Baca Light Novel LN dan Web Novel WN,Korea,China,Jepang Terlengkap Dan TerUpdate Bahasa Indonesia
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Advanced
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Prev
Next

Dungeon Defense (WN) - Chapter 445

  1. Home
  2. Dungeon Defense (WN)
  3. Chapter 445
Prev
Next

Chapter 445 – DAISY (8)

“Kau….”

Aku menggertakkan gigi. Wajahku mungkin sudah memerah karena marah sekarang.

Aku mengeratkan cengkeramanku di leher Laura de Farnese dengan tangan kananku. Menteri Urusan Militer itu mengerang kesakitan. Rasanya tidak cukup. Ini sama sekali tidak cukup. Dibandingkan dengan rasa sakit yang diderita Ayah, ini tidak ada apa-apanya. Aku ingin mematahkan leher rampingnya saat ini juga.

“Karena kau… Ayah….”

Dan kemudian itu terjadi.

Rasa sakit yang tajam menusuk jantungku. Pandanganku berputar. Rasa sakit yang tiba-tiba itu menguras seluruh tenagaku. Terbebas dari genggamanku, Laura de Farnese tersentak, terbatuk-batuk dan tersedak saat ia menarik napas dalam-dalam.

Aku memegang dadaku dengan tangan kiriku.

“Haah… ngh….”

Jantungku masih berdebar akibat rasa sakit yang terus-menerus. Aku menatap kosong telapak tangan kananku. Tanda perbudakan Ayah-lah yang menghentikan tanganku.

Mengapa?

Mengapa Aku tidak bisa membunuh wanita ini?

Tidak—aku tahu alasannya. Aku tahu betul.

Jika Laura de Farnese meninggal, Ayah akan benar-benar putus asa. Ia akan mengutuk dunia. Aku tahu betul kebenaran itu. Dan karena aku tahu masa depan seperti itu akan membahayakan Ayah, aku tak bisa membunuhnya…!

Dan itu belum semuanya.

Apa pun kejahatan yang dilakukan Laura de Farnese, aku takkan pernah bisa menceritakannya pada Ayah. Karena ia akan mengutuk dirinya sendiri. Ia akan menanggung semua kesalahannya, yakin bahwa Menteri Urusan Militer berakhir seperti ini karena kesalahannya sendiri.

Ah.

Ahh, ah….

“….”

Aku berdiri dengan lemah. Laura de Farnese memelototiku, tapi aku tak lagi memedulikannya.

Layaknya mayat hidup, aku meninggalkan kamar Menteri Urusan Militer. Ia meneriakiku dari belakang. Namun, apa pun yang ia teriakkan tak sampai ke telingaku. Aku diam-diam mengurung diri di sudut kamar.

Apa yang harus ku lakukan?

Dadu sudah dilempar. Ayah tidak punya pilihan selain memilih Barbatos atau Paimon. Tapi bukan itu masalah sebenarnya. Siapa pun yang Ayah pilih, keseimbangan kekuatan dalam Pasukan Raja Iblis akan hancur.

Faksi Plains, Faksi Netral, dan Faksi Mountain. Pasukan Raja Iblis yang baru dibentuk ini—yang berpusat di sekitar ketiga kubu ini—akan segera runtuh. Kekuatan Ayah sepenuhnya berasal dari keseimbangan itu. Entah Ayah membunuh Barbatos atau Paimon, bagaimanapun caranya, ia akan kehilangan kekuatannya!

Dilema yang tidak ada jalan keluarnya.

“….”

Aku merasakan darah di ujung lidahku. Aku bercermin dan melihat darah menetes dari sudut mulutku. Tanpa sadar, aku menggigit bibirku dengan keras. Wajahku benar-benar tanpa ekspresi.

…Hampir bisa dipastikan bahwa Ayah akan menyingkirkan Barbatos dan Paimon.

