Baca Light Novel LN dan Web Novel WN,Korea,China,Jepang Terlengkap Dan TerUpdate Bahasa Indonesia
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Advanced
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Prev
Novel Info

Dungeon Defense (WN) - Chapter 446

  1. Home
  2. Dungeon Defense (WN)
  3. Chapter 446
Prev
Novel Info

Chapter 446 – DAISY (9)

Fase empat.

Aku butuh kepastian—keyakinan yang kuat bahwa jika keadaan terus seperti ini, Ayah pasti akan hancur.

“Seharusnya aku sadar lebih awal… Kenapa aku tidak melihatnya…? Kau tidak memperhatikan orang-orang. Kau tidak punya pilihan selain memusatkan pandanganmu pada wajah orang-orang karena hanya itu yang bisa kau fokuskan….”

“Sepertinya kaulah yang kehilangan akal sehatnya, bukan aku.”

“Berapa banyak? Ada berapa banyak!?”

Secara subjektif, aku sudah lama meramalkan kejatuhan Ayah. Tapi aku butuh sesuatu yang lebih kuat—bukti yang tak terbantahkan. Aku butuh keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa, jika dibiarkan, Ayah takkan bisa lolos dari kehancuran.

Misalnya, sejak Ayah membunuh Paimon, dia tidak pernah sekali pun berbagi ranjang dengan kekasihnya. Itu saja sudah merupakan tanda kehancuran yang akan datang. Aku sudah mencoba memprovokasi dia dengan hal-hal seperti “Ayah tidak mencintai Paimon,” berharap untuk mengonfirmasi kecurigaanku—Tapi itu tidak cukup.

Dalam hal itu, Raja Iblis Barbatos memainkan perannya dengan sangat baik.

“Dasar Dantalian bodoh… Hanya alat penyiksaan yang ada disana… Apa yang ‘menghalangi’ pandanganmu…?”

Ayah menderita halusinasi.

Sungguh menakjubkan. Bahkan aku, yang hampir seharian menjaga Ayah, tak menyadarinya. Ia menyembunyikan rasa sakitnya dengan ketenangan yang begitu sempurna. Untuk sesaat, aku hampir terkagum-kagum akan kekuatan mental Ayah yang tak tertembus.

Untungnya, itu masih di jam kerja. Performaku masih tetap terjaga. Ketika Ayah keluar setelah berdiskusi pribadi dengan Barbatos, Aku menanyakan satu pertanyaan terakhir padanya.

“Katakan saja satu hal, Ayah. Apa orang-orang dari desaku—orang-orang yang kau bunuh—juga terlihat olehmu?”

“Oh ya. Aku melihat mereka dengan cukup jelas. Bola mata mereka seperti digerogoti, dan mulut mereka mengumpatku sambil ditusuk tombak. Apa kau puas sekarang?”

Bagus sekali.

Dari sudut pandang seorang penguasa, petani tebang-bakar tidak lebih dari sekadar sampah.

Namun, Ayah masih mengingat orang-orang itu sepenuhnya. Raja Iblis Barbatos benar.

Tidak mungkin Ayah bisa tetap waras setelah membunuhnya.

Kemudian—

Akhirnya, fase lima.

――Mari kita mulai.

* * *

Itu adalah hari eksekusi publik.

Aku menunggu dengan sabar sampai semua Raja Iblis Faksi Plains dieksekusi terlebih dulu. Tidak ada pilihan lain.

Para Raja Iblis Faksi Plains takkan pernah memaafkan Ayah atas tindakannya yang telah membersihkan mereka. Kini setelah Faksi Mountain dihancurkan, Faksi Plains hanyalah beban. Lebih baik bagi semua orang jika mereka semua mati dengan tenang.

Sambil menyaksikan kepala mereka tertunduk satu per satu, aku mendesah pelan. Bagus. Takhta Ayah telah kembali diamankan….

Sekarang, hanya Barbatos yang tersisa.

Aku mendengarkan Ayah dan Barbatos bertukar salam perpisahan yang penuh air mata. Dan tepat sebelum aku melangkah maju, aku menatap langit sejenak.

“…”

Langit yang indah.

Angin membelai pipiku dengan lembut.

