahasa Indonesia - Si Aneh (4)
Prev
Next

Penerjemah: Hennay

 

Dewa Memasak: Bagian 256 <Si Aneh (4)>

Kata-kataya terdengar sangat manis bagi Minjoon. Kebahagiaan pelanggan itu penting, jelas, tetapi tidak ada yang lebih membahagiakan lagi daripada pujian Rachel.

Minjoon menoleh untuk melihat ke arah lain sejenak. Dia bisa melihat Lisa membuat cassoulet  menggunakan oven. Dia merasa bersalah telah memberikan banyak pekerjaan untuk Lisa, tetapi oven adalah area kerjanya. Minjoon tidak mau ikut campur pada bidang keahlian kerja Lisa. Minjoon nunduk melihat gelnya. Dia seharunya membungkus krim vanila dan memasukkan kacang ke dalamnya untuk membuat dumpling. Dia meraih sebuah dumpling dan melemparkannya ke dalam mulut.

‘Terasa enak.’

Tidak peduli betapa lelahnya dia, makan sesuatu yang enak membuatnya merasa semacam kembali enerjik. Minjoon menoleh untuk melihat ke aula. Dia bisa melihat sejumlah orang menyantap sandwich cassouletnya. Menonton wajah bingung mereka berubah gembira membuat Minjoon tersenyum bersama mereka.

Annie tersenyum saat melihat Minjoon.

“Kau super aneh, Minjoon.” kata Annie.

“Itu pujian kan?”

“Tentu saja. Semua jenius aneh, seperti Einstein and Beethoven.”

“dibandingkan dengan orang-orang seperti mereka itu memalukan, tolong hentikan.”

“Itu sangat memesona, kau tahu?”

“Kau tahu aku punya pacar, kan?”

“Eh, kau kan belum menikah.”

Annie tersenyum saat melihat wajah bingung Minjoon.

“Jangan khawatir. Aku tidak merayumu atau apapun.”

Dia berjalan menjauh kembali ke aula. Minjoon melihatnya dengan sedikit gugup lalu kembali ke posnya. Tidak ada alasan baginya untuk disibukkan dengan pikiran tidak jelas seperti itu. Terutama tidak ketika dia sedang kehilangan fokusnya. Mungkin inilah kenapa dia ditegur Rachel kemudian.

“Minjoon, kemarilah.”

“Ya?”

“Bagaimana menurutmu tentang ini di sini?”

Rachel menunjuk jeli kecap di atas foie gras.. Minjoon melongok melihat jelly lalu menyerukan erangan kecil. Potongan jeli kecil-kecil ada di atasnya.

“Maaf. Aku akan segera membuatkan yang baru.”

“Ada apa denganmu? Biasanya kau sangat baik dalam menangani hal semacam ini.”

“Kurasa aku hanya kehilangan fokus. Maaf.”

Jo Minjoon menunduk dengan muram. Rachel melihatnya dengan sorot mata aneh lalu menepuk bahunya.

“Kita punya banyak pesanan. Kembalilah. Aku percaya kau tidak akan membuat kesalahan ini lagi.”

“Ya, tentu.”

Minjoon menghentikan dirinya membungkuk seperti biasanya lalu berbalik sambil menggigit lidahnya. Dia bisa melihat jeli di atas piring stainless steel. Cukup cantik untuk membuatnya gembira, tetapi itu juga membuatnya mengantuk.

Dia lelah. Mungkin kelelahannya itu tercermin sangat jelas di wajahnya. Rachel tampak tidak nyaman melihat Minjoon. Tidak perlu ada orang lain yang pingsan lagi di dapur Rachel karena terlalu banyak bekerja. Deborah mengintip keluar dari kantor untuk berkomentar sedikit.

“Guru, anak itu mungkin akan pingsan dalam situasi ini. Bukankah seharusnya guru memberi dia liburan atau semacamnya?”

Rachel tidak merespons. Bukan karena dia mengabaikan Deborah, tetapi karena dia sedang berpikir keras tentang banyak hal saat ini.

Deborah menoleh untuk melihat Minjoon. Pria itu jelas kurusan karena stres. Itu sedikit lebih baik daripada menggemuk karena stress, tetapi… tetap saja sedih melihatnya.