Itulah satu-satunya jawaban. Jika hanya satu orang yang mati, Faksi Mountain atau Faksi Plains akan memonopoli kekuasaan di dalam Pasukan Raja Iblis.

Entah tidak ada yang mati, atau semua orang mati. Hanya ada dua pilihan itu.

Sekarang Barbatos mulai menentang Paimon dengan keras, pilihan “tidak ada yang mati” tidak lagi layak.

Mereka semua akan mati.

Kedua kekasih tercinta Ayah akan berakhir mati.

“Itu tidak mungkin terjadi.”

Kata-kata itu terucap dari mulutku sebelum aku menyadarinya.

Aku kenal Ayah dengan baik.

Jika ia terpaksa membunuh kedua kekasihnya, tak ada keraguan dalam benakku—ia akan secara pribadi menghabisi nyawa mereka dengan tangannya sendiri. Tentu saja. Ia akan dengan sengaja melakukan pembunuhan itu sendiri, untuk mengukir beban kejahatan yang begitu mengerikan ke dalam jiwanya.

Bisakah dia menanggungnya?

Bahkan orang seperti Ayah—apa dia sanggup menanggung beban rasa bersalah seperti itu?

Tidak. Dia tidak akan sanggup menanggungnya. Dia orang yang selalu mimpi buruk hanya karena membantai orang, meskipun mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya. Orang seperti itu tidak akan pernah sanggup menanggung kematian wanita-wanita yang dicintainya.

Sekalipun—dengan cara apa pun—dia berhasil menanggungnya, tak akan ada lagi sisi manusiawi dalam diri Ayah.

Sebenarnya, fakta bahwa Ayah belum hancur saja sudah merupakan keajaiban. Jika dia membunuh kekasih-kekasihnya, yang tersisa hanyalah boneka yang mengenakan kulit Ayah… Mesin, yang bergerak semata-mata berdasarkan perhitungan etis dan logis….

Bisakah Aku membiarkan akhir seperti itu?

Bahwa Ayah—manusia paling mulia—akhirnya akan runtuh di bawah beban cita-citanya sendiri? Bahwa nasib seperti itu akan menjadi akhir dari jalan yang telah ia tempuh—bahwa itu tak terelakkan? Bahwa tak ada akhir yang tersisa baginya?

Jangan membuatku tertawa.

Aku ingin Ayah menang. Di antara seluruh dunia ini dan Ayah, yang pantas menang adalah Ayah—tanpa ragu. Apa yang telah dunia lakukan untuknya? Mengapa aku harus peduli pada dunia?

Seolah belum cukup menimbulkan rasa sakit pada Ayah—kini dunia bermaksud menginjaknya juga?

Aku tidak akan pernah menerima akhir seperti itu.

Apa yang harus ku lakukan?

Bagaimana aku bisa melindungi tahta dan jiwa Ayah?

Pikirkan, Daisy.

Pasti ada jalan.

Tidak ada yang namanya mustahil. Jika ada sesuatu di dunia ini yang bisa disebut mustahil, itu adalah sesuatu seperti seorang Raja Iblis Tingkat 72 mengalahkan seorang Raja Iblis Tingkat 1. Dan Ayah benar-benar berhasil melakukannya. Dibandingkan dengan itu, jalan keluar yang kucari sekarang tidak ada apa-apanya.

Pikirkan.

Aku merancang dua puluh tujuh strategi, Tapi semuanya berakhir sebagai kegagalan di kepalaku.

Pikirkan.

Aku mengajukan sembilan tindakan penanggulangan, Tapi menilai semuanya tidak memadai.

Aku berpikir, dan berpikir lagi. Tanpa kusadari, semalaman telah berlalu.

Namun aku tetap diam, duduk di kursiku. Mataku menatap kosong, seolah kedipan mata pun terlupakan. Perlahan aku menoleh ke cermin. Terpantul seorang gadis bermata hitam pekat.

Ada satu cara.

――Jika aku menjadi korban.

