Baca Light Novel LN dan Web Novel WN,Korea,China,Jepang Terlengkap Dan TerUpdate Bahasa Indonesia
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Advanced
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Prev
Next

God of Cooking - Chapter 252 Bahasa Indonesia

  1. Home
  2. God of Cooking
  3. Chapter 252 Bahasa Indonesia - Ambisi seorang chef tiada matinya (5)
Prev
Next

Penerjemah: Hennay

 

Dewa Memasak: Bagian 252 <Ambisi seorang chef tiada matinya (5)>

“…Apa kau dari Italia? Bagaimana kau bisa menggombal seperti itu?”

“Aku sedikit suka makanan Italia.”

Minjoon merespon dengan jahil. Deborah membelalak padanya dengan geram sejenak lalu menghela napas kalah.

“Ya Tuhan, aku tidak tahu harus membenci atau mencintaimu andai kau pacarku.”

“Kaya sepertinya menyukainya”

“Memang. Kalian berdua seperti pasangan baru menikah. Tunggu saja sampai perasaan itu memudar.”

“Kau tahu itu tidak terjadi pada semua pasangan, kan?”

“Kau hanya bisa berharap.”

Deborah membuat salib di dadanya, membuatnya tertawa dari Minjoon.

“Apa kau merasa baikan sekarang?” tanya Mnjoon.

Aku merasa diriku mendapat petunjuk atau semacamnya.. Kurasa.”

“Kau bisa melakukannya. Tolong jangan membuatku terlihat seperti orang jahat, aku tidak mau membuatmu sebegitu kesal sampai kau tidak melakukan apa-apa.”

“Tentu, aku akan berusaha yang terbaik. Apa kau juga mendapat sesuatu?”

“Mungkin sebuah petunjuk kecil?”

Minjoon menyeringai gembira. Sorot matanya tertuju pada babi itu. Dia menatap patung itu saat dia bertanya dalam hati.

‘Hei babi, apa kau tahu bagaimana penampilanmu dengan seringai di wajahmu?’

Babi itu tidak menjawab sampai Minjoon tertidur malam itu. Di bawah kelopak matanya, di suatu kota besar yang kecyang agak besar, Minjoon melihat babi itu duduk di atas toilet emas, dengan gaun berwarna krem yang mewah.

“Bagaimana penampilanku?” tanyanya.

Minjoon tidak terkejut bahwa babi itu bisa berbicara. Faktanya adalah bagi Minjoon babi itu wajar bisa berbicara. Dalam mimpinya, setidaknya. Minjoon menjawab babi itu tanpa melewatkan satu ketukan pun.

“Kau terlihat tidak biasa. Kau itu babi!. Babi tidak menggunakan gaun. Bagaimana dengan jamban itu? Apa yang kau lakukan di sana?”

Babi itu mengerutkan dahi padanya. “Bukankah kau agak kasar saat ini? Aku tidak bisa menggunakan gaun sekarang karena aku babi. Aku punya banyak serangga di rambutku dan aku selalu berlumuran lumpur?”

“Kenapa kau ingin berpakaian seperti itu?” tanya Mnjoon.

“Babi juga ingin terlihat cantik. Aku mungkin tidak bisa menjadi karakter utama di dunia ini, tetapi setidaknya aku bisa menjadi karakter utama dalam hidupku.”

Suara babi itu berubah muram. Babi itu berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan ke depan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Setelah empat langkah, babi itu harus meletakkan tangannya di lantai. Tangannya berubah menjadi kaki, dan pakaiannya berubah menjadi kulit dan rambut-rambutnya. Babi itu mendongak melihat Minjoon.

“Apa yang bisa kulakukan agar menjadi karakter uatama?” tanyanya.

Minjoon tidak bisa menjawabnya. Sebagai gantinya, dia menepuk pelan leher babi itu. Kalung mutiara itu hilang sekarang. Sayanganya sebagai makhluk, dekorasi apa pun akan terlihat konyol.

“…Maafkan aku. aku tak tahu.” jawab Jo Minjoon. Dia bertanya-tanya sendiri. Barangkali kau tidak terlahir sebagai karakter utama? Bahkan dalam hidupmu? Dia tidak tahan untuk mengatakannya. Babi itu bergumam sendiri dengan kepala tertunduk.