Sesekali—hanya sesekali—Ayah memperlakukanku dengan baik. Setiap kali ia melakukannya, aku takut tindakanku akan menghancurkannya. Bukan kebencian yang mengikis seseorang, melainkan kenyamanan dari kelembutan. Dan lebih dari apa pun, aku menjaga diriku dari hal itu.

Panggung kami hanya ada karena kami berdua benar-benar menjalankan peran kami. Ayah memastikan aku membencinya. Dan aku membencinya, seperti yang direncanakan. Sebagaimana manusia terikat untuk hidup di dunia, Ayah dan aku terikat untuk hidup di panggung ini.

 

Kami tidak bernapas untuk bertindak—

Kami bertindak karena kita harus bernafas.

Kami tidak melakukan sesuatu karena kami bisa—

Kami melakukannya karena memang harus dilakukan.

 

Dengan bumi sebagai panggung, dan langit sebagai tirai,

Kami akan memukau dunia ini dengan penampilan kami.

Dan semua yang dibutuhkan untuk itu… adalah kemauan baja.

Namun, hingga kini, drama ini hanya berkisah tentang Ayah yang menipu penonton. Babak pertama telah berakhir. Awan di langit tersibak, dan tirai pun terbuka untuk Babak Kedua. Di sini, bahkan sang tokoh utama, Ayah sendiri, tertipu oleh sesuatu. Sebuah tragedi yang berlapis di atas tragedi lainnya.

 

Judul pertunjukan ini—

Sebuah simfoni hanya untuk satu jiwa.

 

Di sinilah letak kepastian mutlak bahwa Ayah akan dihancurkan.

Dan di sini juga letak keyakinan yang tak tergoyahkan—

Bahwa akulah satu-satunya yang dapat menyelamatkannya.

Kedua keyakinan itu menopangku bagai pilar kembar sebuah lengkungan. Dan melalui keduanya, aku terangkat tinggi. Terbebas dari belenggu perbudakan, terbebas dari roh jahat yang membebani jiwaku. Kini, Ayah tak bisa lagi menghentikanku dengan perintah apa pun.

Sekarang—

Ayo mulai.

Dengan langkah-langkah yang membutuhkan kesempurnaan maksimal.

Pedang Ayah terbanting. Pedang besar yang berat itu hampir saja memenggal leher Barbatos, Tapi ujung kakiku mengenai tangan Ayah dengan sudut dan kekuatan yang sempurna. Pedang itu terpental, terpental jauh.

Wajah Ayah berubah ngeri. Anehnya, perubahan ekspresinya terasa lambat bagiku. Mungkin karena aku memperhatikan Ayah dengan fokus penuh. Pasti itu penyebabnya. Aku bicara dengan ekspresi kosong.

“Maafkan aku, Ayah.”

“Beraninya kau… Gadis sialan, apa yang kau lakukan—.”

“Aku sudah berkali-kali merasa gelisah mengenai hal ini.”

Ayah merasakan pahitnya pengkhianatan. Tentu saja. Dalam beberapa hal, akulah orang yang paling ia percayai. Ia pasti percaya bahwa apa pun yang terjadi, aku takkan pernah mengkhianatinya seperti ini.

Dan akhirnya, Aku menangkap momen yang paling sempurna.

“Selama bermalam-malam yang tak terhitung, selama rentang waktu yang tak terukur, aku menderita…”

Haruskah aku benar-benar menghentikan Ayah seperti ini?

Sekalipun ia terhimpit beban rasa bersalah dan menghancurkan diri sendiri, bukankah itu juga akhir yang pantas? Sebuah akhir yang ia pilih sendiri, sebuah takdir yang ia terima dengan mata terbuka? Jika aku memutarbalikkan dan mendistorsi hasil itu demi alasanku sendiri, apa itu benar-benar baik-baik saja?

Tapi—

“Sekarang aku yakin.”

Aku tidak menerimanya.

Kenapa harus menyembunyikannya? Aku sama egoisnya dengan Ayah. Sebagaimana ia dengan egois berusaha menanggung dosa-dosanya dan jatuh dengan bermartabat, aku pun dengan egois ingin memikulnya—dan jatuh menggantikannya.

Karena itu—

“Aku akan menghentikanmu.”

Aku memanggil pedang besar itu ke genggamanku. Pedang yang pernah dipegang Raja Iblis Baal sepenuhnya tunduk pada kehendakku. Entah kenapa, pedang itu seolah mengakuiku sebagai pemiliknya yang sah. Yah, itu wajar saja.

