Baca Light Novel LN dan Web Novel WN,Korea,China,Jepang Terlengkap Dan TerUpdate Bahasa Indonesia
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Advanced
  • Daftar Novel
  • Novel China
  • Novel Jepang
  • Novel Korea
  • List Tamat
  • HTL
  • Discord
Prev
Next

Dungeon Defense (WN) - Chapter 441

  1. Home
  2. Dungeon Defense (WN)
  3. Chapter 441
Prev
Next

Chapter 441 – DAISY (5)

Tampaknya pria itu tidak menyukaiku.

Aku menyadarinya dua hari setelah bertemu dengannya. Itu bukan akting—dia benar-benar menjauh dan menghindar dariku. Setiap kali aku mendekat, bahkan sedikit saja, dia bereaksi seolah-olah aku bisa menularkan penyakit mematikan.

“…Haa.”

Aku mendesah dan memiringkan kepalaku.

Mengapa dia membenciku?

Aku tidak sombong, bahkan menurutku aku agak imut.

Aku baru berusia sepuluh tahun, Tapi penampilanku yang seperti anak sepuluh tahun saja sudah cukup untuk membuat orang-orang dewasa di desa menyiksaku. Sampai saat itu, Aku beranggapan bahwa semua pria di dunia tertarik secara seksual pada anak-anak—tentu saja Aku akan berpikir begitu—jadi perilaku pria itu, singkatnya, tidak bisa dijelaskan.

Lihat? Pria itu menatapku lagi, menggelengkan kepalanya tak percaya, dan—

“Haa.”

—menghela napas lebih dalam lagi. Terkadang, alih-alih mendesah, ia malah menggumamkan hal-hal seperti, “Aku pasti akan menyesali ini,” atau “Ada juga Jack Aland,” atau “Akulah orang paling bodoh di dunia…”—hal-hal yang tak kumengerti.

Entah kenapa, hal itu membuatku marah.

Akhirnya, pria itu mengabulkan permintaanku dan menyelamatkan penduduk desa. Sejujurnya, aku tak peduli apa penduduk desa itu hidup atau mati. Orang tuaku dan Luke sangat berharga bagiku, Tapi yang lebih penting dari mereka adalah pria yang berdiri di hadapanku.

Pria itu benar-benar tipe orang yang ku bayangkan.

Jika ia berbuat salah, ia tak pernah berusaha membenarkannya. Ia tak melebih-lebihkan harga dirinya, juga tak memandang rendah orang lain tanpa alasan. Ia orang yang jujur. Seorang pria yang berani menghadapi dunia.

Aku gugup sekaligus gembira, mengira akhirnya aku bertemu seseorang yang sepertiku—tapi reaksi pria itu sungguh mengecewakan, acuh tak acuh. Rasanya dia sangat menyesal telah menyelamatkanku. Dia aneh. Jika dia akan menyesalinya, seharusnya dia tidak menyelamatkanku sejak awal. Dan jika dia memang menyelamatkanku, seharusnya dia tidak menyesalinya. Haruskah dia menyesalinya?

Meskipun dia menyesalinya, pria itu tetap menyelamatkanku.

Dia hanya bisa digambarkan sebagai seorang pria aneh.

“Bocah.”

“Namaku Daisy.”

“Apa Kau bersedia mati?”

Koreksi.

Pria itu tidak hanya aneh—dia benar-benar aneh.

Aku berkedip karena terkejut.

“Maaf?”

“Coba pikirkan. Hidup sebagai budak orang lain bukanlah hidup yang bahagia. Kalau kau dan Luke mau bunuh diri saja, aku janjikan kekayaan dan kemakmuran bagi penduduk desa lainnya. Aku akan memastikan orang tuamu diperlakukan dengan sangat baik. Bagaimana menurutmu?”

Pria itu memintaku bunuh diri. Dengan sangat serius.

Sejak saat itu, kesanku tentang pria itu berubah—dari teman yang sejiwa menjadi teman yang otaknya jelas-jelas agak kurang waras. Omong kosong macam apa yang dia lontarkan dengan ekspresi seserius itu?

“Jika aku benar-benar harus mati, maka izinkan aku membunuh Luke dengan tanganku sendiri terlebih dulu. Dan biarkan penduduk desa bunuh diri. Sikapku tidak akan berubah.”