“Bisakah kau memakaikanku sebuah pakaian? Terserah kapan, yang penting aku punya.”

“Seperti gaun yang sebelumnya?”

“Tidak, kau bilang itu aneh untukku. Aku ingin sesuatu yang membuatku tampak cantik. Kumohon buatkan sesuatu yang cocok untukku. Bisa kah?.”

Dia merasa dirinya tidak bisa melakukannya. Tetapi dia tidak bisa mengatakan itu di depan wajahnya. Minjoon memeluk makhluk itu di lehernya dengan erat.

“Iya, baiklah.” jawab Minjoon.

Dia tidak segera melepaskan babi itu. Pada akhirnya, leher babi itu mulai terasa mengecil di lehernya. Apa yang terjadi?

Itulah saat dia terbangun dari mimpinya. Ketika dia membuka mata, dia melihat Kaya sedang menatap dirinya dengan wajah kesal.

“…Sekarang setelah kau bangun, bisakah kau melepaskan aku?” tanya Kaya.

“Kenapa aku… Oh, ini rumah kita.”

“Kau sering pergi ke rumah orang lain atau bagaimana?” tanya Kaya sinis. Minjoon melepaskan Kaya dengan wajah lelah.

“Seorang gadis menggemaskan muncul dalam mimpiku.”

“Kau tahu aku tidak akan memaafkan dirimu meski kau jujur,kan?”

“Meski dia seekor babi?”

“…Apa kau sakit?”

Kaya merespon Minjoon dengan cara yang biasa Kaya lakukan. Minjoon lanjut dengan suara parau.

“Aku janji untuk memberikannya pakaian. Pakaian yang cocok untuk babi.”

“Apa kau bercumbu dengan babi atau bagaimana? Mimpi macam apa itu?”

“Aku akan memakaikan baju untuknya.”

“…Apa sih yang kau bicarakan? Tidurlah. Kita punya pekerjaan besok.”

“Ok, selamat malam.”

Minjoon menarik selimut untuk Kaya sambil tersenyum. Satu hal yang dia pelajari dari Kaya adalah bahwa Kaya suka menendang selimut saat dia tidur. Dia menepuk bahu gadis itu seolah-olah dia masih bayi sampai napasnya menjadi lebih teratur. Bahkan setelah Kaya tertidur, dia justru tidak bisa tertidur.

Dia sedang memikirkan banyak hal. Dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang karya seni dan babi dalam mimpinya.

Dia semacam ingin membuat sesuatu di dapur, tetapi dia tidak mau mengganggu tidur Kaya dan Anderson. Terutama pada jam 3 pagi.

Dia pun tidak bisa tidur pada jam sekian. Setelah berpikir selama beberapa saat, Minjoon memutuskan untuk masuk ke mobilnya.

Dia tidak menuju ke Rose Island. Dia tidak menuju tempat lain seperti taman ataupun pantai. Dia sedang menuju ke toko roti Lisa. Marco keluar dari toko dengan wajah bingung saat Minjoon memarkir mobilnya.

“Apa-apaan ini? Minjoon, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Marco.

“Kau butuh bantuan?”

“Yaa, memang, tapi…”

“Aku akan membantu.” Minjoon menatap Marco dengan tatapan yang hampir seolah menuntut. Lisa tampaknya mempersilakannya, syukurlah.

“Masuklah. Aku bisa meminta bantuan berat, kan?”

“Tentu saja. Aku perlu melakukan sesuatu sekarang.”

Kepalanya terasa seperti akan meledak jika dia tidak melakukan sesuatu. Sayangnya baginya, sebenarnya Lisa tidak membuat dia bekerja berat. Mungkin karena Minjoon tidak tahu hal tentang menguleni, yang mana paling banyak membutuhkan energi dalam membuat roti.

Pada akhirnya, hal yang dia kerjakankan adalah hal-hal seperti mendidihkan air, atau menaburkan tepung.. Sesekali memeriksa temperatur di oven, dan memindahkan adonan dari sini ke sana, Lisa memasukkan adonan terakhir ke dalam oven saat dia mulai berbicara.

“Bukankah ini cantik, Minjoon?”

“Adonannya?”

“Semuanya. Cahaya, adonan, fermentasi, dan aroma gluten.”

“Kau tampaknya suka sekali dengan pemandangan ini.”

