God of Cooking - Chapter 253 Bahasa Indonesia
Penerjemah: Hennay
Dewa Memasak: Bagian 253 <Si Aneh (1)>
“Kalian sungguh tidak tahu hal ini?”
Deborah bertanya dengan ekspresi tidak percaya, sehingga membuat para chef terlihat bingung. Deborah menghela napas dalam lalu lanjut berbicara.
“Inspektor Michelin tidak hanya datang sekali. Mereka punya aturan, lho. Jika Minjoon yang tidak tahu itu logis, tetapi untuk kalian bertiga itu tidak mungkin. Kalian semua bekerja di restoran sebelumnya.”
“Menurutku, inspektor Michelin tidak pernah datang ke restoranku. Setidaknya, tidak pernah selama aku bekerja di sana.” jawab Javier.
“Oke, baiklah. Bagaimana denganmu, Anderson, Janet? Kalian berdua seharusnya tahu lebih baik.”
“…Aku sungguh tidak tahu. Aku tak pernah berpikir mereka akan datang berkunjung.”
“Aku merasakan hal yang sama dengan Janet.”
Deborah menghela napas lagi frustasi. Dia syok, tampaknya. Tiga orang dari mereka baru saja berpikir bahwa kali ini untuk mereka.
‘Rachel juga sinis.’
Rachel pasti sudah tahu bahwa mereka bertiga di sini salah paham dengan ini. Dia mungkin diam-diam ingin menggoda para chef. Lagipula, mereka akan jauh lebih putus asa jika mereka mengira inspektur hanya akan datang sekali.
‘…Mungkin seharusnya aku tidak memberi tahu mereka?’
Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Namun, Deborah menghela napas lagi.
“Inspektor mengunjungi restoran sekitar tiga kali. Begitulah cara mereka mendapatkan penilaian yang akurat dari restoran. Berusaha meninjau restoran dengan hanya sekali datang itu tidak adil.”
“Aneh memikirkan bagaimana orang-orang ini begitu menyukai makanan, tetapi sebenarnya tidak bisa memasak.”
“Hanya perbedaan kepribadian. Beberapa orang suka memasak, beberapa suka mencicipi. Bagaimana dengan kalian? Apa kalian lebih suka makan daripada memasak?”
Para chef merespon hanya dengan memutar bola mata mereka. Deborah tersenyum dalam hati. Entah bagaimana dia bisa menebak kenapa mereka merespon seperti itu. Minjoon melangkah maju untuk berbicara pada yang lain.
“Jika kau membicarakan tentang apa yang menyenangkan, tentu makan lebih menyenangkan.. Kadang-kadang aku iri dengan para pencicip.”
“Oh… masa? Kau pasti menyesali menolak tawaran menjadi pencicip waktu itu.”
“Aku tidak menyesalinya. Memasak itu hanya lebih sulit, itu saja. Alasan terbesarku aku suka mencicipi karena aku bisa berpikir tentang bagaimana aku akan memasak suatu hidangan yang telah kucicipi.”
“Itu benar, begitulah chef. Itulah yang membuat kita menjadi chef dan mereka pencicip.”
“Jadi apa ada sesuatu yang perlu kita khawatirkan? Untuk Michelin?” tanya Janet.
“Well…”
Deborah Berpikir sesaat. Rose Island. Restoran pusat, semuanya bagus. Jika kau seorang pencicip, kau pasti ingin datang ke sini. Lagipula, ini terkenal sebagai restora terbaik di seluruh Amerika Serikat. Deborah mengangkat bahu.
“Inspektor Michelin sebenarnya benci meninjau restoran populer. Mereka semua mungkin berusaha menundanya.”
“Apa karena mereka akan mendapat banyak ancaman jika hasil tinjauan mereka tentang restoran itu buruk?”
“Itu juga, tetapi alasan sebenarnya bukan itu.”
Deborah mengacungkan tiga jarinya di depan para chef.
“Inspektor Michelin tidak bisa berkunjung ke restoran yang sama dua kali dalam tiga tahun.”
“…Ah, aku paham.”