“Tentu saja. Itu tidak akan berubah.”

Pria itu mengangguk muram. Lucu sekali karena ia tampak seperti anak anjing yang basah kuyup karena hujan.

“Huh. Kenapa dunia ini harus berisi orang-orang aneh sepertimu, hanya untuk menyiksaku lebih parah lagi? Sungguh, hidupku terkutuk. Aku bahkan tidak tahu lagi. Apa pun yang terjadi, terjadilah.”

“….”

Singkatnya, pria itu merasakan sesuatu yang sama sekali berbeda dariku.

Sementara Aku gembira membayangkan bertemu seseorang yang sepertiku, pria itu ngeri, bahkan putus asa, karena bertemu orang seperti dia. Aku tak kuasa menahan kekecewaan melihat reaksinya. Rasanya seperti menyatakan cinta, Tapi ditolak mentah-mentah. Akhirnya, Aku mendapati diriku menanggapi dengan ketegasan yang sama.

Dan kemudian tibalah saatnya operasi.

Operasi untuk mengukir tanda budak itu luar biasa menyakitkan.

Meskipun Aku telah diberi dosis anestesi yang tinggi untuk meredakan rasa sakit, itu sama sekali tidak berpengaruh—rasa sakitnya cukup untuk merobek dagingku. Bahkan sekarang, Aku masih sulit memahaminya. Pria itu—dia benar-benar takut seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun mungkin akan membunuhnya.

Mengapa?

Mengapa dia berpikir seperti itu?

Aku tak lebih dari seorang petani tebang-bakar yang menyedihkan. Aku hanya punya tubuh mungil yang rapuh. Dari sudut pandang mana pun, kemungkinan aku menjadi ancaman bagi pria itu sangatlah kecil. Namun, entah kenapa, dia memperlakukanku setara dengannya.

Bukan hanya sebagai seseorang yang sejenis—melainkan sebagai seseorang yang memiliki kedudukan yang setara.

―Meskipun Aku baru menyadarinya kemudian.

Pria itu menganggap dirinya sampah, dan dia menyadari bahwa Aku menyimpan potensi yang luar biasa. Itulah sebabnya kami berdua memiliki pandangan yang sangat bertolak belakang.

Kupikir akulah yang tak berharga, dan dia pun menganggapnya tak berharga. Aku percaya dia luar biasa, sementara dia percaya aku luar biasa. Sungguh konyol. Kami punya penilaian yang sangat berbeda terhadap satu sama lain dan terhadap diri kami sendiri.

Tentu saja, pada saat itu, tidak mungkin Aku dapat memahami semua itu.

Operasi tanda budak itu begitu menyakitkan hingga akhirnya aku mengeluh sedikit pada pria itu—mengatakan hal-hal seperti “Aku akan membunuhmu” atau bahwa aku tidak akan memaafkannya. Sejujurnya, kupikir aku berhak mendapatkan semua itu. Hatiku terasa seperti dicabik-cabik dan dijahit kembali mentah-mentah—bukankah itu wajar?

Saat aku menatapnya dengan jengkel, pria itu berkata,

“Kau resmi jadi anak angkatku sekarang. Kalau perlu, panggil aku Ayah. Intinya, kalau kita di kota, atau ada orang asing di sekitar, panggil aku Ayah.”

Benar. Dia menjadi ayahku.

Sejak saat itu, Aku mulai memanggil pria bernama Dantalian itu “Ayah.” Kami memang sejenis, Tapi paradoksnya, karena kami sama, kami tidak menyadari bahwa orang lain memandang kami dengan cara yang sepenuhnya berlawanan. Maka, kami pun menjadi ayah dan anak.

* * *

Hari-hari berlalu sambil aku bertanya-tanya kapan Ayah akan memperkosaku.

Akan sangat mengganggu jika orang-orang menganggapku aneh. Sejak usia delapan tahun, aku telah dimanfaatkan oleh para pria seperti mainan. Bukan salahku kalau aku salah mengira semua pria di dunia ini pedofil. Dia—Ayah—adalah pria pertama yang tidak menunjukkan sedikit pun ketertarikan pada tubuhku.

Apa dia kasim?

“Ah, ah, haah, Yang Mulia! Lebih keras! Tolong lakukan lebih keras lagi!”