Mungkin Rachel merasa lebih buruk lagi. Lagi pula, chef kepala harus mengirim sendiri suaminya kembali ke dapur. Ada banyak artikel yang memuji Daniel menghabiskan momen-momen terakhirnya di dapur, tetapi.. itu membuat Rachel kesepian.

‘Berusahalah untuk tidak membuat Rachel sangat sedih, Minjoon.’

Deborah menoleh untuk melihat ke aula. Dia menyadari bahwa setiap meja di aula menampilkan muka bahagia. Melihat itu membuatnya menghela napas kecewa.

‘…Kukira aku tidak di posisi untuk mengkhawatirkan orang lain’

€

Annie segera memberi tahu bahwa serbet Jaina terjatuh ke lantai. Dia baru berumur 20-an, tetapi dia bukan amatir untuk melewatkan hal seperti itu. Terutama tidak sebagai penyaji yang paling berbakat di antara para kru.

Dia menyingkirkan serbet Jaina dan memberikan serbet baru di nampan pada Jaina.

“Serbat Anda, Nona.”

“Oh, terima kasih.”

Jaina tersenyum kembali dengan sopan, yang mana pada saat itu tercetus suatu gagasan dalam benaknya, ‘Apakah dia dinilai berdasarkan layanannya?’.

Annie teringat mendengar sesuatu tentang inspektor Michelin. Beberapa hal tentang bagaimana mereka menilai pelayanan dan yang lainnya. Dia tidak tahu apakah itu rumor belaka, tetapi barangkali kedua orang ini adalah…

“Kurasa aku harus memberitahukan ini pada Rachel.”

Bukan berarti Rachel akan begitu peduli. Chef kepala bukan tipe orang yang memberikan pelayanan khusus atau apa pun pada pencicip. Dia memperlakukan semua pelanggan sama, dengan pelayanan dan makanan terbaik yang bisa dia tawarkan. Itulah moto Rachel.

“Jadi ini juga buatan chef demi juga…?” tanya Jaina kemudian.

“Ya, ini buatan chef Javier. Apa Anda mau penjelasan lagi?”

Mereka berdua sudah menyelesaikan hidangan mereka. Awalnya ada arancini di piring mereka, bola goreng risotto, itulah, yang didekorasi dengan saus yang terbuat dari asparagus dan ricotta. Rasanya creamy, dingin, dan hampir bertekstur seperti yogurt.

“Ini hidangan yang sangat modern. Terasa sangat…muda? di lidah.”

“Bukankah ini mengejutkan? Hidangan Chef Rachel berakar dari masa lalu, setidaknya, pada kejayaannya di masa lalu. Selain itu, dia pun masih cukup mampu membuat hidangan yang modern di menu.”

“Namun, ini buatan muridnya.”

“Itulah yang menakjubkan. Bukankah kau sering mengeluh tentang hidangan yang bukan buatan chef kepala di restoran lain?”

“Karena makanannya buruk. Hampir luar biasa jauh dibanding hidangan chef kepala.”

“Lalu bagaimana dengan di sini?”

Jaina berseru terkejut. Dia menyadari apa yang coba dikatakan Paul.

“Benar, hidangan-hidangan di sini, kualitasnya tidak turun atau semacamnya. Apa ini karena chef Rachel? ataukah bakat dari murid chef Rachel?”

“Ada banyak orang yang ingin bekerja di Rose Island. Menemukna bakat dari orang-orang ini tidak begitu sulit. Tapi bukan itu masalahnya. Apa menurutmu, seseorang yang berbakat bisa membuat hidangan seperti ini? Tidak, itu pertanyaan buruk. Apa menurutmu hidangan yang dibuat chef demi di restoran lain buruk karena mereka tidak berbakat?”

“…Itu pertanyaan yang susah. Aku tidak menilai chef, aku hanya bisa menilai makanan.”

“Inilah yang membuat chef Rachel unik. Dia tidak butuh yang paling berbakat jika soal memasak. Tetapi soal memimpin di dapur… mengajari mereka, dan membatu para chef…, dia jelas yang terbaik di dunia.”

Dia terdengar hampir yakin tentang hal itu. Jaina bertanya dengan ekspresi penasaran.

“Apa kau mengenal chef Rachel?”