Mereka semua paham. Rose Island adalah restoran yang disukai pencicip. Hampir separuh pelanggannya adalah para pencicip, faktanya. Tidak normal bila ada pelanggan yang tidak suka restoran itu. Restoran itu begitu populer.
Pernah sekali salah seorang pencicip mengatakan bahwa Rose Island mengingatkannya pada sebuah hidangan yang pernah dia santap sebelum menjadi seorag pencicip. Makanan di Rose Island membuatmereka menikmati makanan sebagaimana seharusnya.
Para chef tidak suka tetap pada metode tradisional, tetapi mereka juga tidak akan memasak dengan terlalu modern atau rumit. Mereka mencari keseimbangan. Jika ada yang memberi tahu pencicip bahwa mereka tidak akan bisa makan di Rose Island selama tiga tahun setelah mencicipinya… Tidak ada pencicip yang menganggap itu berita bagus.
“Berapa banya kalian memasukkan resep kalian sendiri ke menu?”
Para chef demi saling berpandangan dengan gugup, hingga membuat Deborah tertawa.
“Jika kalian ingin membuat kenangan yang indah tentang menu, kalian harus buru-buru. Orang-orang ini sungguh datang entah darimana.”
€ € € € € € € €
“Jadi hanya beberapa hari tersisa sampai syuting selesai.”
Kamerawan berbicara dengan nada santai. Minjoon menoleh ke pria itu dengan tersenyum.
“Terima kasih atas semuanya. Kuharap aku tidak terlihat seperti orang aneh di layar besar. Aku banyak mendengarnya saat kita syuting perjalanan kuliner.”
“Apa boleh buat? Kau memang orang aneh.”
“Jika kau juga mengatakan itu… bukankah itu tidak akan mudah berubah dalam waktu dekat.”
Jo Minjoon tersenyum canggung. Kamerawan berbicara saat dia melihat Minjoon dari lensa kameranya.
“Apa ada yang ingin kau sampaikan pada para penonton?”
“Pada para penonton? Well… jangan membenciku saja, kukira? Bukan hanya aku, Kaya juga. Apa yang menjadi perhatian kami adalah makanan. Tidak ada yang lain. Kami hanyalah orang biasa saja.”
“Aku tidak tahu apakah orang yang menganggap kau normal jumlah banyak.” jawab kamerawan dengan serius.
Setidaknya, Minjoon sangat tidak normal baginya. Tidak hanya tentang bakatnya, bukan. Watak Minjoon sendiri membuatnya sangat aneh. Itulah yang membuatnya tampak aneh selama beberapa menit…
“Kau akan tahu bahwa wawancaranya sangat menghibur begitu kau menontonnya nanti. Banyak orang akan membicarakanmu.”
“…Kawan, sekarang kau membuatku gugup. Haruskah aku menontonnya?”
“Aku perlu sudut pandang itu tetap bertahan, kau tahu. Tontonlah.” jawab kamerawan dengan iseng dari belakang kamera. Minjoon hanya mengangkat bahu.
“Tentu. Namun, aku berharap kau bisa bertahan cukup lama untuk melihat inspektor Michelin.”
“Well, terserah. Plus, kita pun tidak akan tahu yang mana inspektornya. Tetapi aku sungguh berharap para chef demi bisa memasukkan resep mereka ke dalam menu.”
“Itu akan bagus, tetapi jika mereka tidak bisa…yasudah tak apa.”
“Kau santai soal itu, Minjoon.”
“Apa ada alasan untuk tidak santai?” jawab Minjoon dengan santai. Dia menoleh ke dapur. Sorot matanya pada chef demi lain tampak sangat rumit. Setelah itu, Janet menghampirinya dengan sebuah hidangan. Minjoon melihat Janet dengan wajah sedikit takut.
“…Lagi?”
“Ini akan lolos, aku janji”
“Aku merasa seolah aku makan tujuh atau delapan kali sehari karena kau…”
“Tapi kau tidak akan gendut.”
“Itu karena aku banyak bekerja.”
“Sempurna. Kau hanya akan menjadi kurang gizi tanpa banyak makanan. Ini, cobalah. Ini bisque lobster. Aku menggunakan cengkeh dan sampanye di dalamnya. Aku memasak capitnya, dan ceviche di bawahnya dibuat dari badan lobster, paprika, bawang bombay, dan tumis zucchini.”