“Hahaha. Dasar babi mesum. Ayo. Menangislah seperti babi!”

“Oink, oink oink, hggh!”

Dia tidak.

Setelah Aku tak sengaja menyaksikan Ayah berhubungan seks liar dengan Guru Jeremi, teori bahwa Ayah mungkin impoten pun terbantahkan. Jauh dari impoten, ia justru memiliki gairah seks yang jauh lebih kuat daripada pria mana pun yang pernah ku temui.

Jadi… mungkinkah dia hanya terangsang oleh wanita dewasa?

“Mmm, Dantalian. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi… Hahh! Tubuhku sudah tidak sanggup lagi…!”

“Kalau kau memohon, ‘Maafkan aku, Master,’ mungkin aku akan mempertimbangkan untuk berhenti. Ayo, katakan. Berlututlah dan memohonlah seperti anjing.”

“Master… uaaah, Master, tolong maafkan budak kotor ini….”

Itu pun bukan.

Malah, sepertinya Ayah lebih suka fisik kekanak-kanakan. Dibandingkan saat bersama Guru Jeremi, Ayah lebih serius dan tampak lebih menikmatinya saat bersama Barbatos. Terkadang, saat Barbatos datang mengunjungi Kastil Raja Iblis, mereka bisa menghabiskan dua hari penuh untuk itu, jadi aku tak punya pilihan selain mengabaikan teori “Ayah suka wanita dewasa”.

Situasinya malah bertambah membingungkan.

Suatu hari, aku menatap cermin dengan serius. Tujuannya untuk menilai penampilanku secara objektif. Aku dengan cermat membandingkan diriku dengan semua kekasih Ayah yang memesona—Laura de Farnese, Menteri Urusan Militer, Barbatos, Guru Jeremi, Paimon, Sitri, dan sebagainya.

…Dari sudut pandang mana pun, aku jelas lebih cantik.

Itu bukan kesombongan. Itu fakta yang tak terbantahkan. Rambut hitamku lebih indah daripada langit malam, kulitku yang putih begitu halus, seakan akan terlepas hanya dengan sentuhan ringan, dan mataku lebih memikat daripada obsidian. Aku bisa berkata dengan yakin—aku belum pernah melihat wanita yang lebih cantik daripada diriku sendiri.

“….”

Lalu mengapa dia tidak mau melihatku….?

Laura de Farnese, Menteri Urusan Militer, akan berkeliaran di sekitar Kastil Raja Iblis sepanjang waktu, menggerutu hal-hal seperti, “Tuanku terlalu sering melakukannya!” dan “Tubuhku tidak tahan lagi!” Tapi sejujurnya, semua itu terdengar seperti keluhan seseorang yang hidupnya terlalu baik.

Dia hanyalah seorang wanita pirang yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berperang.

Aku sudah lama tidak menyukai Laura de Farnese. Ia tampak tidak tahu diri. Baik para pengikut maupun penduduk wilayah kekuasaan memperlakukannya seperti istri Ayah, dan Menteri Urusan Militer pun tampaknya tidak membenci kesalahpahaman ini. Ia akan berjalan dengan hidung terangkat, penuh kesombongan dan rasa puas diri.

Meskipun dia lebih bodoh dariku.

Laura de Farnese hanya menguasai paling banyak enam bahasa. Sementara itu, Aku telah menguasai delapan bahasa dalam dua tahun setelah menjadi putri angkat Ayah. Menteri Urusan Militer bahkan tak sebanding denganku dalam hal kecerdasan. Namun, ia berlenggak-lenggok seolah-olah ia adalah filsuf terhebat sepanjang sejarah.

Yah, ku kira orang-orang bodoh tidak sadar bahwa mereka bodoh.

Aku memutuskan untuk bermurah hati dan memaafkannya.

Namun, ada satu hal yang sama sekali tidak bisa ku abaikan: fakta bahwa tengkorak wanita ini tampaknya tidak memiliki konsep kebersihan.

Ketika Menteri Urusan Militer diserang Ayah saat berkeliaran di Kastil Raja Iblis—dan ini cukup sering terjadi—mereka akan menghabiskan sekitar tiga jam untuk berhubungan intim. Setelah itu, ia akan berjalan tertatih-tatih menuju mata air bawah tanah.