“Menurutku, proses membuat roti lebih indah dari roti yang sudah jadi. Mirip dengan banyaknya orang dewasa yang mencari anak yang lebih lucu daripada orang dewasa.”

Minjoon tidak sepenuhnya mengerti apa yang membuat Lisa merasa seperti ini di toko rotinya, tetapi dia bisa mengaitkannya. Terkadang dia akan tersenyum sendiri saat dia menonton sup mendidih di dapur. Dia lanjut berbicara dengan suara tenang.

“Ini adonan yang sama dengan yang ada di dalam oven, tetapi tiap adonan dan roti tampak sangat  berbeda. Aku suka roti. Prosesnya mungkin tetap sama, tetapi citarasa tidak pernah sama.”

“Proses yang sama, rasa yang berbeda…”

Sesuatu hampir muncul di kepalanya, di lautan pikirannya, tetapi belumsampai. Minjoon menyerah begitu saja untuk berpikir sebelum mengajukan pertanyaan padanya.

“Menurutmu, apa yang membuat sebuah roti menjadi roti sejati?”

“Apa yang membuat sebuah roti menjadi roti sejati?” tanya Lisa bingung.

“Aku telah banyak memikirkan hal yang sama. Tentang bagaimana makanan terbaik menghasilkan yang terbaik dari yang seharusnya. Aku ngin tahu apa yang membuat roti menjadi enak dalam sudut pandang itu.”

“Hmmm, entahlah. Roti adalah topik yang terlalu luas. Jika aku harus menetapkan pada satu hal…?”

“Roti adalah?”

“Ya kan? Kau tak pernah melihat roti sebagai yang utama di restoran mewah. Roti selalu ada sebagai pendamping. Kebanyakan orang tidak makan roti secara terpisah hanya demi ingin makan roti.”

“Roti bersinar ketika dipasangkan…”

Minjoon menerawang ke langit sejenak. Matanya tampak mencari-cari sesuatu. Setelah beberapa saat, saat Lisa mulai melihat dirinya dengan ekspresi cemas, Minjoon berdiri dari tempat duduknya. Dia menoleh ke Marco dengan ekspresi gembira.

“Bantu aku, Marco.” kata Minjoon.

“…Ada apa?”

“Aku punya resep yang ingin aku selesaikan. Aku…”

Minjoon terdengar seolah dahaga saat melanjutkan.

“Aku butuh rotimu.”

€  €  €  €  €  €  €  €

“…Aku tidak pernah berpikir akan melakukan ini lagi.” gumam Maya kesal.

“Setidaknya kali ini kau tidak harus melakukan apa-apa dengan telur lagi.” jawab Minjoon dengan senyum.

“Chef, boleh aku saja yang menanganinya? Kau tampak seperti akan pingsan.” Apa kau sudah tidur?”

“Iya, aku sudah cukup tidur.”

“Bohong. Matamu punya lingkaran hitam di bawahnya.”

Maya melihat Minjoon dengan ekspresi cemas. Pria itu terlihat seperti bisa pingsan kapan saja baginya. Minjoon menyeringai dengan jahil.

“Aku akan menyerahkan ini padamu kalau nanti aku jatuh pingsan..”

“Kau terdengar seperti akan berperang.”

“Well, semacam itu.”

Minjoon menuangkan air ke dalam panci tungku saat menjawabnya. Dia perlu menambahkan air pada cassouletnya. Bagian renyah di atas rebusan bisa bisa merusak keseluruhan hidangan.

“…Cobalah untuk membuat sesuatu yang mudah lain kali. Atau serahkan saja padaku. Kau tidak bisa menungguinya seperti bayi selama enam jam terus menerus seperti itu.” keluh Maya.

“Aku tidak selelah itu. Terutama dengan asisten yag energik seperti kau.”

“Aku merasa lelah hanya dengan melihatmu, kau tahu itu? Ini, makanlah.”

Maya mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Itu jeli. ketika Minjoon melihat Maya ekspresi bertanya-tanya, gadis itu berbicaraa padanya dengan suara tegas.

“Ini jeli vitamin. Tidak terlalu enak, tapi kau harus memakannya. Lakukan saja sebelum aku mulai kerja berlebihan sepertimu.”

“Terima kasih.”

“Makan ini dulu.”

“Baiklah. Kawan, kau perhatian padaku lebih dari ibuku.”