“Terdengar enak.”
Minjoon mencoba sesuap dengan bergumam. Cita rasa lobster dengan sayuran sedikit berbeda dari yang diduga. Ini terasa sangat… modern. Bisque menyatu dengan baik dengan sampanye, dan keseimbangan yang dibentuk olehnya dan ceviche lobster cukup bagus. Namun,…
“Ini tidak akan berhasil.”
“…Kenapa?”
“Teksturnya bagus. Keseimbangan citarasa juga bagus. Tetapi itulah. Terlalu jelas.”
“Hah… Lalu apa yang harus kau lakukan?”
“Itu terserah padamu?”
“Tidak adakah saran?”
“Eh? Mungkin mengganti bisque itu sendiri, atau tambahkan sesuatu yang baru ke dalamnya? Kau mungkin ingin menyerah saja pada bisque seluruhnya. Mungkin puree paprika akan bagus di atasnya. Omong-omong, sejak kapan kau mulai memperhatikan kata-kataku?”
Minjoon melihat Janet penasaran. Tentu saja, yang lain berpikir dia adalah si superpencicip. Namun, tidak ada dari mereka yang meminta saran darinya secara langsung berulang kali. Janet mengigit bibirnya sesaat lalu menjawab.
“Kau selalu berhasil memasukkan resepmu, dan mendapat OK dari Rachel. Kau tahu apa yang Rachel inginkan.”
“Aku tidak tahu apa yang Rachel mau.”
“Lalu bagaimana bisa?”
“Eh… berkat babi, kukira?”
“…Apa itu?”
“Lihat ke galeri jika kau penasaran.”
Janet menutup mulutnya. Dia tidak mau mengakui bahwa dia telah mendatangi semua galeri di LA setelah mendengar bahwa Minjoon mendapat inspirasi saat mengunjungi galeri. Anderson menoleh untuk bertanya pada Janet di saat dia kembali ke dapur.
“Apa? Minjoon bilang ini tidak akan berhasil?”
“Iya. Terlalu rata-rata.”
“Ini tidak tampak biasa saja. Maksudku, lagipula kau tidak suka hal-hal yang rumit. Kau bisa pergi ke Rachel. Minta pendapatnya.”
“Tidak apa-apa. Lagipula dia lebih baik dari rata-rata para pencicip .”
“Lebih baik dalam memasak juga.”
“…Kau sungguh ingin memasukkan itu ke dalam menu?”
Janet membelalak pada Anderson dengan suara pelan. Dia lanjut dengan nada dingin.
“Apa kau harus membuat dirimu lebih rendah darinya seperti itu? Apa karena itu kau memintaku menemanimu ke galeri?”
“Dua hal. Aku tidak berniat membuat diriku lebih rendah darinya, itu realitanya memang. Dia baik dalam memasak, aku mengakuinya. Kedua, kau yang meminta berkunjung ke galeri, bukan aku.”
“Kau berbicara seolah-olah kaumembutuhkan teman untuk pergi bersama dari awal. Baiklah, katakan saja aku menghadapi realita. Aku tidak akan menerimanya dengan kepala tertunduk. Aku akan melaluinya. Aku akan berkembang.”
“Jika kau ingin berkembang, lakukan saja dengan Javier. Aku punya banyak pekerjaan.”
“Sama.”
Janet dan Anderson saling menjauh dengan kesal. Kemudian, pintu ruang kantor terbuka. Javier keluar. Mata pria itu bertemu dengan keduanya, lalu dia mengangkat piring kosong dengan seringai. Janet dan Anderston perlahan saling berpandangan.
“Kita sebaiknya berjuang.” kata Anderson
“…Kau ingin mulai berdiskusi?”
Mereka berdua menghabiskan sisa malam berusaha melampaui dinding Rachel. Sayangnya, mereka tidak menghasilkan apa-apa.
Dan keesokannya, mereka datang. Tanpa sepengetahuan para chef.
<Si Aneh (1)> Selesai.