Aku akan menutupi kesalahan Laura de Farnese. Sebagai gantinya, Aku akan membuatnya seolah-olah Aku diam-diam memanipulasi Menteri Urusan Militer.

Dengan begitu, Laura de Farnese akan terbebas. Ayah tak perlu lagi merasa bersalah. Sekalipun Ayah akhirnya membunuh Barbatos atau Paimon, semua kesalahan akan sepenuhnya berada di pundakku. Ini bukan lagi tanggung jawab Ayah, melainkan sepenuhnya akibat perbuatan jahatku.

Ayah akan mengutukku dengan segenap jiwa raganya.

Dia akan membenciku karena berani menghancurkan kekasihnya, bahkan membiarkannya mati. Maka, di hati Ayah, aku akan tetap menjadi seseorang yang tak akan pernah bisa dimaafkannya. Nama Daisy akan selalu diingatnya sebagai sinonim dari iblis.

Tapi itu tidak masalah.

Asalkan aku bisa menyelamatkan Ayah.

Jika ada cara untuk menyelamatkannya dari akhir yang tragis…. Maka aku tak peduli apa pun yang terjadi padaku.

Aku sudah lama memutuskan untuk menyelamatkan Ayah dari dunia.

Aku sudah lama tahu. Yang Ayah butuhkan bukanlah seseorang untuk dicintai—Melainkan seseorang yang bisa ia luapkan kebenciannya. Kali ini, kebencian itu akan semakin membesar. Namun, peranku tetap sama.

Masih duduk di kursiku, aku dengan tenang memutar alur rencanaku.

Lebih dari sebelumnya, pikiranku jernih, tajam, dan jernih. Apa yang perlu kulakukan, bagaimana aku harus memperbaiki kekurangan dalam rencanaku, semuanya terbentang sempurna, bagai sebuah bangunan megah yang menjulang dari bumi.

Aku mengambil sebotol anggur dan melangkah keluar dari Kastil Raja Iblis. Malam telah berakhir, dan senja fajar yang sewarna kaca menyebar di seluruh negeri. Aku menghirup udara pagi yang menggigit dalam-dalam. Mungkin, saat itu, bahkan hatiku pun ternoda oleh rona dingin dan sebening kaca itu.

Bagus.

Mulai saat ini, aku akan menipu sejarah.

Orang biasa, sekalipun berhasil menyusun rencana, tidak mampu melaksanakannya dengan sempurna. Hal ini karena mereka memikul seribu niat dan sepuluh ribu tujuan. Mereka takkan pernah mencapai tujuan dengan beban seberat itu.

Tapi aku berbeda. Tujuanku semata-mata untuk Ayah. Untuk menipu dunia dan sejarah demi satu orang, dan satu orang saja….

Aku menyesap anggur. Aroma pahit yang menusuk memenuhi mulutku. Dengannya, aku membasuh darah yang menempel di lidahku semalaman. Lalu, kulempar botol itu ke tanah. Gelasnya pecah berkeping-keping.

Hanya untuk Dantalian.

Tidak—untuk Ayahku.

Aku serahkan seluruh hidup dan jiwaku.

* * *

Pertama, Aku memulai tahap pertama.

Aku membiarkan Ayah membunuh Paimon. Lagipula, Faksi Mountain dan Faksi Plains harus jatuh. Menyelamatkan kedua faksi itu mustahil.

Lagipula, jelas juga bagiku bahwa Paimon pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi Ayah. Sulit dipercaya keseimbangan antara Faksi Plains, Faksi Netral, dan Faksi Mountain akan bertahan selamanya. Dalam hal itu, kecurigaan Laura de Farnese tidak sepenuhnya salah. Tentu saja, Menteri Urusan Militer tetaplah seorang wanita pirang yang sangat bodoh.