“Namaku Daisy von Custos.”

Karena akulah pewaris tunggal Ayah.

“Dengan segenap hidupku, Raja Iblis Dantalian, aku akan menghalangi jalanmu mulai saat ini.”

Karena aku lebih unggul dari yang lain—kecuali satu jiwa.

Panggung menjadi sunyi.

Penonton terpukau dengan kemunculan aktor utama baru. Keheningan yang mencekam menyelimuti panggung. Mereka menatapku dengan ketakutan yang tak terucapkan, seolah bertanya, Apa yang sedang terjadi? Apa yang akan terjadi…?

Ayah memelototiku dengan tajam. Setelah mengucapkan beberapa patah kata permintaan maaf singkat pada para Raja Iblis lain, ia berbalik menghadapku tanpa ragu. Matanya, yang gelap gulita seperti dasar sumur, memantulkan diriku sepenuhnya.

“SIalan! Kau ingin mati di sini?”

“Aku tidak pernah sekalipun menginginkan kematianku sendiri.”

Bagian pentingnya dimulai di sini.

Aku harus menanamkan keyakinan palsu di hati Ayah. Aku harus membangkitkan amarah yang tak terkendali dalam dirinya untuk mengaburkan penilaiannya. Untuk itu, aku sengaja tertawa mengejek. Dan seperti yang kuduga, Ayah meraung, suaranya dipenuhi amarah.

“Aku mengeluarkan perintah baru! Mulai saat ini, Barbatos dibebaskan dari semua perintah! Jangan anggap dia kekasihku saat menjalankan perintah! Sekarang, serahkan pedangmu sekarang juga, dasar bodoh!”

Rasa sakit mencengkeram hatiku.

Namun, itu bukan hal yang tak tertahankan. Aku mampu menanggungnya. Keyakinan teguh yang telah kupersiapkan sebelumnya membuatku mampu mengatasi perintah Ayah. Keputusan bahwa “jika aku menyerahkan pedang dan membatalkan rencana sekarang, aku tak akan mampu menghentikan kejatuhan Ayah” meredakan rasa sakit itu.

Bagus.

Aku bisa melakukan ini.

Aku mengubah ekspresiku menjadi seringai mengejek dan mengejek Ayah.

“Semuanya dimulai dengan de Farnese, Menteri Urusan Militer.”

“…Omong kosong apa yang kau lontarkan?”

“Laura de Farnese. Wanita muda yang sangat Kau sayangi, Ayah. Apa Kau sudah lupa?”

Aku mengambil apa yang sebenarnya terjadi dan menulis ulang ke dalam skenario yang sepenuhnya berbeda.

Namun, tidak seorang pun dapat membuktikan bahwa perkataanku itu bohong.

Tak ada bukti. Tak ada saksi. Tak ada yang bisa mengungkap kepalsuan yang kubuat. Kebenaran yang sebenarnya terjadi, dan kepalsuan yang kuciptakan sekarang—keduanya sama-sama masuk akal, versi realitas yang sepenuhnya bertolak belakang.

Naskah yang sempurna.

Sekarang, jika Ayah percaya saja pada apa yang kukatakan, kebohonganku pada akhirnya akan menutupi kebenaran dan menggantikannya.

Jadi aku menipu Ayah.

“Tidakkah kau merasa aneh? Menteri Urusan Militer awalnya menyukaiku. Tapi suatu saat, dia menjadi waspada, menjauhiku, dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencari-cari kesalahan. Apa kau benar-benar berpikir dia akan menyiksa putri angkatmu tanpa alasan?”

Aku menipunya.

“Rasanya hampir memalukan, menyadari bahwa aku untuk sementara melupakan sesuatu yang begitu sederhana. Wanita yang meratap di hadapanku, Menteri Urusan Militer Laura de Farnese—dia kekasih Raja Iblis Barbatos, kan?”

Aku menipunya.

“Barbatos menerima peringatan mendesak dari seseorang. Peringatan untuk berhati-hati terhadap Raja Iblis Paimon, bahwa jika terus seperti ini, Paimon kemungkinan besar akan membunuhmu, Ayah. Karena peringatan ini, Barbatos mengambil tindakan untuk menyingkirkan Paimon.”