Sementara itu, tetesan air mani Ayah akan menetes di sepanjang koridor istana.

Betapa mengerikannya pemandangan itu.

Singkatnya, Laura de Farnese adalah perempuan yang tak tahu malu. Kadang-kadang, ia bahkan berkata, “Percuma pakai baju kalau nanti Tuanku merobeknya,” dan menjalani harinya tanpa busana.

Sulit untuk melihatnya sebagai orang yang sepenuhnya waras.

Membersihkan lorong-lorong yang ditinggalkan Laura de Farnese berantakan selalu menjadi tugasku sebagai kepala pelayan. Setelah dia lewat, Aku akan segera mengambil perlengkapan kebersihan dan menggosok air mani yang ditinggalkannya. Siapa pun yang belum pernah merasakan betapa kacaunya tugas ini pasti tidak akan bisa memahaminya.

Yang benar-benar ingin ku lakukan adalah mengumpulkan setiap tetes air mani yang dia tumpahkan ke dalam ember dan suatu hari menyiramkannya ke seluruh wajahnya.

Sayangnya, itu mustahil karena perintah yang diberikan Ayah padaku. Aturannya, aku dilarang menyakiti Ayah atau kekasihnya. Kalau bukan karena perintah itu, Laura de Farnese pasti sudah mandi air mani ratusan kali sekarang.

“Tanganmu tampak agak lamban hari ini, kepala pelayan.”

Saat Aku sedang membersihkan kantor Ayah, Perdana Menteri Lapis Lazuli berbicara padaku. Aku meletakkan peralatan kebersihan di lantai dan langsung membungkuk hormat.

Lapis Lazuli adalah sosok yang berbeda derajatnya dibandingkan dengan Laura de Farnese. Perdana Menteri memegang kepercayaan penuh Ayah. Yang paling ku sukai darinya adalah dua hal: pertama, Lapis Lazuli tidak pernah berpura-pura, dan kedua, dia benar-benar cukup kompeten untuk mendapatkan dukungan Ayah.

Sebagai referensi, dia juga seseorang yang tidak melakukan hubungan seksual dengan Ayah.

Itu sebenarnya bukan informasi penting.

“Maaf, aku sedang melamun sejenak.”

“Ada yang mengganggu pikiranmu? Nona Daisy, Kau putri Sir Dantalian. Jika ada yang perlu dikhawatirkan, silakan sampaikan padaku.”

Perdana Menteri hampir selalu memanggil Ayah dengan sebutan “Sir Dantalian.”

Satu-satunya orang yang diizinkan menggunakan gelar tersebut adalah Perdana Menteri Lapis Lazuli. Bawahan lainnya kebanyakan menggunakan gelar seperti “Lord”, “Yang Mulia”, atau “O Raja Iblis”. Namun, meskipun seorang bawahan, Perdana Menteri memanggil Ayah dengan namanya.

Agak lancang memang, tapi aku memutuskan untuk memaafkannya juga. Dibandingkan dengan Menteri Militer, Perdana Menteri bisa dibilang teladan kebajikan. Lagipula, gelarnya pun tidak terlalu istimewa—malah, terkesan agak menyedihkan.

“Ya. Aku punya kekhawatiran.”

“Tolong beritahu aku.”

“Mengapa Ayah tidak menjadikanku kekasihnya?”

“ ….”

Lapis Lazuli menatapku dengan pandangan jelas yang berkata, “Omong kosong apa yang dikatakan anak ini?”

Itu agak kasar.

 

Prev
Next

Comments for chapter "Chapter 441"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

You must Register or Login to post a comment.

Dukung Kami

Dukung Kami Dengan SAWER

Join Discord MEIONOVEL

YOU MAY ALSO LIKE

roshidere
Tokidoki Bosotto Roshia-go de Dereru Tonari no Alya-san LN
May 22, 2025
yukinon
Yahari Ore no Seishun Love Come wa Machigatte Iru LN
January 29, 2024
Catatan Meio
October 5, 2020
image002
Sentouin, Hakenshimasu! LN
November 17, 2023
  • HOME
  • Donasi
  • Panduan
  • PARTNER
  • COOKIE POLICY
  • DMCA
  • Whatsapp

© 2025 MeioNovel. All rights reserved