God of Cooking - Chapter 255 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 255 <Si Aneh (3)>
“Makanan, kau bilang…”
Jaina melongo memikirkan kata itu. Sejak kapan dia tidak bisa lagi menikmati makanan dan hanya menyantapnya? Sudah lama dia merasa malu karena makanan. Dia mengambil garpunya lagi, lalu meletakkannya kembali.
Justru kemudian, dia makan menggunakan tangannya. Dia memalingkan muka dengan gugup ketika dia menyadari Paul memperhatikannya.
“Ini sandwich. Sandwich dimakan pakai tangan, bukan garpu,” responnya.
“Jadi, kau menyukainya?”
“Well, aku tahu ini jelas sedap. Tapi banyak sekali yang juga sedap, seperti burger. Jika kau memberi tahuku ada yang lebih dari itu…. Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak bisa mengatakannya.”
“Apa kau ingat apa yang dikatakan penyaji sebelumnya? Ini hidangan buatan Minjoon.”
“Apa itu penting? Chef Rachel sudah menyeleksi semua makanannya. Bahkan meski Minjoon yang membuatnya, tetap saja harus sesuai dengan standar chef Rachel.”
Dia tahu dengan baik bahwa ada para pencicip yang berpikir bahwa chef Rachel yang harus membuat sendiri hidangan restoran. Akan tetapi, Jaina tidak begitu peduli soal itu. Menurutnya, chef kepala tidak harus melakukan semuanya sendiri. Pertama-tama, orang-orang yang memperdebatkan hal-hal semacam itu… akan lebih baik untuk mengatakan hal-hal seperti ‘mengapa chef Rachel tidak memasak dengan pisau di tangannya selama jam kerja?’.
Kali ini, Jaina mengambil bagian lembut dari sandwich. Yaitu, bagian dalam baguette dan cassoulet. Matanya menjadi bersemu riang saat lidahnya menyentuh sandwhich.
‘Jadi inilah… yang dia inginkan.’
Dia harus mengakui, ini adalah hidangan yang cocok untuk ‘restoran terbaik di Amerika’. Potongan pertama sandwhich itu cukup enak, bahkan yang kedua lebih baik. Bukan secara objektif lebih enak atau apa pun. Tetapi ada perbedaan tekstur dibanding potongan yang pertama. Itulah yang membuat hidangan ini asyik, juga cantik.
Paul juga merasakan hal yang sama dengan Jaina. Ini adalah hidangan yang menyegarkan bagi Paul. Dia tidak pernah merasakan sebelumnya hidangan yang diuraikan berdasarkan teksturnya.
‘Apakah ini jelas karena murid Rachel Rose ataukah chef ini sangat berbakat sekali?’
Paul harus memikirkan itu semenit. Jawabannya ternyata sederhana. Keduanya. Seorang penambang berlian yang berbakat telah mengeluarkan berlian yang indah dari batu. Sebuah berlian yang indah tidak akan di sini tanpa bentuk aslinya atau tanpa penambang berlian yang menggalinya. Jaina menoleh untuk berbicara pada Paul dengan lelah.
“Apakah Rose Island… selalu seperti ini?”
“Entahlah. Aku tidak begitu paham pertanyaanmu.”
“Apa semelelahkan ini? Kebanyakan restoran lain yang kukunjungi membuatku berpikir ‘baiklah, mari kita lihat apa yang kau dapatkan’, tapi… ini berbeda. Seolah restoran ini memberi tahuku ‘mari kita lihat apa kau bahkan bisa mulai paham hidangan kami’. Ini bukan tempat yang bagus untuk makan. Ini…area pencicipan. Untuk menguji seberapa bagus kita sebagai pencicip.”
“Ini penilaian yang adil. Seringkali Rose Island jauh dari jangkauan kebanyakan orang.”
“…Bagaimana mungkin restoran seperti itu ada?”
Jaina melihat piring dengan kesal. Dia selalu merasa bahwa restoran Amerika selalu tergeser di belakang restoran Eropa. Restoran Eropa selalu menjaga tradisinya, dan di atasnya ada Michelin. Jaina hampir seperti pencicip stereotip dari Michelin. Terjebak dalam caranya sendiri.