“Aku harus melakukan yang terbaik sebagai asisten, ya kan?” Maya merespon dengan ekspresi bangga. Tepat setelah itu, Marco masuk dengan roti baguette yang baru matang. Dia tampak sedikit gugup dengan kreasinya..

“Ini. Baguette tradisional. Sama seperti yang kau minta, aku mencoba untuk membuatnya terasa sekaya mungkin tanpa mentega. Ini juga sangat kenyal. Seharusnya ini sangat cocok dengan hidangan ini.”

“Iya, terima kasih.”

Minjoon memasukkan sepotong baguette ke dalam mulutnya. Luarnya dulu, kemudian bagian dalam. Senyum hangat muncul di wajahnya..

“Ini sempurna.” seru Minjoon.

“Terima kasih.”

Marco tampak luar biasa gembira dengan pujian itu. Solusi Minjoon terhadap cassouletnya adalah tetap mempertahankan cassoulet sebagai rebusan, tetapi menaikkan citranya dengan sesuatu yang lain. Dia tidak akan mencoba membuat sesuatu yang baru dengan hidangan ini, dia malah akan merusaknya. Meski pada prosesnya, dia juga akan menambahkan sesuatu yang baru juga.

Suara bip dari oven terdengar setelah itu. Minjoon dengan hati-hati mengeluarkan panci saat dia memeriksa kondisinya. Keraknya renyah, sedangkan rebusannya sendiri sangat moise.

“Aku membuat sebuah karya seni, bukan sesuatu yang terlihat keren.”

Tidak banyak orang yang bisa membedakan keduanya, tapi orang yang benar-benar tahu tentang makanan bisa tahu, Minjoon yakin. Dia memotong baguette dengan hati-hati. Dia memotong bagian luar yang garing, lalu mencelupkan keduanya lam hidangan. Lapisan garing di bagian luar piring dan bagian dalam yang lembap di sebelah dalam.

Dia meletakkan bagian cassoulet yang renyah di atas daging roti, dan dia meletakkan bagian yang lebih lembab di sebelah lapisan yang garing. Hasil yang diinginkan di sini tidak hanya berkaitan dengan tekstur – dia ingin bagian hidangan yang berbeda memiliki rasa yang berbeda juga. Seperti bagaimana nasi goreng bisa terasa berbeda dengan potongan nasi yang menempel di wajan.

Itulah akhirnya yang dihasilkan Minjoon. Babi tetap menjadi babi. Kita tidak bisa membuatnya tampak cantik, tidak peduli gaun apa yang kita pakaikan. Tetapi jika kita memandikannya, memijatnya, dan menaruh bunga-bunga di kepalanya. Bahkan seekor babi pun terlihat cantik.

‘Aku menepati janjiku.’

Minjoon mengangkat hidangan itu.. Dia mengangkat cassoulet. Si babi itu. Dia menuju kantor Rachel. Mereka berdua saling bertukar senyum, dan Minjoon meletakkan hidangan di depan Rachel. Rachel menatap hidangan Minjoon cukup lama. Terasa aneh. Hanya cassoulet di atas roti, tetapi terasa cantiik baginya untuk beberapa alasan.

“Hanya baguette dan cassoulet?” tanya Rachel.

“Saya memutuskan untuk menggabungkan dua rasa yang ada pada baguette dan cassoulet.”

“Serakah sekali kau.”

Minjoon hanya memberinya pisau dan garpu tanpa mengatakan apa-apa. Rachel mengangkat tangannya. Dia mengiris roti itu lalu memasukkan ke mulutnya.

Mulutnya terus mengunyah selama beberapa saat.

<Ambisi seorang chef tiada matinya (5)> Selesai.

Prev
Next

Comments for chapter "Chapter 252 Bahasa Indonesia"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

You must Register or Login to post a comment.

Dukung Kami

Dukung Kami Dengan SAWER

Join Discord MEIONOVEL

YOU MAY ALSO LIKE

image002
Seiken Gakuin no Maken Tsukai LN
June 26, 2024
image002
Saihate no Paladin
April 10, 2022
cover
Age of Adepts
December 11, 2021
cover
Pemain yang Kembali 10.000 Tahun Kemudian
October 2, 2024
  • HOME
  • Donasi
  • Panduan
  • PARTNER
  • COOKIE POLICY
  • DMCA

© 2025 MeioNovel. All rights reserved