Paul menutup mulutnya. Bukan karena dia terbungkam oleh hidangan baru di depannya. Dia hanya menolak untuk menjawab pertanyaan itu, sepertinya begitu.

Hidangan selanjutnya berdasarkan resep Rachel. Tiram yang dibungkus dengan jelly lobster dengan krim kembang kol, dan kanelloni yang dibuat dari tiram asap. Krim sup tiram dengan di atasnya ada ekstrak lemon dan waffle tiram mini yang di atasnya ada berbagai herba. Paul bernostalgia menatap hidangan setelah penyaji meninggalkan mereka untuk makan.

“Daniel suka hidangan-hidangan seperti ini. Hidangan yang mengekspresikan banyak aspek dari satu bahan. Seperti Jo Reggianonya Minjoon. Rachel mungkin merasakan hal yang sama denganku saat mengulas hidangan. Hampir mirip dengan sesuatu yang biasa dibuat Daniel.

Itu juga disajikan sebagai jawaban atas pertanyaan Jaina sebelumnya. Jaina menjawab dengan suara pelan.

“Ini terdengar aneh sebagai kebetulan.”

“Ini hampir seperti takdir, bukan?”

Paul mengangkat sendokya dengan tersenyum. Dia mencelupkannya ke dalam sup terlebih dahulu. Itu adalah sup krim, tetapi tidak terlalu cremy atau berlemak sama sekali. Nyatanya, cita rasa buah muncul di awal bahkan lebih dominan dari rasa krimnya. Tiramnya terasa hampir seperti jamur boga laut alih-alih berbau amis.

“…Astaga, aku ingin menangis. Aku sangat merindukan ini.”

Paul hampir terlihat seolah sedang menyantap makanan buatan ibunya setelah satu dekade. Itu hampir menggelegar. Namun mau tak mau, Jaina setuju dengan pernyataan Paul.

“Tapi kita tidak bisa datang ke sini lagi selama tiga tahun mendatang.”

“Tidak apa-apa. Tidak masalah membiarkan yang lain datang ke sini. Tampaknya kau menyesali keputusanmu.”

“Aku akan menyantap ini sefokus mungkin. Aku tidak mau melupakan cita rasa ini.” kata Jaina saat mengambil sesendok penuh sup. Dia memejamkan mata. Dia hampir tersapu oleh ombak cita rasa dari hidangan itu.

‘Sama seperti hidangan yang lainnya, tetapi… Seperti yang diduga dari seorang chef Rachel, ini terasa lebih antik dan lainnya

Dia menikmati setiap gigitannya. Setiap hidangan adalah karya seni, dia pun benar-benar merasa seperti berada di puncak hidupnya untuk makan.

Mereka makan sangat pelan karena hal itu. Para pencicip terkenal makan dengan lambat. Mereka bertahan cukup lama hingga menjadi pelanggan terakhir di aula.

“Ini Jo Reggiano Anda. Chef Minjoon menggunakan 5 keju berbeda untuk…”

Setelah Annie menyelesaikan penjelasannya, mereka berdua mengangkat garpu mereka dengan antusias. Perut mereka hampir akan meledak pada titik ini. Sulit untuk menyelesaikan semua makanan yang biasanya disajikan restoran pada mereka, meski  hidangan-hidangan itu tidak memuaskan mereka, tetapi untuk membantu mereka mencicipi citarasanya.

“…Apa ini?”

Dengan citarasa itu, Jaina tampak luar biasa bingung. Setiap suapan membuatnya semakin dan semakin bingung.

“Jadi kau sudah merasakannya, kan,” Paul tersenyum.

“Tidak mungkin. Rasa ini sangat berbeda dibanding yang aku makan di restoran lain. Apa Minjoon menyembunyikan sesuatu di resepnya?”

“Iya,”

“Benarkah?”

“Dia tahu persis hidangan itu seharusnya bagaimana. Dia tidak bisa menggambarkannya dalam kata-kata.”

“Tetapi… Itu sendiri apa sudah cukup untuk membuat makanan ini terasa berbeda?”

Makanan ini bukan hanya ‘sedikit lebih enak’. Jo Reggiano Minjoon jauh lebih sedap dari versi lain yang sudah ia coba sejauh ini. Hampir cukup enak baginya untuk ragu apakah semua versi lain yang pernah dia cicipi adalah palsu. Paul lanjut berbicara dengan nada santai.