Baginya, restoran Amerikalah yang meninggalkan tradisi. Akan tetapi, Rose Island berbeda. Mereka berjalan di atas tali yang sangat tipis di langit. Antara modernisasi dan tradisi. Biasanya, restoran seperti ini hanya membuahkan hasil yang biasa-biasa saja.
Tapi tidak dengan Rose Island. Mereka membuat sesuatu seperti ini. Makanan yang mengalihkan seluruh dunianya.
“Rose Island tidak diterima seluas ini pada mulanya,” kata Paul mulai bercerita.
“Lalu?”
“Mereka mendapat banyak ulasan buruk pada awalnya. Mereka tidak mengikuti tradisi, lagi pula. Mereka bahkan pernah disebut telah mempermalukan masakan barat. Tetapi Rachel dan Daniel tidak menyerah. Pada akhirnya, mereka diterima oleh komunitas.”
“Mereka mendapat ulasan buruk?”
“Lucu, bukan? Mereka membuat hidangan yang mirip dengan ini kala itu. Tetapi sekarang mereka disebut restoran terbaik di Amerika.”
Paul terdengar seolah jijik saat dia berbicara. Dia menunduk menatap piringnya sambil melanjutkan bercerita.
“Kapan pun aku merasa aku mulai arogan, aku memikirkan ini. Tradisi tidak selalu menjadi jawaban. Semua pencicip yang menyebut Rose Island restoran yang memalukan menjadi malu sendiri setelah beberapa tahun kemudian. Mereka bahkan dihina atas pengecapan mereka.”
“…Maksudku, itulah yang terjadi. Ulasan suatu restoran sangat sering berbalik.”
“Mengulas hidangan seorang chef … berarti mengulas seluruh kehidupan chef tersebut. Kita bisa menghancurkan kehidupan seseorang hanya dengan beberapa kalimat. Kita bahkan bisa… mendorong mereka pada kematian.”
Paul tampak luar biasa berat untuk mengatakan ini. Jaina memikirkan kisah lama pria itu. Dia melepas sebuah bintang dari sebuah restoran, dan menyebut restoran itu tidak inovatif dan membosankan. Beberapa hari kemudian, chef kepala restoran itu bunuh diri di dapurnya sendiri.
“Menurutku, itu bukan salahmu,” tutur Jaina.
“Terima kasih. Kau baik. Namun… kau harus tahu, bahwa orang yang kuinginkan untuk mengatakan itu tidak lagi ada di dunia ini. Kau sebaiknya berhati-hati juga. Apa yang kau ulas adalah makanan, tetapi realitanya adalah seluruh hidup chef itu. Bukannya aku melarangmu untuk tidak ketat. Hanya… kau perlu memikirkan dengan lebih hati-hati untuk setiap ulasan yang kau buat.”
“Aku paham.”
“Maaf. Aku membuat suasana makan menjadi suram, bukan? Aku pencicip yang gagal.”
Paul tersenyum memohon maaf sebelum tergiur untuk melanjutkan pembicaraan.
“Jadi, bagaimana rasanya sejauh ini? Apa kau suka restoran ini?”
“Rasanya seperti aku sedang melihat seorang wanita di abad pertengahan memegang ponsel pintar.”
“Ulasan yang kompleks sekali itu.”
“Dan…”
Jaina memikirkan kata-katanya sejenak. Apa dia sungguh ingin mengatakan ini? Setelah beberapa saat berpikir, dia menyadari bahwa dia memang menginginkannya.
“Dia perempuan yang sangat cantik.”
€
“Meja yang di sana… mereka adalah pencicip, bukan?” tanya Maya.
Minjoon melihat sekilas lalu kembali bekerja dengan jelinya.
“Entahlah. Mungkin saja seorang kakek yang datang untuk makan dengan cucunya.”
“Iiih, kakek macam apa yang datang makan dengan cucunya? Apalagi ke sini? Seorang kakek mungkin akan datang dengan seluruh keluarga.”
“Siapa tahu? Dia mungkin tidak punya keluarga lain. Atau mereka hanya berteman. Omong-omong, kembalilah bekerja. Berasumsi tentang para tamu itu kasar.”
“Iya….”
“Periksalah busa keju.. Aku harus tahu kalau itu selesai dengan baik.”