Seperti dugaanku, saat Ayah mencoba membunuh Paimon, dia melirikku dan memberi isyarat, “Pergi.” Tapi aku dengan tenang menjawab,

“Aku pengawal mu, Ayah. Sekarang Nona Ivar sudah tidak disini, Aku juga tidak bisa meninggalkan posisiku.”

“Kalau begitu, Kau bisa berjaga di pintu.”

“Ini sungguh tak terduga. Bukankah kau bilang aku selalu berada di sisimu?”

Ayah terdiam. Itu adalah izin diam-diam bagiku untuk tetap tinggal.

Dia mungkin ingin membunuh Paimon sendirian, murni dengan tangannya sendiri. Dia bermaksud memikul tanggung jawab atas kematian Paimon sepenuhnya sendirian. Tapi aku punya kewajiban untuk menyaksikan kejahatan yang dilakukan Ayah. Dan Ayah mengakui bahwa….

Tanpa menyadari apa pun, Paimon berbicara.

“Wanita ini tidak yakin para archduke akan memilihmu daripada Barbatos saat itu… Oh, aku tidak bilang aku tidak percaya padamu, Dantalian. Aku yakin kau akan menangani semuanya dengan baik, fufu.”

“Tidak perlu khawatir, Paimon. Lagipula, semua itu benar.”

“Maaf?”

Darah menyembur ke udara.

Ayah membunuh Paimon, lalu menempelkan bibirnya ke bibir Paimon untuk ciuman panjang. Setelah itu, ia merobek sepotong pakaian Paimon. Ia membasahi kain itu dengan darah Paimon dan menyelipkannya ke dalam saku dadanya, seolah menyimpan sapu tangan.

Itulah caranya membawa kematiannya di dalam hatinya—selamanya.

“…”

Ini mengonfirmasinya.

Pada saat itu, Aku memikirkan sesuatu yang sama sekali berbeda dari Ayah.

Perintah yang Ayah ukir dalam diriku ada enam secara total:

Jangan menyakitiku.

Jangan menyakiti orang-orang yang ku sayangi.

Jangan pernah berpaling saat Aku atau mereka dalam bahaya.

Patuhi perintahku.

Tempatkan hidupku di atas hidupmu sendiri.

Selalu, patuhi sepenuh perintah di atas.

Baru saja, Ayah membunuh Paimon. Yang kusaksikan adalah tindakan yang secara langsung melanggar perintah, “jangan pernah berpaling saat aku atau mereka dalam bahaya.” Namun, segel budakku tidak bereaksi.

Hal ini memiliki arti penting yang mendalam.

Jika Ayah dengan sengaja memilih untuk membunuh seseorang yang ia sayangi, segel budakku tidak akan merespons. Dengan kata lain, segel budak itu menganggap Ayah jauh lebih penting daripada orang-orang yang ia sayangi.

Inilah yang ingin ku konfirmasikan pada tahap 1.

Untungnya, rintangan pertama dilewati dengan mudah. Ayah sama sekali tidak curiga dengan apa yang kupikirkan. Kemungkinan besar ia mengira aku hanya berperan sebagai penonton. Awal yang baik.

Berikutnya, tahap 2.

Aku memulai percobaan dengan mengorbankan Luke.

Aku sengaja menyembunyikan Ayah di bawah tempat tidurku sebelum memanggil Luke masuk.

Bagi Ayah, itu pasti terasa seperti tindakan spontan dan impulsif. Nyatanya, itu adalah kejahatan yang terencana matang. Aku melontarkan kata-kata dan tindakan yang begitu kejam hingga menghancurkan pikiran kakakku hingga ke akar-akarnya.

“Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mengatakan kebenaran padamu hari ini, Luke, Kakakku.”

“Ah, uh, ah… ahh….”

“Kau bajingan yang dengan acuh tak acuh memperkosa adikmu sendiri selama lima tahun terakhir.”

Kakakku yang berhati lembut tak kuasa menahannya karena ia benar-benar hancur. Bahkan saat semua ini terjadi, segel budakku tak bereaksi.