Aku menipunya.

“Benar. Menteri Urusan Militer memperingatkan Barbatos. ‘Sepertinya Paimon mencoba membunuh Ayah, jadi harap berhati-hati.’”

Aku menipumu, Ayah.

Aku menipu orang yang paling ku hormati.

Aku mengangkat pedang besarku tinggi-tinggi dan meraung ke dunia.

“Aku sampaikan pernyataan ini di sini dan saat ini juga. Kau tidak menghancurkan Laura de Farnese. Itu delusimu. Orang yang bertanggung jawab atas kejatuhannya tak lain adalah aku, Daisy von Custos. Karena itu, Kau tidak memiliki hak maupun kemewahan untuk bertanggung jawab atas hal itu!”

Tolong percayalah pada kata-kataku.

Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Tumpahkan semua amarahmu, kebencianmu, kutukanmu—padaku.

Jika Kau ingin menjadi iblis di dunia ini, maka aku akan tetap menjadi iblis yang hanya milikmu.

“…”

Dan kemudian—Aku melihatnya.

Gelombang kebencian yang luar biasa muncul di mata Ayah. Saat itu, tak diragukan lagi, Ayah membenciku lebih dari siapa pun di dunia.

―Dadaku terasa sesak.

Bukan karena segel budak. Ada hal lain yang dengan lembut mencengkeram hatiku. Namun, aku mengabaikan rasa sakit itu dan melanjutkan dengan topeng ketidakpedulian dan ejekanku.

“Masih ada satu pilihan terakhir. Aku bisa membunuhmu.”

“…”

“Jika aku melakukan itu, aku bisa mengambil kembali tanggung jawab atas semuanya sekali lagi.”

Sekali lagi dadaku berdebar kencang.

Rasanya ekspresiku bisa berubah sewaktu-waktu. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Itu akan menghancurkan segalanya. Aku mengerutkan bibirku untuk menyembunyikan ekspresiku, Tapi aku tak bisa sepenuhnya menahan emosiku—bibirku bergetar samar.

“Aku tahu kau akan mengatakan itu. Itulah yang kuinginkan. Akhirnya, aku berhasil mencapai titik ini. Kini aku bisa berkata dengan yakin—setiap aib dan penderitaanku ada untuk saat ini.”

Dan kemudian, sesuai rencana, Luke menimbulkan keributan di alun-alun.

Untuk sesaat, perhatian para Raja Iblis Faksi Netral teralihkan. Aku memanfaatkan momen itu dan melumpuhkan mereka semua dalam satu serangan. Tidak sulit untuk memanfaatkan kekacauan yang sudah kuantisipasi.

Ayah berteriak marah.

“Ini perintahku! Bunuh dirimu sendiri, Daisy!”

Jantungku menjerit kesakitan.

Namun, kini pun aku menahannya. Rasa sakitnya cukup untuk membuat lututku lemas, Tapi aku bertahan. Air mataku hampir jatuh, Tapi aku menahannya. Aku ingin, lebih dari segalanya, mengakui kebenaran dan memohon ampun pada Ayah, Tapi aku menepis perasaan itu dengan presisi yang dingin dan kejam.

Tidak pernah.

Aku tidak bisa—tidak akan—menyerah di sini.

Aku tak bisa membiarkan kematianku. Aku tak bisa membiarkan kehancuran Ayah.

Maka, sambil memaksakan senyum putus asa, aku menjawab Ayah:

“Maafkan aku, tapi Aku tidak bisa mematuhi perintah itu, Ayah.”

 

Prev
Novel Info

Comments for chapter "Chapter 446"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

You must Register or Login to post a comment.

Dukung Kami

Dukung Kami Dengan SAWER

Join Discord MEIONOVEL

YOU MAY ALSO LIKE

yukinon
Yahari Ore no Seishun Love Come wa Machigatte Iru LN
January 29, 2024
Martial World (1)
Dunia Bela Diri
February 16, 2021
raja kok rampok makam
Raja Kok Rampok Makam
June 3, 2021
Advent of the Archmage
Kedatangan Penyihir Agung
November 7, 2020
  • HOME
  • Donasi
  • Panduan
  • PARTNER
  • COOKIE POLICY
  • DMCA
  • Whatsapp

© 2025 MeioNovel. All rights reserved