Maya pergi dengan wajah tertekan. Minjoon melihatnya sejenak saat dia mulai berpikir.
‘….Apa aku dianggap enteng olehnya?’
Mungkin Minjoon berusaha terlalu keras untuk membuatnya merasa nyaman. Dia memang memiliki kecenderungan untuk mencoba membuat orang merasa lebih baik di sekitarnya. Bukan karena dia orang yang baik atau bagaimana. Dia hanya benci orang yang lancang. Sebagai guru, dia selalu mendapat hasil yang lebih baik untuk mencoba memperhatikan dan membantu muridnya. Dia bahkan punya murid yang terus menghubunginya meski telah lulus.
Sama halnya ketika dia sedang memasak. Dia sering berurusan dengan orang-orang lancang waktu itu. Dia harus berurusan dengan sejumlah pekerjaan bodoh karena orang-orang tertentu. Kemudian, dia memutuskan bahwa dia sungguh tidak ingin menjadi bos yang buruk, yang mana menjadi sebagian alasan kenapa dia baik pada Maya. Namun,…
‘Maya bertingkah sangat kekanak-kanakan kadang-kadang.’
Bukannya Maya tidak bekerja atau bagaimana. Maya membantunya di hampir semua pekerjaannya, dan dia sangat suka rela untuk belajar juga. Hanya saja … dia melakukannya seolah sedang piknik? Akan bagus jika dia lebih serius soal ini.
Kemudian, kepalanya berkabut. Dia menghentikan dirinya terjatuh dengan berpegangan pada pekerjaannya saat ini. Kepalanya berdenyut-denyut. Apa karena dia terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini? Dia berusaha bernapas dengan stabil agar tenang.
“Apa kau baik-baik saja, Minjoon?” Minjoon mendengar seseorang bicara.
Minjoon menoleh ke sumber suara. Dia bisa melihat rambut pirang di depannya, tetapi dia tidak bisa melihat wajahnya. Dia memejamkan matanya dengan erat sejenak. Kemudian membuka matanya lagi. Sekarang dia bisa melihat dengan lebih baik. Minjoon tersenyum tipis.
“Ah, Annie. Ada apa?”
“Aku hanya sedang lewat, tetapi kau tampak hampir pingsan. Apa kau baik-baik saja?”
“Maaf. Aku merasa sedikit lesu.”
“Oh, tidak. Hmm, apa yang harus kita lakukan… butuh waktu cukup lama sebelum pelanggan pergi.”
“Jangan khawatir. Aku hanya kepanasan.”
“Fiuuh… kalau begitu, aku hanya akan memberimu tambahan energi kilat.”
Minjoon melihat Annie dengan wajah bingung. Wanita itu hanya tersenyum ceria.
“Ada beberapa pelanggan yang tampak seperti para pencicip. Mereka sagat tersentuh dengan hidanganmu.”
“Hidanganku? Hmm… cassoulet?”
“Iya. Mereka tidak bisa berhenti membicarakannya. Ini sangat menakjubkan, mereka berekspresi seolah mereka tidak pernah menyantap hidangan seperti itu seumur hidup”
“Terima kasih. Itu memang tambahan energi yang bagus.”
Minjoon tersenyum. Dia merasa lebih enerjik, sebenarnya. Minjoon memikirkan pembicaraannya dengan Rachel sejenak.
‘Serakah sekali kau.’
‘Maaf?’
‘Menurutmu, bagaimana kau berusaha mengambil ini semua? Semua aspek cassoulet? Kebanyakan orang akan merusak hidangan dengan keserakahan itu, tapi… akhirnya kau membungkus keserakahan itu dengan indah.’
Dia tidak bisa mengingat apakah Rachel tersenyum ataukah tertawa saat itu. Barangkali keduanya? Atau tidak sama sekali? Dia tidak bisa mengingatnya. Dia hanya ingat apa yang Rachel katakan setelah itu.
‘Dan kau membuatku merasa ingin serakah juga. Kau membuatku ingin membawamu lagi, terlepas dari kenyataan bahwa aku sudah melakukannya.’
Namun, Minjoon ingat ekspresinya sendiri. Dia menangis. Sedikit.
‘Aku senang aku bisa mengajarimu.’
<Si Aneh (3)> Selesai.