“Ini sama seperti roti. Bisa terasa sangat berbeda tergantung siapa yang memanggangnya.”

“…Ini menyedihkan. Aku tidak bisa makan ini selama tiga tahun?”

Jaina tampak hampir depresi saat meninggalkan aula. Tepat saat mereka keluar dari pintu, suara yang familiar menghentikan mereka dari belakang.

“Lama tak jumpa. Apa kau menikmati makanannya?”

“…Rachel.”

“Sebaiknya kau memberitahuku bahwa kau ada di sini. Kau tidak bisa pergi begitu saja.”

“Jaina, tunggu aku di mobil.”

“Ah, iya.”

Jaina masuk ke dalam mobil dengan ekspresi tercengang. Ini tidak tampak seperti momen yang dia bisa ikut nimbrung. Rachel membuka mulutnya tersenyum.

“Aku ingat aku berusaha menghentikanmu dengan gigih ketika kau memberitahuku kau akan menjadi pencicip.. Setidaknya kau punya pacar yang cantik berkat itu.”

“Berhentilah dengan gurauan bodohmu. Gadis itu… hanya muridku.”

“Pencicip juga punya murid?”

“Seperti yang kau lihat.”

Rachel mengagkat bahu. Paul melanjutkan saat dia menunduk melihat lantai marmer.

“Makanannya spektakuler. Termasuk muridmu. Terutama hidangan Minjoon… itu sangat mirip dengan masakannya. Apa sejelas itu?”

“Aku juga kaget. Aku tidak berpikir itu begitu mirip. Mungkinkah para pencicip super semua berakhir seperti itu?”

“Entahlah…”

Rachel menatap Paul secara langsung, yang terus berpaling dari tatapannya.

“Syukurlah kau kembali. Kau berhenti datang bahkan sebelum aku pensiun, kan?”

“…Aku tidak sampai hati melihatmu lagi.”

“Seperti yang kubilang sebelumnya, kau tidak perlu merasa menyesal soal itu. Insiden Jerome… adalah salahku karena sama sekali tidak membesarkannya dengan kuat .”

Paul tidak merespon. Mereka berdua akhirnya melihat ke mobil Paul sejenak. Jaina segera mengalihkan pandangan begitu tatapannya bertemu dengan mereka.

“Suamiku meninggal di dapur. Para pelanggan yang sebenarnya membunuhnya. Tetapi kita tidak menyebut para pelanggan pembunuh. Itu hal yang sama, Paul. Kau hanya melakukan pekerjaanmu. Jerome hanya tidak bisa menerima tekanan. Itu salahku.”

“…Kau tetap keren seperti biasa, Rachel.”

“Kalau tidak, aku tidak akan menjadi Rachel Rose.”

Rachel tersenyum. Paul bisa melihat kepercayaan dirinya dulu ada di sorot matanya. Dia kembali menjadi wanitu itu. Paul melihat sepatunya sendiri dengan ekspresi masam. Dia baru saja melakukan waxing pagi ini, tapi sudah terlihat sangat usang.

“Punya murid juga merupakan pekerjaan yang cukup berat. Aku sungguh menikmati hidangan mereka.”

“Silakan datang lagi. Kau bisa datang kapan saja.”

Paul tersenyum. Dia tidak bisa kembali datang selama tiga tahun, tetapi dia tidak berani mengatakannya.

“Tentu. Pasti.”

<Si Aneh (4)> Selesai.

Prev
Next

Comments for chapter "Chapter 256 Bahasa Indonesia"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

You must Register or Login to post a comment.

Dukung Kami

Dukung Kami Dengan SAWER

Join Discord MEIONOVEL

YOU MAY ALSO LIKE

The Desolate Era
Era Kesunyian
October 13, 2020
Sooho
Sooho
November 5, 2020
paradise-of-demonic-gods-193×278
Paradise of Demonic Gods
February 11, 2021
dungeon reset
Ruang Bawah Tanah Terulang Terus
June 30, 2020
  • HOME
  • Donasi
  • Panduan
  • PARTNER
  • COOKIE POLICY
  • DMCA

© 2025 MeioNovel. All rights reserved