Dengan demikian, Aku berhasil menarik dua kesimpulan.

 

Pertama. Luke adalah seseorang yang “disayangi Ayah.” Aku langsung menentang perintah dan melukai Luke. Namun, segel budak itu tidak merespons. Dengan kata lain, selama Ayah sendiri yang diutamakan, aku sepenuhnya mampu melukai orang-orang yang disayanginya.

Kedua. Sekalipun Ayah menyaksikan tindakan seperti itu terjadi tepat di depannya, segel budak itu tetap tidak bereaksi.

 

Terlebih lagi, Luke yang mengetahui kebenaran dan jatuh ke dalam kehancuran justru bertentangan langsung dengan rencana Ayah untuk membesarkan Luke menjadi pahlawan. Namun, aku menentang keinginan Ayah dan menghancurkan kakakku.

Bahkan jika Ayah tidak setuju, bahkan jika itu bertentangan dengan rencananya—selama aku memutuskan bahwa itu adalah sesuatu yang penting bagi Ayah, maka… aku bisa bertindak melampaui batasan segel perbudakan.

Pendek kata, segel perbudakan tidak beroperasi berdasarkan penilaian Ayah, melainkan sepenuhnya diatur oleh penilaianku sendiri.

Berhasil.

Setelah tahap pertama, tahap kedua juga sukses.

Aku merasa kasihan pada Kakakku, Tapi penting baginya untuk menyadari apa yang telah dilakukannya. Sadar atau tidak, ia telah menyakitiku secara tidak langsung. Mulai sekarang, ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

Maka dimulailah tahap ketiga.

“Maafkan aku, Kakak.”

Tidak lama kemudian, Aku mengatakan yang sebenarnya pada Luke.

Soal kesalahan Laura de Farnese. Soal Paimon. Dan kenyataan bahwa, jika terus begini, Ayah pasti akan hancur. Kuceritakan semuanya padanya. Luke mendengarkan ceritaku dengan tenang dari awal sampai akhir.

Aku menatap matanya langsung dan bertanya padanya.

“Demi Ayah, ikutlah denganku ke neraka.”

“…Lalu.”

Luke membuka bibirnya dengan susah payah.

“Jika aku melakukan itu, Daisy… maukah kau memaafkanku?”

“Aku tidak pernah membencimu sejak awal. Jadi, tidak ada yang perlu dimaafkan.”

“…”

Luke memejamkan mata. Keheningan panjang menyelimuti kami.

Lalu dia membukanya lagi dan menatapku. Rahangnya bergerak sedikit.

“Hidupku dianugerahkan oleh Ayah dan Ibu. Jadi, wajar saja kalau pedangku digunakan untuk Ayah dan Ibu. Daisy. Aku akan mengikuti perintahmu.”

Tahap ketiga juga sukses.

Kami, bersaudara, berpelukan lembut. Aku menepuk punggung Luke, dan Luke memelukku, menitikkan air mata dalam diam. Ada dosa saat itu. Ada pengampunan. Namun, lebih dari segalanya, ada tekad sekuat baja untuk satu orang di dunia ini.

Dengan itu, separuh rencana telah selesai.

Dan naskahku melaju, tanpa ragu, menuju separuh sisanya.

 

Prev
Next

Comments for chapter "Chapter 445"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

You must Register or Login to post a comment.

Dukung Kami

Dukung Kami Dengan SAWER

Join Discord MEIONOVEL

YOU MAY ALSO LIKE

The King’s Avatar
Raja Avatar
January 26, 2021
Ampunnnn, TUAAAANNNNN!
October 4, 2020
elaina1
Majo no Tabitabi LN
April 24, 2025
011
Madan no Ou to Vanadis LN
August 8, 2023
  • HOME
  • Donasi
  • Panduan
  • PARTNER
  • COOKIE POLICY
  • DMCA
  • Whatsapp

© 2025 MeioNovel. All rights reserved